Kenalkan, namaku Subakri. Bukan Umar Bakri. Dulu, saat usiaku masuk sekolah dasar, aku bercita-cita ingin menjadi guru. Saking kencengnya cita-citaku, setiap teman-temanku bermain ke rumah, mau tak mau mereka aku paksa main sekolah-sekolahan dan gurunya harus aku. Sudah kusiapkan beberapa lembar kertas kosong dari sisa buku tulis mbak dan masku. Aku siapkan pensil-pensil yang tinggal beberapa senti panjangnya karena bekas dari mbak dan masku juga.
Aku tidak pernah berpikir para temanku itu hepi apa tidak main sekolah-sekolahan denganku. Yang aku tahu mereka tampak semangat dan gembira. Sebagai papan tulis aku hanya butuh satu kursi yang punya model sandaran punggung berupa papan polos dan lebar. Sesederhana itu untuk mewujudkan karakterku agar mendekati sosok seorang guru.
Ternyata aku sangat menikmati permainan ini. Teman-temanku saat itu dengan suka rela mau-mau saja memanggilku pak guru. Aku senang dan ada rasa bangga, maklumlah masih kanak-kanak. Jika sudah begitu, teman-teman yang jadi muridku tidak berani protes ketika aku beri tugas ini dan itu. Tidak berani menolak “titah pak guru”. Lebih-lebih ketika mereka antusias saat aku ajari sebuah lagu anak-anak yang belum pernah mereka dengar.
Oh iya, mengapa aku bisa menyanyi lagu baru? Tak lain karena aku sering membawa buku yang berisi lagu-lagu baru dari perpustakaan lalu di rumah diajari bapakku menyanyi sekaligus mengenal solmisasi. Bapakku dulu seorang guru dan menyanyi adalah kegiatan yang menyenangkan bagiku. Hobi, begitu orang-orang menyebutnya. Selalu ada sensasi bahagia ketika aku sedang menyanyikan sebuah lagu.
*
Pada tahun tertentu profesi guru menjadi dambaan setiap lulusan SMP sehingga sejumlah besar siswa berbondong-bondong mendaftarkan diri ke SPG atau SGO. Saat itu lulusan dari kedua sekolah tersebut sudah cukup dan bisa menjadi seorang guru tanpa gelar untuk mengajar di sekolah dasar. Saking banyaknya peminat yang ingin masuk di sekolah tersebut hingga sempat ada selentingan kabar bahwa masuk ke jurusan guru bisa “lewat belakang”.
Seiring berjalannya waktu, untuk menjadi guru harus melalui perguruan tinggi alias kuliah. Bagi yang sudah menjadi guru dan mengajar akhirnya diharuskan kuliah untuk menambah wawasan keilmuan dan mendapatkan gelar demi memenuhi persyaratan sebagai pendidik sekaligus pengajar. Minimal bergelar sarjana pendidikan.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Sejak lulus SMP aku ikut-ikutan mendaftarkan diri di SPG tapi gagal. Bisa jadi ketika ditest aku tidak lolos karena yang pinter-pinter jumlahnya lebih banyak. Sadar diri atas keterbatasan kemampuanku, aku terima kenyataan dengan rela. Namun yang membuatku tak habis pikir adalah beberapa teman sekelas ku yang bahkan sedikit di bawahku, lolos semua. Aku yakin garis nasib ikut berperan penting selain doa orang tua tentunya.
Kebetulan saja namaku Subakri. Mirip-mirip dengan judul sebuah lagu kondang yang mengisahkan tentang seorang guru bernama Umar Bakri. Dalam lagu tersebut Umar Bakri adalah sosok guru sejati, sedangkan aku hanyalah seorang yang bercita-cita menjadi guru tapi terhalang karena beberapa kendala. Walaupun kata guruku aku dikaruniai otak encer, tak lantas membuat jalanku mengejar cita-cita menjadi mulus. Ada saja rintangan yang harus ku hadapi. Paling tidak dengan otak encer aku masih mampu berpikir jernih dan mampu menerima kenyataan yang ada dengan lapang dada. Namun karena cita-citaku amat tulus, jiwa guru masih terpatri kuat dalam benakku.
Semangatku selalu menyala tak pernah kendor. Meski akhirnya aku melanjutkan sekolah di SMA, hampir semua mata pelajaran aku ikuti dengan serius termasuk ekstrakurikuler yang ada. Seni teater, paduan suara, pramuka dan masih banyak lagi. Sambil berharap biarlah aku tak jadi guru tapi aku harus punya nilai tambah dibanding teman-temanku. Aku harus lebih semangat lagi untuk menambah ilmu.
Tahun berganti dan aku sudah lulus SMA. Kendala di finansial membuatku tak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi. Mengapa tak mencari program beasiswa? Ya, saat itu program beasiswa tak sebanyak sekarang dan informasi tentang itu juga tak secepat saat ini sehingga aku terlambat. Mungkin karena tekadku yang bulat pantang menyerah, aku belajar dengan caraku sendiri untuk memupuk bakat dan kemampuan yang kumiliki. Lebih tepatnya aku gali terus potensi tersembunyi yang ada pada diriku, aku maksimalkan melalui bermacam cara dan belajar pada ahlinya.
Usaha tak mengkhianati hasil, kata para pejuang. Di bidang seni, ada beberapa alat musik yang aku kuasai yaitu gitar, piano, harmonika dan seruling. Juga sejumlah jenis tari-tarian daerah dan tari tradisional. Dalam dunia sastra Indonesia, ada cerita anak, cerpen, puisi dan tulisan-tulisan ringan yang aku bisa. Aku juga punya kegemaran menggambar dan mendongeng baik itu dongeng yang sudah ada secara turun-temurun maupun cerita yang aku karang sendiri. Oleh karena itu, pada suatu hari ada pihak sekolah dasar yang memanggilku untuk mengisi beberapa ekskul bagi para siswanya.
Jalanku menjemput cita-cita menjadi guru butuh kesabaran ekstra. Manakala melatih anak-anak berkesenian, sempat diragukan hanya karena aku bukan “guru resmi”. Pun ketika melatih bagaimana berakting yang bagus dalam ekskul kreatif dramatik, dipandang sebelah mata. Semua itu tidak mengurangi semangatku dan semangat anak-anak dalam belajar. Bahkan jumlah yang berminat makin hari makin bertambah hingga pihak sekolah akhirnya mempercayai aku selama bertahun-tahun setelah melihat hasilnya.
*
Hari Guru Nasional memang sudah berlalu. Berpuluh tahun diriku telah berbagi ilmu yang aku punya dengan para siswa meski aku bukan guru resmi sebagaimana guru-guru lain di sekolah. Kini mereka memanggilku Pak Bakri atau Mbah Bakri. Bolehlah Hari Guru ditetapkan pemerintah pada tanggal tertentu, tapi bagiku setiap hari adalah hari guru. Bukankah setiap hari kita selalu menemukan hal baru yang bisa kita ambil sebagai pelajaran? Jika ternyata tak ada panggilan Pak Guru kepadaku, tidaklah mengapa karena bukan itu tujuanku dan aku bukan lulusan dari sekolah guru. Setitik ilmu yang mereka dapat dariku lalu menjadi sesuatu yang bermanfaat, jauh lebih berharga dalam hidupku.
Seperti yang telah diceritakan Pak Bakri kepada penulis.
Tinggalkan Balasan