Miskin atau Kaya, Yogyakarta Tetap Istimewa

Sumber gambar : http://www.instagram.com/mrzf777/
Sumber gambar: http://www.instagram.com/mrzf777/

Pada bulan Januari lalu media massa ramai-ramai mengabarkan, bahwa Kota Yogyakarta menduduki peringkat pertama, sebagai daerah termiskin di Pulau Jawa. Tentu tidak sembarangan memberikan predikat “miskin” tanpa data, katanya itu sudah berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022. Saya pun jadi melongo, tak lama saya berdecak dan geleng kepala, lha iya dong, saya kaget dan sekaligus tidak percaya. Masa iya? Yang benar saja lah, Kota Yogya dengan keindahan alamnya yang luar biasa, belum lagi banyaknya destinasi wisata yang kabarnya mujarab sebagai surganya healing therapy, kok termiskin di Pulau Jawa?

Saya tidak percaya, atau barangkali saya menolak kenyataan pahit itu dan bersikukuh, bahwa Yogyakarta tidak mungkin miskin. Paling-paling itu hanyalah salah data, karena setiap kali saya membuka media sosial, wira wiri sliweran postingan cafe, resto kekinian, hotel, dan villa yang instagramable. Itu belum ditambah lagi dengan menjamurnya tempat wisata baru yang keindahan alamnya bikin menangis darah. Lebay ya saya? Tapi serius, Kota Yogyakarta semakin tertata apik, cantik, semenjak dua belas tahun silam saya tinggalkan. Rasanya sulit bagi saya untuk menerima, kalau Yogyakarta masuk dalam pusaran kemiskinan. Sementara iklim wisatanya terus menggeliat dan mempesona siapa saja, termasuk saya.

Lantas saya penasaran, mengapa harus Yogyakarta? Bukankah masih ada kota-kota lain di Pulau Jawa yang jauh dari kata maju ketimbang Yogya, lantas apakah warganya di sana bisa dikatakan kaya raya? Apakah tolak ukur sebenarnya dalam menentukan suatu daerah itu pantas dikatakan miskin atau kaya? Menurut berbagai media yang saya baca, di antaranya ada tempo.co yang memaparkan, bahwa Kota Yogyakarta adalah salah satu destinasi utama bagi banyak pelancong, baik itu domestik dan mancanegara.

Bahkan menurut data dari DIspar DIY, kunjungan wisata ke Yogyakarta mencapai jumlah yang fantastis, yaitu sebanyak 7 juta kunjungan wisata sepanjang tahun 2022 yang lalu. Ternyata tingginya angka kunjungan wisata itu bukan suatu tolak ukur, kita tidak bisa mengatakan suatu daerah itu kaya atau miskin, jika hanya melihat dari segmen pariwisatanya saja. Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudana pada 19 Januari 2023 yang lalu mengatakan, bahwa indikator kemiskinan di suatu daerah itu berdasarkan pada konsumsi kalori masyarakatnya. Penentuan miskin atau kaya tidak bisa hanya berdasarkan pada kondisi pariwisata yang selalu ramai saja, tetapi merujuk pada kemampuan rata-rata belanja kalori yang harus di atas angka 425 ribu per bulan.

Mengetahui hal ini, saya pun terkesiap, membayangkan belanja kalori per bulan di bawah 425 ribu. Bukan per hari, akan tetapi per bulan, hal ini tentu sangat tidak masuk akal bagi saya. Namun ternyata, tempo.co memaparkan, masyarakat Yogyakarta dengan daya belanja di bawah 425 ribu ini tidak hidup di pusat-pusat destinasi wisata, melainkan di daerah Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul. Sepengalaman saya sewaktu hidup di Yogyakarta, selera dan daya konsumsi masyarakat Yogyakarta memang unik daripada masyarakat di kota lain pada umumnya. Anggap saja di beberapa kabupaten di Kota Yogyakarta masuk kategori miskin, tapi di sisi lain masyarakat Yogyakarta itu memang hidupnya cenderung hemat.

