Katakan Tidak Pada Korupsi
Begitulah slogan yang kerap dikampenyakan sebagai bentuk penolakan atas segala tindak korupsi. Kendati demikian, seiring banyaknya kampanye melalui slogan-slogan yang mengisi seluruh ruang media massa, nyatanya tidak sedikit pejabat yang menjilat lidah dan tertangkap atas kasus tindak pidana korupsi. Miris, pesan yang seharusnya dirancang sebagai pengingat malah berubah menjadi bahan olok-olok di kalangan masyarakat.
Benar memang bahwa kasus korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi membiarkan korupsi hingga menjadi budaya, tentu tidak dibenarkan. Artinya, keseriusan memerangi korupsi tidak bisa diukur melalui banyaknya slogan yang dikampanyekan. Perlu adanya langkah yang sistematis dan terukur dalam memprediksi tindak korupsi khususnya yang sering terjadi di lembaga pemerintahan.
Opini ini mengkaji bagaimana melakukan analisis tindak pindana korupsi menggunakan model knowledge management (manajemen pengetahuan) berbasis etika Pancasila. Jika selama ini tindak korupsi dirancang secara sistematis, terukur, dan terhubung dengan baik maka cara paling efektif untuk mencegahnya adalah dengan melakukan hal yang sama. Melalui implementasi manajemen pengetahuan, setiap tindakan dapat dianalisis sejak perancangan, pengawasan, hingga pelaporan.
Tujuan penggunaan model ini tidak diberikan kepada pemerintah sebagai kuasa pengguna anggaran, melainkan menjadi edukasi kepada masyarakat agar mampu menganalisis dan memprediksi sebuah tindak pidana korupsi. Sehingga, masyarakat tidak hanya disibukkan dengan slogan yang diingkari, melainkan pengetahuan paling dasar dalam menilai potensi tindak korupsi di lingkungan sekitar.
Korupsi dan Praktik Birokrasi
Secara tekstual, korupsi berasal dari bahasa latin corruptin yang berarti rusak, buruk, dan memutar balikkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan atau penyimpangan uang negara, perusahaan, dan sebagainya hanya untuk keperluan pribadi atau orang lain. Bagaimanapun definisinya, korupsi hingga hari ini telah menjadi momok bangsa Indonesia. Menurut hemat penulis, penderitaan dan lambatnya perkembangan bangsa sering kali dihambat atas penyelewengan kekuasaaan yang korup.
Upaya pemberantasan korupsi pada lembaga pemerintahan atau birokrasi di Indonesia menjadi jalan pertama yang bisa dilakukan dalam memerangi korupsi. Memang jalan yang terjal, meski sudah dilakukan melalui berbagai cara, namun hingga saat ini masih saja terjadi korupsi dengan beragam modus dan teknik. Ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 korupsi diklasifikasikan ke dalam: merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan, gratifikasi.
Pemberantasan korupsi membutuhkan adanya penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tercipta kerja sama internasional dan regulasi harmonis. Kasus pemberantasan korupsi sering terjadi karena hambatan struktural, kultural, instrumental, dan manajemen. Tidak pidana korupsi ini akan berbahaya bagi masyarakat, generasi muda, politik, ekonomi, dan birokrasi.
Birokrasi yang bersih menjadi modal utama mengawal korupsi. Tidak menyampaikan slogan, pemerintah melalui berbagai struktural, instrumental, program, dan kultural haruslah mampu memberikan edukasi dan wewenang bagi masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan. Meninjau dari hukum pidana, tindak pidana korupsi yang paling memungkinkan yaitu melalui upaya preventif.
Upaya ini menekankan pada usaha untuk meminimalisir, menyelesaikan, serta mencegah potensi korupsi. Terdapat dua faktor korupsi: Pertama, faktor internal menyangkut lemahnya moralitas masyarakat Indonesia yang menimbulkan korupsi. Kedua, adalah faktor eksternal yang berkaitan dengan kurangnya pendapatan.
