Dikisahkan seorang anak gadis bernama Anna. Ia anak cerdas, pendiam, dan sangat peduli dengan teman-teman sekelasnya.
Bagi teman-teman sekelasnya, Anna dianggap membawa keberuntungan, terutama pada saat menghadapi masa-masa sulit, maka ia datang sebagai peri penyelamat mereka.
Sejak saat itu Anna sering dipanggil dengan sebutan Peri.
Sebagian teman-temannnya tidak menyukai jiwa sok pahlawan Anna ini. Bahkan, ada yang mengolok-olok karena cemburu. Namun, selalu dibela oleh teman-teman yang mendukungnya, tanpa kecuali teman sebangkunya yang bernama Dewi.
Persahabatan Anna dan Dewi ibarat pinang dibelah dua, mereka saling mengisi satu dengan lainnya sekalipun diantara keduanya ibarat dua kutub bumi utara dan selatan. Anna cenderung pendiam perasa sedangkan Dewi lebih terbuka dan berbicara apa adanya.
Anna dan teman-temannya berharap segera bertemu di sekolah, mereka sedang menikmati hari terakhir masa liburan sekolah.
Hari pertama Anna, Dewi, dan kawan-kawan pergi ke sekolah, selesai menerima arahan umum dari TU di halaman olah raga, dan kemudian digiring masuk ke ruang kelas masing-masing.
Anna dan teman-temannya kaget, karena kelasnya didatangi Pak Barus, kepala sekolah sambil memperkenalkan seorang guru kimia baru.
Ibu Desak, guru wanita berumur tiga puluh lima tahun dengan wajah datar dan tidak bersahabat berdiri di depan kelas, ia mengenalkan diri dengan suara serak seperti perokok berat dengan senyum sinisnya.
Barus dan Desak tersebut meninggalkan kelas Anna, suasana kelas menjadi hening dan seisi kelas saling memandang serta saling diam seribu bahasa.
Hari ke-13 proses belajar mengajar berlangsung, beberapa pelajaran disampaikan oleh guru-guru, termasuk pelajaran kimia dengan guru barunya.
Saat pelajaran tentang atom dan molekul berlangsung, seluruh siswa tampak tegang dan cemas.
Tiba-tiba Dewi mengacungkan tangannya dan bertanya kepada guru tersebut, “Bu, mengapa tahi lalatmu terus berubah?”
Seketika Desak menghentikan menulis, ia menekankan kapur ke papan tulis sekuat tenaga hingga patah dan patahannya jatuh ke lantai.
Desak membalikkan badannya ke arah suara. Ia memelototkan mata dan melihat Dewi sedang menurunkan tangannya pelan-pelan disertai ketakutan yang hebat.
Guru tersebut hanya berkata, “Seperti yang kamu lihat,”
Sambil terbata-bata Dewi menjawab, “T-ta-tahi lalat di wajahmu, kalau Senin satu dan kalau Selasa, Rabu berubah menjadi tiga tahi lalat.”
Anna juga ikut memperhatikan, ternyata memang berbeda.
Guru tersebut hanya berkata, “Seperti yang kamu lihat, satu tahi lalat di wajah saya. Jika kamu memikirkan sesuatu yang tidak sesuai, saya akan mengevaluasi pendapatmu untuk pelajaran ini dan jagalah mulutmu untuk diam.”
Teman-teman sekelasnya hanya tertawa tanpa memedulikan ucapan sang guru.
Seketika Desak mengemas buku-bukunya dan meninggalkan kelas tanpa salam, walaupun jam pelajaran belum usai.
Seisi ruangan kelas bergemuruh membahas kejadian yang baru saja terjadi, seluruh mata siswa tertuju kepada sosok Dewi yang dianggap berani dan mereka merasa puas karena berhasil mencairkan suasana kelas.
Tanpa rasa bersalah mereka mereka menuntaskan pelajaran hari itu dan pulang ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya, Anna alias Peri tidak menemukan Dewi hadir di kelas dan begitu pula hari-hari berikutnya.
Hari ketiga, Peri menanyakan wali kelas, Guru BP, dan kepada teman-temannya mereka. Semua menjawab tidak mengetahui keberadaan Dewi, sahabat sejatinya.
Semakin panik dan bingung Peri memikirkan sang sahabat terbaiknya.
Sepulang sekolah Peri tidak pulang ke rumah, ia menuju ke rumah orang tua Dewi dengan harapan semoga tidak terjadi apa-apa terhadap sahabatnya. Sesampai di rumah Dewi, ibunya menghampiri dan memeluknya sambil menangis sesenggukan.
“Mana Ayah, Bu?
“Sudah tiga hari ini ayah belum pulang, mencari keberadaan Dewi,” jawab ibunya.
Peri melalui hari-hari di sekolah dengan gelisah, ia menjadi pemurung. Seluruh pelajaran yang diterima berhari-hari dari guru tidak sempat singgah di pikirannya dan ia memerhatikan adanya perubahan cara penampilan ramah guru kimia baru kepada murid-muridnya.
