Gegap gempita hari pahlawan, mengingatkan kita pada jerih payah para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bangsa ini sepantasnya berterima kasih pada seluruh Pahlawan Indonesia yang gugur di medan pertempuran. Para pahlawan yang bermandikan hujan peluru dan darahnya menumpahi tanah nusantara. Nama-nama mereka satu persatu hadir dalam ingatan, dan jasanya selalu dikenang.
Mereka pahlawan yang melepaskan bangsa ini dari jerat penjajahan. Sehingga kita dapat menghirup udara sebebas-bebasnya. Akan tetapi sudahkah mengucapkan terima kasih pada diri sendiri? Menyentuh dada sendiri, dan mengatakan “terima kasih sudah hidup sampai hari ini?” Berterima kasih pada diri yang tidak pernah merasa lelah memperjuangkan hidup di dunia ini.
Kita Sering Lupa, kalau Kita Juga Punya Peran
Kita terkadang kurang mengapresiasi peran-peran sederhana. Kita juga sering lupa apa saja yang telah mampu kita wujudkan dalam hidup ini. Termasuk saya sendiri, yang masih suka melihat pencapaian orang lain, lalu lupa dengan semua yang sudah saya wujudkan. Selalu saja merasa tidak melakukan apa pun yang berguna. Merasa diri ini kecil, bila dibandingkan dengan orang lain. Membayangkan diri yang saat bangun pagi, bisa mengantarkan anak menuju sekolah ternyata itu tidak berarti apa-apa bagi saya. Ternyata saya salah.
Faktanya sebenarnya adalah kita semua “pahlawan.” Kita adalah orang yang terus berlarian mengisi kekosongan dengan spontanitas, dan kesibukan. Kita sibuk untuk menuntaskan hari dari pagi hingga malam. “Sudah ngapain aja hari ini?” Begitu bunyi pertanyaannya barusan. Kemudian saya sibuk mencari jawaban pantas tentang hari ini. Bukankah itu semua juga pencapaian? Lalu mengapa saya berpikir, bahwa itu semua tanpa kesan?
Saya mulai merancang lagi jadwal sehari-hari, apa saja yang bisa saya kerjakan untuk sepekan ini. Kemudian saya menyadari, saya sudah berjuang agar mampu melakukan banyak hal. Terutama membaktikan hidup saya untuk seorang anak perempuan yang lagi kepo-kepo-nya. Saya lupa, kalau ibu itu adalah pahlawan bagi semua anak-anaknya. Ibu yang harus punya ribuan tangan, untuk melakukan banyak sekali pekerjaan di hari yang sama.
Begitu pula dengan orang-orang di luar sana. Para bapak yang sedang berkerja banting tulang, agar anak-anaknya bisa makan. Bekerja dari pagi hingga malam, untuk memenuhi semua kebutuhan. Ada anak-anak yang belajar menerima kekurangan orang tuanya. Belajar untuk hanya makan seadanya, dan berpakaian sederhana. Kemudian ada orang-orang yang sedang berjuang melawan penyakit di tubuhnya. Berjuang agar denyut jantung itu berdetak seirama dan terus ada.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu Adalah Kita Semua
Kita hanya mengapresiasi hal-hal besar, entah apa saja asal dalam wujud spektakuler. Yang paling sepele saja misalnya, hidup saya terlalu ringkih dan tidak akan mampu tanpa sosok “aunty.” Seorang asisten rumah tangga yang hadirnya selalu saya nantikan setiap hari. Saya bahkan tidak ragu-ragu mengatakan, kalau saya hanya butiran debu tanpa asistenku itu. Sehari saja si aunty menghilang, maka seakan kiamat datang.
Ini hanya contoh kecil dalam hidup sehari-hari yang seringkali terabaikan. Lupa mengapresiasi semua orang yang sangat berjasa dalam hidup ini. Kita kurang mawas, dan beranggapan bahwa orang yang berjasa itu harus seorang bos besar, uangnya banyak. Pertanyaannya, apakah kita mampu membangun rumah sendiri? atau kita akan mengaspal jalanan sendiri? Dan apakah bak nelayan kita juga akan menjaring ikan sendiri di lautan?
Mulai sekarang saya belajar lagi melihat orang-orang di sekitar. Bahwa kalau saya tanpa mereka, saya sudah pasti jauh dari kata “merdeka.” Selain itu tanpa diri sendiri yang mampu mandiri, sudah pasti kelumpuhan itu membuat kita serba terbatas dan tak leluasa. Kenyataannya peran-peran sederhana itulah yang membuat hidup kita merdeka seutuhnya. Akhirnya saya tidak sungkan mengatakan, bahwa ART-ku pahlawanku.
Mata saya terbuka kalau tanpa asisten rumah tangga, hidup saya tak akan merdeka sepenuhnya. Sudah dipastikan peluh saya akan mengucur dari pagi hingga menjelang malam. Mengakui kepahlawanan orang lain, dan betapa pahlawannya dirimu dalam menjalani hidup. Alih-alih kamu ingin menyudahi dan merasa sudah kalah. Kekalahan itu hanya berlaku jika kamu sudah berhenti bangun pagi meski hanya untuk bergegas mandi.
Memaknai Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November tepatnya hari ini. Saya ingin berhenti mengkaitkan kata pahlawan hanya pada mereka pejuang-pejuang yang namanya abadi. Pastinya saya ingin berterima kasih untuk setiap butir beras yang saya makan setiap hari. Pada petani-petani yang bekerja di sawah, dan pada semua orang yang telah banyak membantu saya. Bahkan pada mereka yang masih ada dan hadir. Mereka yang melihat saya apa adanya tanpa menghakimi. Kalian semua adalah para pahlawan di negeri ini.
***
Terakhir, saya ingin berterima kasih pada diri saya sendiri, belajar lagi untuk mencintai apa yang saya miliki. Berterima kasih dari kepala hingga ujung kaki, karena saya telah hidup selama-lama ini berkat ketangguhan, dan hati yang kuat. Tidak lupa tentu saja, terima kasih pada Mas dan Mbak Editor, terutama Mas Redakturnya. Kalian semua adalah pahlawan bagi penulis pemula seperti saya. Terima kasih sudah memotivasi untuk terus menulis dengan hati yang gembira.
Tinggalkan Balasan