Upaya preventif tindak korupsi bisa melalui pendidikan anti korupsi. Pendidikan antikorupsi berfokus pada tiga tujuan: membentuk pengetahuan dan pemahaman masyarakat; mengubah pandangan dan sikap; dan menghasilkan keterampilan melawan tindak korupsi. Sayangnya, korupsi tidak hanya terjadi karena kebutuhan dan kesempatan, tapi juga karena adanya keserakahan.
Tak heran jika banyak cendekiawan ataupun orang berpendidikan yang pada akhirnya juga melakukan tindak korupsi. Artinya, terdapat beberapa kesalahan dalam pola pendidikan anti korupsi selama ini. Salah satunya menurut hemat penulis adalah kurangnya pemahaman tentang ideologi dan pentingnya Pancasila.
Bukanlah tidak mungkin jika korupsi ini dapat terjadi karena semakin lemahnya internalisasi dan implementasi Pancasila khususnya bagi pegawai pemerintah yang digaji oleh negara. Oleh karena itu, perlu adanya solusi untuk meningkatkan pemahaman dan penerapan nilai Pancasila agar tercipta kesadaran. Implementasi nilai Pancasila dalam ruang lingkup kecil maupun besar dengan sebaik mungkin.
Lingkup terkecil pendidikan anti korupsi dimulai dari keluarga dan masyarakat, selanjutnya pemerintah ataupun negara itu sendiri. Mendukung hal tersebut, penegak hukum diharuskan untuk membela keadilan. Hal tersebut dapat membantu mengatasi atau bahkan menghilangkan kasus korupsi dengan adanya bentuk apresiasi maupun sanksi demi terwujudnya negara anti korupsi.
Pancasila sebagai Solusi Pemberantasan Korupsi
Pancasila menjadi janji luhur yang tercipta atas musyawarah pendiri bangsa Indonesia melalui sidang BPUPKI yang telah dilaksanakan dua kali. Diawali oleh Presiden Soekarno yang berpidato tanggal 1 Juni 1945, beliau menggagas pendirian bangsa Indonesia untuk memiliki sebuah filosofi hidup. Hal tersebut menjadi filosofi dasar terkait dunia dan kehidupan serta menjadikannya sebagai hal abadi yang harus dijaga, dilestarikan, serta dipertahankan.
Perumusan dasar negara tentu tidak mudah diputuskan. Proses itu telah melewati pembahasan mendalam khususnya terkait pandangan hidup dan falsafah negara Indonesia. Meninjau dari aspek kebudayaan, nilai luhur budi bangsa Indonesia. Hal itulah yang menjadi pondasi yang melatarbelakangi Pancasila sebagai dasar negara.
Pancasila dan tindak pidana korupsi menjadi satu unsur kesatuan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diamanahi dan digaji oleh negara harus mampu menginternalisasi nilai Pancasila sebagai pondasi dalam menjalankan tugas. Jack Bologne, seorang ahli pernah mengatakan korupsi tidak terjadi hanya karena faktor kebutuhan (need) dan kesempatan (opportunity), tetapi juga faktor keserakahan (greed).
Individu yang serakah sangat potensial melakukan tindak korupsi. Ketiga aspek tersebut merupakan hal yang melekat pada setiap instansi birokrasi. Harapannya, dimulai dari birokrasi yang bersih niscaya praktik kegiatan korupsi tidak akan terjadi. Jika pemegang kuasa amanah niscaya masyarakat akan sejahtera. Jika ada keterbukaan dan keseimbangan antara pengguna dan pengawas anggaran, niscaya akan menciptakan saling kepercayaan. Jika tercipta masyarakat yang berpedoman pada Pancasila, niscaya Indonesia akan maju dan berdaulat.
Fitrah Izul Falaq, Mahasiswa S2 Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang
Tinggalkan Balasan