Di tengah kekalutan luar biasa membuat pikirannya semakin kosong, ia memilih tidak masuk sekolah esok hari dan ia berniat mencari Dewi hingga ketemu.
***
Seusai kemarahan luar biasa Desak kepada Dewi, Peri merasa wajah menakutkan guru Desak menghantuinya terus menerus dan akhirnya ia memutuskan untuk mencari rumah sang guru.
Peri bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa setelah hilangnya Dewi, guru Desak mengubah cara penampilannya?”
Tujuh hari berlalu, keberadaan Dewi semakin misterius.
Kamis pagi, Peri mengelabuhi orang tuanya dengan berpura-pura pamit ke sekolah dan sesampai di tikungan menuju sekolah, ia melihat sekelebat Desak memasuki halaman sekolah.
Peri mengurungkan niat memasuki halaman sekolah dan bersembunyi di bilik kantor desa yang terletak berseberangan dengan sekolahnya.
Waktu menunjukkan pukul dua belas siang, Peri masih bertahan di bilik kantor desa hingga sang guru keluar. Satu jam kemudian, Peri merasa perut lapar, sementara target yang ditunggu belum keluar juga.
Peri melihat kantin di halaman belakang kantor desa, ia merogoh kantong celananya dan ia memesan makan dan minum di kantin tersebut.
Teng! Teng! Teng! Teng!
Bel tanda pulang sekolah berdentang.
“Siap bidik target,” lirihnya.
Peri mengintip orang per orang, kelompok per kelompok keluar dari halaman sekolah. Ia belum menemukan target yang dituju dan ia melihat seluruh pengunjung sekolah sudah pulang.
Seorang laki-laki keluar dari halaman sekolah, menyeberang, dan menghampiri ibu kantin kantor desa.
“Eh, kamu, Agus. Baru pulang?” seloroh Ponirah, wanita pemilik kantin.
“Iya, Bu,”
“Kamu salah apa?”
“Tidak mengerjakan tugas kimia, gurunya baru pula,” tukas Agus.
Peri mendengar pembicaraan Ponirah dan Agus secara sayup-sayup, walau hanya berjarak beberapa puluh meter.
“Semoga guru angker masih ada di sekolah,” lirihnya.
Peri dan Agus memang satu angkatan, tetapi berbeda kelas.
Namun, mereka belum saling kenal karena karakter Peri yang tertutup dan pemalu.
Waktu menunjukkan jam empat sore lebih lima menit, Desak tampak keluar dari pintu ruang guru. Ia berhenti di teras sambil berbicara serius dengan salah satu petugas kebersihan sekolah.
Desak melangkahkan kaki menuju pintu pagar sekolah.
Sang guru pulang dengan berjalan kaki.
Peri yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Desak mengikuti dengan mengendap-endap untuk mencari tahu dimana di mana Desak tinggal.
Setelah sampai, Peri bersembunyi di balik bilik dapur untuk mengetahui apa yang terjadi.
Ternyata di sana berdiri tiga orang wanita kembar dengan tahi lalat yang berbeda.
Peri sadar, ternyata gurunya bukanlah satu orang, tetapi tiga orang yang selalu bergantian. Tak lama setelah itu datang petugas kebersihan sekolah, yang tak lain adalah suami mereka.
“Apa yang kamu inginkan untuk makan malam kali ini, Sayang?” tanya salah satu dari ketiga kembar tersebut kepada Sunaim yang petugas kebersihan sekolah.
“Sama seperti tujuh malam lalu, paha yang sangat bagus dan juga berair,” kata pria itu sambil menjilati bibirnya.
Ketika wanita itu mulai membuka frezzer es, Peri sangat terkejut melihat frezzer raksasa seperti yang sering ia lihat di pabrik pengawet ikan tuna tempat ayahnya bekerja, dan di sana telah menggantung mayat temannya Dewi yang badannya telah dipotong-potong.
“Aku mencium sesuatu!” seru pria itu, “aroma seorang gadis muda!”
Tiba-tiba Sunaim bersama ketiga isteri kembarnya melihat pintu lemari tempat persembunyian Peri terbuka dan terlihat Sunaim bersama guru kimia kembarnya berdiri sambil meneteskan air liur.
“Daging segar! Daging segar!” serunya.
Petugas kebersihan mulai menjambak rambut Peri, menariknya keluar, dan menggulingkannya di tanah.
Dia mencoba melawannya, tapi tidak berhasil.
Gigi putih yang bengkok dan cacat sudah bersiap untuk menggigitnya.
Jumat pagi
Teman-teman sekelas memperhatikan, bahwa Anna alias Peri telah menghilang dari kelas sejak Kamis. Tidak ada yang tahu ketika Desak di hadapan mereka sibuk menjelaskan berbagai rumus atom.
Mayat Peri telah tergantung di loker daging apartemen dengan tubuh yang sudah terpotong-potong.
Selesai,-
Tinggalkan Balasan