Upin-Ipin: Tetap di Masa Kecil

Upin-Ipin: Tetap di Masa Kecil
Sumber Foto : Pinterest

Di ruang tamu kecil yang dindingnya dihiasi foto-foto keluarga, Alya duduk di sofa sambil menonton televisi. Tayangan kartun Upin & Ipin sedang menemani sore itu. “Eh, kenapa Upin-Ipin ini TK terus, sih? Kok nggak pernah naik kelas?” tanya adiknya, Nanda, dengan nada bercanda sambil terkikik.

Alya mengangkat bahu, tersenyum tipis. “Ya wajar mereka TK terus. Jadi orang dewasa itu nggak asyik, Dek,” katanya, setengah bercanda namun terdengar serius.

Nanda mengernyitkan dahi, penasaran. “Kenapa nggak asyik? Kan jadi orang dewasa itu keren. Bisa beli apa aja, nggak perlu minta izin, terus nggak ada PR!” ujarnya polos.

Alya tertawa kecil, tangannya mengusap kepala Nanda. Matanya kembali tertuju pada layar TV, tempat Upin dan Ipin tertawa riang bermain layang-layang. “Kelihatannya sih begitu, tapi kamu nggak tahu betapa beratnya jadi dewasa. Kadang sampai nggak bisa tidur karena kebanyakan mikir.”

“Mikir apa?” tanya Nanda, wajahnya mulai serius.

Alya menarik napas panjang sebelum menjawab. “Mikir kerjaan, bayar tagihan listrik, sekolah anak nanti, persiapan nikah, belanja bulanan, nabung buat beli rumah… Banyak banget, Dek. Kalau Upin-Ipin, mereka cuma mikirin hal kecil, kayak siapa yang dapat giliran nyapu atau kapan bisa makan ayam goreng Kak Ros.”

Nanda tertawa mendengar jawaban itu, meski tetap penasaran. “Tapi kan punya uang sendiri enak, Kak?”

Alya tersenyum lelah. Ia mengeluarkan dompet dari tas dan membuka isinya. “Iya, enak sih. Tapi kamu tahu nggak, uang ini cuma numpang lewat. Masuk rekening, langsung keluar lagi buat bayar ini-itu. Kadang, sebelum akhir bulan, malah udah habis duluan.”

Nanda terdiam sejenak, matanya menatap Alya. Dengan nada lebih pelan, ia bertanya, “Kalau jadi dewasa berat, kenapa banyak yang pengen cepat besar?”

Alya menghela napas sambil menatap adiknya yang kini tampak berpikir lebih dalam. “Karena waktu kecil, kita nggak tahu apa-apa. Kita pikir jadi dewasa itu bebas. Tapi kenyataannya, kebebasan itu datang bareng tanggung jawab. Dan itu nggak mudah.”

Hening sejenak. Pandangan Nanda beralih ke layar TV. Di sana, Upin dan Ipin sedang tertawa geli melihat Ehsan jatuh dari sepeda. “Jadi, Upin-Ipin enak, ya? Nggak perlu mikir bayar listrik,” gumamnya pelan.

Alya tertawa lebih lepas kali ini. “Makanya, nikmatin aja masa kecil kamu, Dek. Jangan buru-buru pengen dewasa. Kalau bisa, Kakak juga mau balik jadi anak kecil lagi. Main di lapangan, makan es krim tanpa mikir besok ada rapat atau enggak.”

Nanda tersenyum kecil, matanya kembali tertuju ke layar. “Kalau gitu, aku setuju sama Kakak. Wajar aja Upin-Ipin nggak naik kelas. Jadi orang dewasa ribet!”

Keduanya tertawa bersama, sementara di televisi, Upin dan Ipin melanjutkan petualangan sederhana mereka. Dalam momen itu, Alya menyadari bahwa meski menjadi dewasa memang berat, ada pelajaran di setiap fase kehidupan. Dan sesekali, menonton Upin-Ipin adalah pengingat manis untuk menikmati hal-hal kecil dalam hidup, seperti anak-anak: polos, bahagia, dan tanpa beban.

Malam itu, setelah acara Upin & Ipin berakhir, Nanda tampak termenung di sofa. Alya, yang sudah bersiap membawa cangkir teh ke dapur, berhenti sejenak ketika melihat raut wajah adiknya.

“Ada apa, Dek? Masih mikirin soal jadi dewasa?” tanya Alya dengan senyum lembut.

Nanda mengangguk pelan. “Iya, Kak. Aku kepikiran, kalau jadi dewasa itu berat, kenapa nggak semua orang kayak Upin-Ipin aja? Nggak usah tumbuh besar.”

Alya kembali duduk di sofa, memegang cangkir tehnya dengan hati-hati. Ia menyeruputnya perlahan sebelum menjawab. “Karena hidup itu seperti perjalanan, Dek. Mau nggak mau, kita harus terus maju, meskipun jalannya kadang nggak gampang.”

Nanda menatap Alya, matanya penuh rasa ingin tahu. “Tapi kalau kita tetap jadi anak-anak, bukankah kita bisa bahagia selamanya?”

Alya tersenyum hangat. “Bahagia itu bukan tentang berhenti di satu titik, tapi tentang bagaimana kita menikmati setiap tahap hidup. Sama seperti main game. Kalau kamu terus-terusan di level awal, lama-lama bosan juga, kan?”

Nanda mengangguk pelan, mulai paham maksud kakaknya. “Tapi kalau level selanjutnya lebih susah?”

“Itulah tantangannya. Saat kamu berhasil melewati level yang sulit, kamu akan merasa lebih bangga. Sama halnya dengan hidup. Kadang ada masa-masa berat, tapi kalau kamu berhasil melewatinya, kamu akan merasa lebih kuat,” jawab Alya sambil menepuk lembut pundak adiknya.

Nanda terdiam, namun kali ini senyum kecil mulai terlihat di wajahnya. “Jadi, jadi dewasa nggak selalu buruk, ya?”

Alya mengangguk sambil tersenyum. “Nggak buruk, hanya berbeda. Lagipula, kalaupun berat, kamu nggak sendirian. Selalu ada orang-orang yang mendukungmu. Contohnya Kakak, kan?”

Senyum lebar menghiasi wajah Nanda. “Kalau gitu, aku siap jadi dewasa. Tapi nanti aja, habis puas nonton Upin & Ipin!”

Keduanya tertawa, dan suasana malam itu terasa hangat. Seperti teh yang Alya genggam, hangat dan menenangkan meski terkadang ada rasa pahitnya.