Berikutnya yaitu persoalan upah minimum provinsi atau UMP Yogyakarta, yang ternyata terkecil kedua di Indonesia. Tahun 2023 saja besar UMP Yogyakarta hanya naik 7, 65 persen, yaitu sebesar Rp 1,981,782. Ngilu hati saya mendengarnya, dengan maraknya kenaikan harga di mana-mana, bukan hanya kebutuhan pokok, tapi juga biaya pendidikan, bagaimana caranya hidup dengan upah sebesar itu? Bolehkan saya berpendapat seperti ini, apa tidak bisa UMP-nya naik jadi sekian juta? Setidaknya angka di atas dua juta rupiah, terdengar jauh lebih manusiawi.

Alasan berikutnya, karakter masyarakat Kota Yogyakarta yang memang gemar membelanjakan uangnya dalam bentuk aset. Padahal kepemilikan atas berbagai aset itu tidak akan masuk dalam hitungan indikator BPS. Nah inilah yang menarik, mereka bukan golongan manusia yang senang berfoya-foya. Orang Yogya lebih senang membeli aset seperti tanah, sawah, rumah, hewan ternak. Sementara kepemilikan atas aset banyaknya tersebut tidak dihitung oleh BPS, sehingga justru mengantarkan Kota Yogyakarta menjadi daerah termiskin sepulau Jawa. Apa tidak sebaiknya BPS menambah alat indikatornya? Supaya penilaian lebih imbang dan objektif saja.

Kita semua mengetahui, apa sih yang tidak ada di Kota Yogyakarta? Fasilitas sekolah tidak kalah dengan kota-kota besar lain di Indonesia, lingkungan belajar yang kondusif (semoga masih demikian, terlepas dari fenomena klitih), universitas negeri maupun swasta terbaik juga ada di sana. Masyarakat Yogyakarta memang berbeda dari masyarakat provinsi lainnya,mereka dikenal gemar menabung dan tidak sombong. Bangga sekali mendengarnya, serius! Sebagai salah satu keturunan orang Yogya, yang menumpang hidup di Kalimantan, saya mengakui budaya kuat menabung ini bukan rekayasa. Itu karena, saya berkaca pada kakek nenek, dan orang tua saya sendiri.

Melansir dari SOLOPOS.com, tingkat simpanan masyarakat di Yogyakarta jauh lebih tinggi daripada tingkat kreditnya. Wah, kalau demikian seharusnya DIY menyandang predikat provinsi terkaya dong ya? Kalau sudah begini, saya jadi berpikir, bahwa sudah seharusnya BPS menambah dan merubah indikator penilaiannya. Penilaian dan perhitungan seberapa tinggi tingkat kemiskinan di suatu daerah tidak hanya semata dari kemampuan belanja kalori bulanan saja.

Sebagai salah satu keturunan orang Yogya, mendengar Kota Yogyakarta tercinta harus menyandang predikat sebagai daerah termiskin di Pulau Jawa, membuat hati saya meronta. Kota Yogyakarta adalah kota yang mampu memeluk saya dengan segala keindahannya. Rasa tentram dan penerimaannya berhasil membuat saya merasa sebagai bagian dari manusia di dunia. Begitu banyak kisah dan kenangan terbaik, semua bermula dari Kota Yogyakarta. Mau apa pun kata BPS, atau bahkan seluruh dunia, miskin atau kaya bagi saya, Kota Yogyakarta tetap istimewa. Saya selalu ingin pulang dan merajut hari tua di sana dengan benang-benang nostalgia.


Baca juga :

  1. Media Sosial VS Media Mainstream
  2. Eksistensi Pers Masa Kini
  3. Guruku Viral

Yuk ikuti terus linimasa CAPTWAPRI.ID agar tidak ketinggalan informasi menarik lainnya.