Secarik Kenangan Masa Kecil tentang Kartini

Secarik Kenangan Masa Kecil tentang Kartini
Sumber Foto : Pexels

“Namaku Euis, dari Jepara Jawa Tengah.” Sepotong dialog dalam sebuah film Indonesia di tahun ’85 yang berjudul Permata Biru itu membuatku tersentak dan prihatin. Film ini menceritakan Euis seorang gadis lugu yang akhirnya terpaksa bekerja di lembah hitam, sebagai korban penipuan dari oknum pencari tenaga kerja. Dialog di film itu tampaknya kurang pas karena Euis bukanlah nama lazim bagi perempuan bumi Kartini, Jepara.

Jika saat itu boleh protes dan bertanya, tentu aku sudah bertanya. Mengapa Jepara identik dengan mitos para perempuannya yang nakal, gampangan, murahan dan kebanyakan menjadi wanita panggilan serta sebutan negatif lainnya? Apakah sudah ada penelitian khusus dan serius tentang hal ini di bumi Kartini tercinta? Sungguh adegan memperkenalkan diri dari Euis kepada para lelaki hidung belang dalam film tersebut sangat melukai perasaanku sebagai perempuan Jepara. Sedemikian burukkah citra perempuan Jepara?

Ada lagi berita yang cukup mengiris hati beberapa tahun lalu. Kabar sejumlah besar siswi SMA di Jepara hamil di luar nikah. Berita seperti ini sangat meresahkan apabila kita menelannya mentah-mentah. Agar mitos perempuan “nakal” tidak sampai menjadi buah bibir atau viral, maka sangat penting untuk pelurusan. Pembiaran berita-berita negatif yang beredar dapat membelokkan sejarah dan menodai perjuangan Kartini.

Inikah perempuan Jepara? Andai Kartini masih ada dan hadir di tengah-tengah kita, betapa sedih dan nestapa hatinya. Mendapati banyak fenomena yang menyimpang dari cita-citanya yang agung dan mulia. Akan muncul sejumlah keprihatinan yang mendasar jika memang berita itu benar. Ada rasa sedih ketika mendapati banyak perempuan yang justru tidak menghargai diri sendiri. Berbuat semaunya tanpa menghiraukan dampak yang timbul bagi diri dan keluarga.

Kita tinggalkan dulu dua cerita di atas dengan meningkatkan kewaspadaan. Cerita yang sempat membuat ketar-ketir hati setiap keluarga khususnya masyarakat Jepara. Sudah seharusnya cita-cita luhur dan keharuman nama Kartini kita junjung tinggi. Jangan sampai hanya karena moral segelintir manusia yang tak bertanggung jawab, upaya kita untuk menindaklanjuti semua perjuangannya menjadi terhenti.

*

Setiap perempuan Indonesia pasti mengenal siapa Kartini. Putri seorang bupati di Jepara yang cerdas dan menjadi pahlawan nasional karena jasa-jasanya memperjuangkan pendidikan bagi para perempuan pada masa penjajahan. Berkat jasanya, kini para perempuan Indonesia telah banyak menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan dan masyarakat.

Dulu, saat aku kecil, mengetahui siapa Kartini justru dari sebuah lagu ciptaan WR Supratman yang berjudul Ibu Kita Kartini. Lebih-lebih menjelang peringatan Hari Kartini, aura bahagia membawaku menyanyikan lagu tersebut hingga hafal di luar kepala. Seakan hanya Kartini, pahlawan idolaku yang selalu aku pandang berlama-lama potret beliau di dinding rumah.

Di masa kecil itu pula, sebelum ada salon-salon kecantikan menyewakan baju adat dan kebaya, ibuku punya spesialisasi sebagai penjahit kebaya. Setiap menjelang peringatan Hari Kartini atau Kartinian yang jatuh pada tanggal 21 April, jahitan ibuku menumpuk. Dominasi bahan-bahan kebaya baik bagi anak-anak usia SD, SMP, SMA maupun bagi bu guru.

*

Ada satu peristiwa mengesankan yang sempat terekam dan masih kuingat hingga hari ini. Yakni, ketika salah satu kakak kelasku di SD menangis meronta-ronta minta baju kebaya untuk upacara Hari Kartini esok harinya. Hari itu, seorang ayah yang sangat menyayangi putri tunggalnya terpaksa mencari bahan lalu di bawa ke ibuku.

Seperti biasa, ibuku tidak tega. Dia sampai lembur semalaman hanya untuk membuatkan kebaya si kakak kelasku tadi. Waktu itu aku duduk di kelas 3 dan belum wajib mengenakan kebaya. Namun hati kecilku seakan protes, mengapa tak semua murid perempuan memakai kebaya karena aku juga ingin memakainya.

Keinginan tersebut akhirnya terwujud setelah 2 tahun kemudian. Hari itu aku terpilih menjadi pemimpin upacara, memakai kebaya berbahan brokat warna kuning dengan jarit atau kain warna coklat. Jarit atau kain yang kupakai adalah jarit ibuku yang di wiru-wiru bagian depannya dengan amat rapi. Tentu saja aku sangat bangga dan bahagia berkesempatan merasakan sensasi Kartinian yang memang sudah lama kuinginkan.

