Gali Potensi Diri Demi Halau Depresi

Gali Potensi Diri Demi Halau Depresi
Sumber Foto : Pexels

Pengenalan Tokoh

Kenalkan, namaku Dahlia*. Ibu dua anak yang sejak gadis sudah yatim piatu sampai suatu hari ada seorang pria ulet, dan aku yakin dia bertanggung jawab, meminangku. Kami hidup dari nol dan kami rajin bekerja apa saja demi hidup di tanah rantau. Tidak banyak yang tahu bagaimana liku-liku hidup kami sebelumnya hingga mapan secara finansial dan berkecukupan. Sejak itulah banyak peristiwa yang terjadi di luar prediksiku.

Permulaan Konflik

Seiring dengan hadirnya buah hati, perangai suami perlahan berubah. Hal ini berlangsung hingga anak-anak remaja. Egois dan bahkan terang-terangan secara verbal sering menghinaku. Meremehkan setiap hasil karyaku tanpa peduli aku ini siapa. Aku, ibu dari anak-anaknya yang seharusnya, didukung, diayomi, dan dijaga perasaannya. Tidak minta dimanja, cukup diapresiasi setiap kinerjaku, aku akan sangat bahagia.

Waktu berjalan sangat cepat hingga suamiku memiliki kedudukan bagus di instansi tempat dia bekerja. Tidak membuatnya bersyukur dan berubah sikap, bahkan semakin membuatku tertekan lahir dan batin. Meskipun aku tak pernah melawan atau menyimpang dari tugas-tugasku sebagai istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya, hampir setiap hari dia tega melukai hati.

Ketika menghina setiap masakanku, meskipun akhirnya habis, aku masih bisa menerima. Namun, saat sudah berani membawa rekan kerja perempuan ke rumah tanpa izinku adalah klimaks dari luka batinku. Apalagi memuji-muji perempuan lain hanya karena aku ibu rumah tangga di rumah dan tak selevel rekannya adalah bentuk penghinaan yang tak bisa aku terima.

Puncak Konflik

Syukurlah dua anakku tumbuh dengan sehat. Bertahun-tahun aku pendam sendiri beban batinku yang menyiksa. Setiap ingin berbagi kepada orang lain, hati kecilku mengingatkan bahwa masalahku adalah ranah pribadi. Tidak setiap problemku harus khalayak ketahui. Aku merasa malu jika dibilang tak becus mengatasi masalah, tak sabar menghadapi cobaan dan lain-lain.

Benar saja, perasaan seperti itu justru makin menambah derita batinku. Harus aku keluarkan beban ini, tapi bagaimana caranya? Kucoba mencari solusi berbagi dengan saudara suami. Tidak solusi yang kudapat, tapi caci maki yang harus aku telan mentah-mentah. Adanya anggapan kurang bersyukur, cemburuan, cengeng, tak mau berkaca diri, dan stigma negatif lainnya. Ujungnya aku lebih memilih diam sambil mencari berbagai cara yang masih mungkin aku tempuh.

Mengapa sikap suami tak menyenangkan? Salahku di mana atau apakah aku sudah tak menarik lagi di matanya? Tidak ingatkah dia masa-masa sulit yang pernah kami lewati? Tidak adakah kontribusiku selama ini sehingga dia selalu meremehkanku? Mingkinkah aku yang terlalu baper, dan berbagai pertanyaan lainnya yang membuatku stres.

Sembari introspeksi, doaku kepada zat yang Maha Membolak-balikkan Hati, tak pernah putus. Mohon petunjuk apa yang seharusnya kulakukan. Tak lupa aku mencoba memberanikan diri bertanya kepada para ahli secara daring. Psikiater, ustaz, dan ahli hukum sudah aku hubungi. Berharap ketemu jawaban terbaik meski belum tentu aku menyukainya. Jika toh kesalahan atau ketidakharmonisan itu aku penyebabnya, aku bersedia memperbaiki diri. Jika sebaliknya, aku pun berusaha sabar dan memaklumi.

