Ayahku adalah Ibuku

Ayahku adalah Ibuku
Sumber Foto : Pexels

Ayahku adalah Ibuku. Dua hari satu malam mata ini tak mampu terpejam. Sosok yang aku cintai masih tergolek diam membisu di atas dipan. Sesekali air matanya mengucur deras membasahi kedua sisi wajahnya yang pasi. Obat dari dokter sebelah tak disentuhnya. Setiap diingatkan minum obat dia menggeleng sembari menatapku sayu. Matanya yang cekung, pipi makin tirus, dan kulit wajah yang mengeriput di sana-sini membuat hatiku semakin terenyuh.

Seolah stok air mataku masih melimpah sehingga mata ini tak pernah tidak basah setiap memandang wajahnya nan pucat. Dia satu-satunya yang kumiliki. Darahnya mengalir deras di tubuhku. Keringat dan peluhnya mengiringi tumbuh kembangku hingga kini. Kulitnya menjadi legam tak tersentuh perawatan. Sendi jari-jemari yang menonjol karena kerasnya pekerjaan tak mampu ia sembunyikan lagi.

Sejak jatuh ketika mau memanjat pohon kelapa dua hari lalu, dia menolak makan dan hanya beberapa teguk air hangat yang ia minta. Tak banyak kata, tetapi sorot matanya seolah ingin mengatakan sesuatu. Untung saat jatuh posisi tubuhnya baru mau memanjat, belum sampai ke atas sehingga tubuhnya hanya oleng. Sempat berkata bahwa saat itu tiba-tiba kepalanya pusing berputar-putar dan akhirnya jatuh.

Sepanjang hidup ia berjuang dan bekerja keras untukku. Apa pun ia lakukan untuk memastikan aku masih bisa makan setiap hari. Demi menyenangkan hatiku selama ini, ia rela mengalah di banyak hal. Bekerja tanpa lelah siang dan malam demi aku, membuat ia kadang lupa terhadap dirinya sendiri.

Postur tubuh yang sedang tidak tinggi dan tidak pendek, tetapi memiliki badan tegap dan sedikit berotot, tidak setiap orang punya. Mungkin karena terbiasa bekerja keras di perantauan membuat otot-otot tubuhnya terbentuk. Tangan yang tampak kekar ternyata memang kuat mengangkat barang-barang berat meski menurutku tetap ada kelembutan di situ. Rambut cepak berwarna perak menandakan munculnya uban karena usia yang tidak lagi muda. Selalu ramah kepada setiap orang, itu yang ingin aku tiru.

Sebagai pendatang dari perantauan, tak banyak warga yang mengetahui siapa kami berdua. Mereka hanya tahu kami dibawa salah satu putra Bu Rahma untuk menemani ibunya di sebuah desa dekat pantai. Kebetulan kedua putra bu Rahma hidup di Ibukota dan sudah berkeluarga. Suaminya sudah lama berpulang. Rumah besar yang dihuni membutuhkan tenaga untuk beres-beres dan untuk membantu hal-hal lain jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Kebun di samping rumah Bu Rahma lumayan luas. Ada pohon mangga, pisang, pohon kelapa genjah, dan kelapa kopyor. Sejak kami datang di rumah itu, semua dikerjakan ayah dengan gembira. Tetangga yang dulu bekerja hanya sesekali saja dipanggil untuk membantu karena sudah lanjut usia.

Bu Rahma menganggap aku sebagai cucunya dan beliau sangat menyayangiku juga sangat menghargai ayahku. Bu Rahma tidak pelit dan sering memberi hadiah kepadaku. Apa yang kami makan sama dengan yang dimakan beliau.

“Parno, sini Nang,” panggil Bu Rahma suatu sore.

“Ini ada baju, celana, dan kaos. Mungkin bisa kamu pakai kebetulan belum sempat Ibu kasih ke siapa-siapa. Ada baju koko untuk mengaji dan ini ada sarung yang pas buat kamu,” ujar Bu Rahma sembari membuka plastik pembungkusnya.

“Matur sembah nuwun, terima kasih Bu,” sambil ku dekap di dada baju dan sarungnya, aku berlari kecil menuju kamar belakang tempat kami berdua merenda mimpi. Hari itu hatiku berbunga-bunga.

Semua kebutuhan kami tercukupi sejak ikut Bu Rahma. Secara berkala ayahku memanjat pohon kelapa entah itu yang kelapa genjah maupun kelapa kopyor. Dengan banyaknya pohon kelapa, hampir sepekan sekali ayah mengunduh buah-buah kelapa tersebut. Selain untuk dikonsumsi sendiri kadang juga ada orang yang khusus datang membeli.

Dengan keahlian dan kelincahan ayahku dalam memanjat pohon kelapa tampaknya Bu Rahma sudah tahu siapa ayahku yang sebenarnya. Namun pada suatu malam ketika kami belum tidur dan ngobrol di kamar, mungkin Bu Rahma mendengar pembicaraan kami. Oleh karena itu esok harinya kami berdua dipanggil.

“Semalam aku mendengar percakapan kalian dan aku tidak ingin ada sesuatu yang kalian sembunyikan,” kata Bu Rahma yang membuat kami berdua deg-degan.