*

Postur tubuhku yang kecil membuat jarit yang kupakai terasa kedodoran karena saking panjang dan lebarnya jarit. Di detik-detik upacara itulah langkah tegap ku kurang maksimal karena “kesrimpet-srimpet” dan terpaksa jalan pelan agar tak terjerembab. Peristiwa itu menjadi kenangan manis yang sulit aku lupakan. Memimpin upacara dengan jarit kurang rapi dan konde rambut ala-ala, tapi tetap membuatku semangat dan bangga memimpin upacara hingga selesai.

Memasuki usia SMP acara Kartinian menjadi sedikit berbeda. Berbeda karena sebagian temanku berdandan di salon-salon sehingga tampil lebih cantik dan anggun. Sementara aku tampil biasa dan polosan tanpa make up yang berarti, kecuali sedikit bedak tabur.

Sesungguhnya salon kecantikan pada saat itu sudah ada, tapi tidak sebanyak sekarang. Berbusana kebaya di Hari Kartini belum lengkap bila tak memakai gelung atau konde. Untuk memasang konde agar rapi memerlukan beberapa tusuk. Selain sebagai pelengkap, tusuk konde tergunakan sebagai hiasan agar konde tak mudah lepas dan terlihat indah.

*

Kebetulan ada ibu temanku yang berprofesi sebagai perias pengantin dan atas izinnya aku numpang pasang konde di sana. Karena gratis, aku lebih memilih diam menahan sakit ketika salah satu tusuk konde menyerempet kulit kepalaku. Aku yakin ibu temanku yang sudah sepuh itu tak sengaja. Ternyata kulit kepalaku berdarah dan belakangan meninggalkan bekas “péthak” kecil (polos tidak tumbuh rambut). Untung rambutku panjang sehingga bisa menutupi.

Sampai hari ini aku tak bisa mengingkari, ada rasa bangga tak terperi kala menyebut nama Jepara dan nama Kartini. Namun juga ada sedikit rasa minder saat menyadari hanya sedikit yang aku tahu mengenai sosok pahlawan ini. Oleh karena itu, selain dari buku sejarah dan dari keterangan guru di sekolah, setiap menjumpai kisah tentang Kartini, misalnya dari majalah atau koran, aku tak akan tinggal diam. Kendati Indonesia memiliki beberapa pahlawan perempuan, bagiku belum bisa menggeser kedudukan Ibu Kartini di hatiku.

Dari buku-buku yang mengupas tuntas tentang Kartini, kita bisa belajar banyak. Apalagi sebagai perempuan Jepara, sosok Kartini, sejarah dan sepak terjangnya sudah melekat pada diri saya. Bila suatu saat ada yang berkonotasi negatif terhadap Kartini dan terhadap perempuan Jepara seperti cerita film di atas, kita bisa pasang badan untuk membelanya.

*

Tak ada keraguan sedikitpun ketika pahlawan perempuan Jepara ini sangat piawai di bidang literasi. Bukti-bukti sejarah telah menjawab semuanya. Dari kumpulan surat-surat Kartini ke teman-temannya di Belanda, menunjukkan bahwa pada saat itu dunia literasi sangat beliau kuasai.

Sosok Kartini memiliki kebiasaan membaca karena membaca merupakan hiburan baginya dan jembatan mengenal dunia luar. Kegemaran membaca buku-buku yang berasal dari dalam dan luar negeri, membuatnya mengetahui keadaan perempuan di negara lain. Kepiawaiannya berbahasa Belanda memudahkan Kartini melahap seluruh isi dari setiap buku yang beliau baca.

Selain membaca dan menulis surat-surat untuk teman-temannya di negeri Belanda, Kartini juga menyediakan waktu untuk menulis karangan dalam majalah dan surat kabar. Karangannya semakin lama semakin berkualitas sehingga banyak menerima permintaan untuk menulis karangan dari berbagai majalah dan surat kabar yang ada pada saat itu.

*

Inilah yang sebenarnya mampu menginspirasi para perempuan masa kini untuk lebih peduli dan serius dalam mengapresiasi tentang tulis menulis. Bukankah Kartini sudah memulai sejak lama? Budaya membaca juga perlu kita galakkan kembali pada generasi muda karena sesungguhnya menulis dan membaca merupakan “sedulur sinarawèdi” yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya.

Pernah suatu kali ada semacam penyesalan yang dalam. Yaitu saat kami serombongan berkunjung ke daerah tertentu dan tak mampu menjawab beberapa pertanyaan dari orang-orang tentang siapa Kartini. Di satu sisi mereka butuh jawaban yang rinci dan langsung dari sumbernya, perempuan dari Jepara. Di sisi lain jika pengetahuan kita tentang diri Kartini kurang mumpuni, maka jawaban untuk setiap pertanyaan menjadi tidak akurat dan kurang memuaskan.