Usai konsultasi secara daring, dadaku terasa lega, plong, meski belum ada jawaban. Demikian juga ketika aku mencurahkan isi hati kepada salah seorang sahabat karib_yang aku percaya dia amanah_ternyata dadaku semakin lapang. Akhirnya pelan-pelan aku mampu menata hati, mencoba menerima dengan ikhlas berbagai gelombang kehidupan.

Konflik Mereda

Memendam perasaan negatif bukanlah keinginanku karena terbukti makin membuatku terpuruk. Punya sahabat karib, salah satu yang patut aku syukuri. Kepadanya aku tumpahkan keluh kesah dan dengan hati terbuka dia menampung segala kegundahanku. Tidak harus selalu memberi jalan keluar. Bersedia menjadi pendengar, bagiku sangat melegakan. Ya, sebagai pendengar.

Selain mengeluarkan apa yang membebani dada, aku tak memungkiri hadirnya buah hati merupakan amunisi ampuh penyemangat hidup. Mereka harta kami yang tak ternilai. Tidak mungkin harta itu kubiarkan hancur hanya karena sosok ibu yang tengah dilanda depresi. Mereka jauh lebih berharga daripada diriku sendiri. Tumbuh kembang mereka prioritas utama bagiku. Bagaimanapun tertekannya batinku, aku masih mampu berpikir jernih dan tak mungkin gegabah dalam bertindak.

Nasihat para ahli selama konsultasi, aku implementasikan di hari-hariku selanjutnya. Dari mulai belajar mengelola hati, pikiran, dan mencoba legowo hingga memperbaiki penampilan. Tentu dengan harapan agar aku lebih sabar bila mendengar kalimat seperti: “Bajumu itu lho, kurang pas dengan warna kulitmu yang gelap,” atau, “Masakan kayak gini tak usah kau bawa ke kantorku,” dan seterusnya.

Masih banyak kalimat merendahkan lainnya, tapi lambat laun aku tak terlalu memasukkannya ke hati. Aku kebal. Tersinggung? Sudah tidak lagi. Aku harus menyayangi dan menghargai diriku sendiri dengan segenap potensi yang ada. Dengan demikian aku lebih bisa memotivasi diri bahwa aku kuat, aku mampu, aku bisa dan aku berharga.

Kembali menyibukkan diri dengan hobi membuatku lupa hal-hal sepele yang selama ini cukup menyita waktuku dengan sia-sia. Kudalami lagi ilmu tentang memasak, menjahit, dan kegemaran menulis yang sempat terhenti. Anak-anak menjadi lebih ceria melihat ibunya sibuk dengan sesuatu yang positif. Ini kebahagiaan tersendiri buatku.

Penyelesaian

Pelan-pelan aku mampu menemukan diriku sendiri yang beberapa saat lalu tidak jelas mau apa dan mau ke mana. Kugali terus potensi diri yang pernah ada dan aku mulai mewujudkannya satu per satu dengan serius. Kulawan segala model kemalasan sambil terus mencoba melakukan hal-hal kecil yang menyenangkan. Tak lupa belajar lagi dan berusaha meningkatkan kualitas apa pun yang aku kerjakan.

Waktuku habis untuk hal-hal positif yang terbukti mampu membuat hatiku bahagia. Aku syukuri hasil masakanku yang mulai punya pangsa pasar tersendiri. Jahitanku makin rapi dan pelangganku puas. Tak lupa, aku masih sempat menulis artikel-artikel ringan seputar rumah tangga, parenting dan fiksi. Setiap tulisan yang tayang di media online, mampu menciptakan bunga-bunga bahagia di dadaku.

Aku sadar bahwa setiap insan di bumi ini tak akan luput dari cobaan dan berbagai ujian hidup. Di setiap persoalan pasti sudah disiapkan cara penyelesaiannya oleh Sang Pemberi ujian. Kita hanya perlu berupaya untuk mencari cara tersebut yang bagi setiap orang belum tentu sama.

Membiarkan pikiran kusut tanpa berusaha mengurai membawa dampak negatif bagi fisik dan mental. Berbagai gangguan akan muncul atau justru mengintai yang setiap saat “menyantap” badan dan pikiran kita. Bukankah kita ini berharga dan berhak bahagia?

*Seperti yang telah diceritakan Dahlia kepada penulis.