Setiap tanggal 12 April terkenang sebagai Hari Bapak Pramuka Indonesia, pilihan hari itu berdasarkan tanggal lahir Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Peringatan tersebut untuk mengapresiasi peran serta dedikasi Sri Sultan HB IX dalam Kepramukaan di Indonesia. Melansir dari sebuah situs, Sang Sultan lahir pada 12 April 1912 di Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorojatun.
GRM Dorojatun adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit. Putra Mahkota memulai pendidikan setara sekolah dasar di Hollands Inlandse School (HIS) di Yogyakarta. Kemudian Ia melanjutkan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau setara SMP di Semarang.
Selepas lulus dari Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung, Sri Sultan melanjutkan kuliah di Universiteit Leiden, Belanda. Sri Sultan HB IX menjabat Ketua Kwartir Nasional (satuan organisasi yang mengelola Gerakan Pramuka Nasional) Pertama sejak tahun 1961 hingga 1974. Hal tersebut sebagaimana tertera dalam situs Pramuka DIY Yogyakarta.
Konteks dan Perubahan dalam Sistem Pendidikan
Gerakan Pramuka telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan di Indonesia. Namun, di tengah berbagai perubahan dalam sistem pendidikan dan kebijakan sekolah, ada beberapa kasus di mana Pramuka bukan lagi menjadi ekstrakurikuler wajib bagi siswa. Tulisan ini, penulis ingin mengeksplorasi implikasi dan pertimbangan yang terkait situasi bahwa Pramuka tidak wajib dalam konteks pendidikan.
Sebagai gerakan yang telah ada sejak lama, Pramuka telah menjadi simbol penting dalam pembentukan karakter siswa di Indonesia. Namun, dengan perubahan dalam sistem pendidikan, terutama menyangkut kebijakan ekstrakurikuler sekolah. Mengakibatkan banyak institusi pendidikan mulai mengurangi atau menghilangkan kewajiban mengikuti kegiatan Pramuka. Pengurangan ini karena berbagai faktor, seperti prioritas kurikulum, keterbatasan waktu dan sumber daya, serta pergeseran nilai kebutuhan pendidikan.
Implikasi bagi Pembentukan Karakter Siswa
Salah satu dampak utama dari pengurangan keterlibatan Pramuka adalah pada pembentukan karakter siswa. Pramuka telah lama diakui sebagai wahana untuk memperdalam nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, kerja sama, dan tanggung jawab. Tanpa peran Pramuka dalam kegiatan sekolah, kita akan kehilangan platform pengembangan aspek-aspek karakter.
Siswa yang tidak terlibat dalam Pramuka akan kehilangan kesempatan untuk belajar tentang kerjasama tim, kemandirian. Selain itu juga kealpaan keberanian melalui kegiatan di luar ruangan atau petualangan alam. Sehingga hal ini bisa berdampak serius pada kesiapan mereka menghadapi tantangan dalam kehidupan nyata.
Diversifikasi Alternatif dalam Pembentukan Karakter
Meskipun Pramuka tidak lagi menjadi ekstrakurikuler wajib, ada upaya untuk menemukan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi siswa. Beberapa sekolah mungkin menggantikan Pramuka dengan program-program sejenis lainnya. Esensinya bertujuan sama untuk pembentukan karakter, seperti kegiatan seni, olahraga, atau pengabdian masyarakat.
Namun, sebagai catatan bahwa tidak semua program dapat menggantikan peran Pramuka secara keseluruhan. Perlu pendekatan secara holistik dan terintegrasi dalam pembentukan karakter siswa. Atau, setidaknya dengan memadukan beberapa elemen dari berbagai program ekstrakurikuler.
Kesimpulan
Ketika Pramuka bukan lagi menjadi ekstrakurikuler wajib bagi siswa dan sekolah, kita perlu mempertimbangkan implikasi dan alternatif yang ada. Meskipun perubahan ini berpeluang membuka jalan bagi diversifikasi pendidikan ekstrakurikuler, pastinya kita akan kehilangan kesempatan berharga bidang pembentukan karakter siswa. Oleh karenanya, penting untuk terus mengevaluasi kebijakan pendidikan agar tetap relevan serta efektif dalam mempersiapkan generasi muda masa depan.
Tinggalkan Balasan