Rasa malu pasti ada bila tidak mampu menceritakan atau menjelaskan bagaimana sosok Kartini. Akan menjadi sesuatu yang fatal dan memalukan jika tidak paham atau bahkan kurang peduli dengan sejarah daerahnya sendiri. Bagaimana agar masyarakat dan dunia luar tahu bergantung dari cara kita dalam menarasikannya.

*

Tidak sedikit para perempuan di luar sana yang justru lebih paham tentang sejarah Kartini. Mereka lebih tahu secara detail tentang sejarah, perjuangan, surat-surat yang pernah Kartini tulis dan semua informasi tentang Kartini. Hal ini tentu menjadi tamparan keras bagi kita sekaligus sebagai pelecut untuk menengok kembali sejarah Kartini. Orang lain saja lebih tahu, mengapa kita perempuan Jepara, lahir dan berdomisili di Jepara, hanya seujung kuku ilmunya tentang Kartini? Tidakkah kita malu?

Baru-baru ini terbentuk sebuah komunitas untuk para penulis di Jepara yang salah satu tujuannya adalah “menguri-uri” sejarah perjuangan Kartini. Semua yang menyangkut tentang Kartini sungguh tak ternilai dan harus kita apresiasi. Ajakan ayo menulis tentang Kartini_Kartini di Hati_menyentak sanubari kita yang mau tak mau harus bangkit dari kemalasan yang berkepanjangan. Demi generasi muda yang akan datang agar lebih melek literasi, kita mulai menulis dari diri sendiri.

Sebagai masyarakat Jepara ada semacam kewajiban bagi kita untuk mewariskan hal-hal atau informasi yang menyangkut Kartini dengan benar. Berharap generasi muda tidak terpapar oleh informasi yang minim, keliru atau menyimpang dari sejarah yang sebenarnya. Termasuk harus tahu kapan Kartini lahir, tumbuh, sekolah dan berjuang apa saja semasa hidup hingga akhir hayatnya.

*

Tujuan lainnya agar sejarah tentang pahlawan perempuan terhormat ini tak hanya diambil dari sisi negatifnya yang belum tentu benar. Belajar dari buku-buku, surat-surat yang dibukukan dan tulisan para sejarawan terbukti mampu menambah wawasan kita. Dengan semangat dan kesadaran tinggi mempelajari semua itu, sosok Kartini diharapkan benar-benar masuk dalam sanubari.

Pernahkah suatu hari Anda bertemu dengan para perempuan tangguh? Yaitu perempuan-perempuan mandiri, para pejuang perempuan yang tidak mengenal lelah dan tidak mengenal rasa takut. Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan yang dulunya tertindas dan tersisih. Juga berjuang demi kemerdekaan perempuan itu sendiri agar bisa mengekspresikan potensi dirinya secara maksimal, bebas dan merdeka. Seperti yang ditulis dalam setiap suratnya, Kartini selalu menyebutkan bahwa kemerdekaan kaum perempuan harus diperjuangkan oleh kaum perempuan sendiri.

Kini, banyak kita jumpai para perempuan di sekitar kita yang pantas disebut memiliki sosok Kartini. Yaitu sosok Kartini masa kini yang berpikiran maju dan punya harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi penerusnya. Tak peduli meski diri sendiri mengalami berbagai kendala, tapi semangat Kartini yang menyala-nyala patut diacungi jempol. Contohnya, seorang ibu yang rela berjuang sedemikian rupa, agar kelak anak cucunya memiliki potensi kecerdasan yang maksimal dibanding dirinya sendiri.

*

Manakala perempuan berjuang demi kemajuan kaumnya, para lelaki pun dituntut bersedia memberi ruang bagi mereka untuk mengembangkan diri atas potensi yang dimiliki. Tidak jarang perempuan dilarang begini begitu dan terbentur banyaknya larangan yang tidak masuk akal. Sudah saatnya para perempuan lebih cerdas dalam menyikapi segala hal yang menghalanginya untuk maju.

Ini sesuai dengan perjuangan Kartini bahwa perempuan punya hak untuk memperoleh pendidikan yang layak di sekolah supaya maju sejajar dengan laki-laki. Persamaan hak ini yang biasa kita kenal dengan istilah emansipasi. Sebagai perempuan, kita tidak perlu sungkan atau rendah diri dengan apa yang kita lakukan selagi masih dalam koridor yang lurus. Yaitu koridor yang tidak menyalahi kaidah agama maupun norma masyarakat yang berlaku.

Upaya untuk tidak larut dalam budaya patriarki sesungguhnya sudah lama digaungkan Kartini. Bila budaya ini masih langgeng, justru akan membelenggu dan menghambat langkah menuju cita-cita menjadi pribadi perempuan yang berkualitas. Dengan semangat belajar melalui sosok Kartini, diharapkan bermunculan para perempuan yang maju dalam pola pikir dan juga maju dalam peradaban. Tidak hanya bagi perempuan Jepara, tapi juga bagi setiap perempuan yang ada di negeri ini.

 

Wurry Srie

Ibu rumah tangga yang suka menulis. Lahir di Jepara ketika rakyat Indonesia memperingati Hari Kartini beberapa puluh tahun lalu. Menyanyi, mendongeng, dan menggambar adalah kesukaan lainnya.