“Aku tidak akan mengusir kalian gara-gara itu, tapi jujurlah kepadaku sehingga aku tahu siapa sebenarnya kalian meski putraku sudah cerita banyak kepadaku,” lanjut Bu Rahma masih dengan kata-kata dan intonasi yang lembut.

“Maaf beribu maaf Bu Rahma, saya tidak bermaksud menipu atau membohongi Panjenengan, tapi beginilah keadaan saya. Mohon Bu Rahma memaklumi…” Kata ayah pelan sambil menunduk takzim. Ada beberapa tetes air mata yang tak mampu ia tahan.

Aku hanya bisa menunduk dengan rasa takut dan khawatir terjadi apa-apa atas kami berdua. Di rumah Bu Rahma kami mendapatkan tempat berteduh yang sangat menyenangkan. Lingkungan juga menyenangkan meski kadang-kadang ada teman yang mengolok-olok ketika mereka melihat sedikit keanehan pada diri ayahku. Sempat kudengar bisik-bisik mereka bahwa ayahku punya tindik di telinga.

Aku tak terlalu mengambil hati setiap mereka membicarakan ayahku. Aku hanya diam dan mereka pun akhirnya diam. Dengan diam, hatiku merasa lega karena aku sendiri tidak terlalu memikirkan mengapa hal ini terjadi pada kami.

Lulus SMK jurusan teknik otomotif, aku langsung dapat pekerjaan di bengkel yang cukup ternama. Dulu, setiap ada pertemuan wali murid ayahku hadir. Ayahku tampil sebagaimana ayah teman-temanku. Berpakaian rapi dan ramah pada setiap orang. Semua peristiwa yang kami lalui nyaris tak ada rintangan, berjalan lancar dan aku merasa bahagia meskipun dalam hati selalu bertanya-tanya kapan semua ini akan terbuka.

Warga sekitar tahunya ayahku bernama Mirah Sarto. Saat duduk di bangku SMP, khusus kepada Ibu wali kelasku kukatakan bahwa Mirah nama ibuku dan Sarto nama ayahku. Sehari-hari Bu Rahma biasa memanggil ayahku Mirah kadang Sarto.

Aku masih ingat kejadian ketika orang yang aku sayangi itu mulai gemar memakai calana pendek di bawah lutut dan kaos longgar. Semakin lama, pelan dan pasti, sosoknya makin maskulin. Aku yang masih kelas 1 SD belum bisa mencerna situasi saat itu. Hanya karena dia satu-satunya orang yang aku sayangi, aku tak ambil peduli. Kelembutan dan kasih sayang yang kurasakan tak berubah.

Lambat laun aku bisa menerima keadaan dan aku menjadi terbiasa. Aku memanggilnya ayah karena memang dia sosok ayahku yang gagah dan perkasa. Tak jarang bila ada waktu luang dia suka ngobrol-ngobrol di warung kopi seperti seorang ayah pada umumnya.

Suara yang dulu lembut mulai berubah sedikit tegas dan berat. Aku kecil menerima begitu saja keadaan yang aku alami meski kadang-kadang di tengah malam aku menangis tersedu-sedu. Ketika menangis itulah dia menghiburku dengan mengucapkan kata-kata lembut yang membuat hatiku tenang.

“Parno, aku tahu hatimu sedih dengan keadaanku, Nang. Kumohon kau tetap menjadi anakku yang tangguh, kuat, dan tidak cengeng. Aku akan selalu di sampingmu,” hiburnya setiap memergoki aku sedang menangis. Suaranya mengandung getaran yang berusaha disembunyikan. Namun tutur katanya masih lembut. Aku masih merasakan kelembutan itu dan tak tega memandang sorot matanya yang basah.

Kuambil tisu di meja untuk menyeka air mataku ketika tiba-tiba kulihat sosok di depanku menggerakkan tangan dan kepalanya agar aku mendekat.

“Parno, anakku…” suara ayah yang berat sebagaimana suara laki-laki, tidak bisa diragukan siapapun yang mendengarnya.

“Ya, Bu…eh Ayah,” aku terbata-bata dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata.

“Maafkan aku, Nang. Jika selama ini telah melukai perasaanmu dengan keadaanku sampai hari ini,” kata Ibu sambil berurai air mata dan memegang tanganku dengan erat seakan butuh dukungan.

Tenggorokanku terasa sakit dan sulit untuk menjawab. Aku hanya mampu mengangguk cepat berkali-kali. Pipinya dan pipiku basah. Kupeluk tubuhnya yang seolah tak berbobot, ringan dan dingin.

“Tolong, jika aku pergi nanti perlakukan aku sesuai hati nuranimu,” katanya lirih hampir tak terdengar lalu sunyi.

Dia benar-benar pergi. Jantungku berdegub kencang menahan kepedihan dengan sekuat tenaga. Aku tak mampu menjerit. Sedu sedanku mewakili duka yang dalam. Wulan, calon istriku, turut tersedu di sampingku. Manusia keramat di depanku telah pergi untuk selamanya. Dia yang melahirkanku. Wulan sudah tahu, ayahku adalah ibuku.

 

*Cerita ini berdasarkan kisah nyata.