Merindukan Bulan Menggapai Bintang

“Bapak…..bapak….. ini airnya,” teriak gadis kecil kira kira usia 9 tahun di kejauhan sambil melambaikan tangan kanannya sementara tangan kirinya membawa air dalam botol aqua bekas satu literan. “Puspa di situ saja, sebentar bapak turun,” suara keras dan lantang seorang bapak kepada gadis yang dipanggil Puspa. “Wah tu anak gadis kesayanganmu sudah datang membawakan minum,” Kata Timin teman kerja Karyo basa basi. “Iya Min itu alasan mamaknya saja biar aku istirahat, disuruhnya Puspa antar minum, padahal aku juga bawa bekal sendiri tadi dari rumah,” Jawab Karyo senyam senyum sambil memberesi kapak pemecah batunya.

Pekerjaan sebagai pemecah batu sudah dijalani Karyo sejak muda. Hampir semua lelaki di desanya yang tidak melanjutkan sekolah bekerja seperti dia. Tuhan telah memberikan anugerah pada alam di desanya dua buah gunung batu putih besar yang sampai saat ini belum habis dipecahkan oleh tangan-tangan kuat. Konon kabarnya batu putih itu sebagai bahan dasar keramik.

Kaki Karyo menuruni bebatuan dengan hati-hati, jalanan turun ke bawah sudah tidak teratur, tangga buatan dari bambu sudah reyot dan rapuh terkena hujan serta panas bergantian. Sesekali diusapnya peluh keringat sambil berbincang jarak jauh dengan anak perempuannya yang sudah menunggu di gubuk kaki gunung.

“Puspa bawa makanan apa?”  teriak  Karyo.

“Nasi pecel kesukaan bapak dan kerupuk,” jawab Puspa tidak kalah keras berteriak.

“Kak Adi mana ndak ikut?” tanya Karyo lagi.

“ Ndak pak tadi disuruh pakde Tomo ambil rumput tuk sapinya” sahut Puspa.

Jarak anak dan bapak itu tinggal beberapa langkah saja.“Ya Allah  alhamdulillah” tegukan demi tegukan air membasahi tenggorokan Karyo. “Seger ya pak he he he” gurau Puspa.

Yo iyo ah nduk, ngelak banget, panase pol neng duwur kono” kata Karyo sambil membuka nasi bungkus bawaan anak perempuannya. Makan nasi hanya dengan sayur dan krupuk sudah hebat bagi keluarga yang hanya berpenghasilan dari pecahan batu gunung. Beberapa detik kemudian tangan kecil Puspa sudah beralih ke pundak bapaknya, dipijitnya pundak Karyo. Pijitan tangan kecil Puspa kalah dengan kekarnya pundak Karyo yang setiap saat mengayun kapak pemecah batu.

“Bagaimana tadi disekolah, diajari apa sama bapak ibu gurumu,” tanya Karyo memancing Puspa agar bercerita tentang sekolahnya. “Tadi di sekolah dijelaskan cita-cita pak, ada yang ingin jadi pilot, itu lho pak, supir pesawat terbang, ada yang ingin jadi penjahit, katanya sih biar bisa bikin baju sendiri,” Puspa mulai curhat dengan bapaknya. “Lalu kamu sendiri ingin jadi apa?” Karyo mencoba menebak keinginan anak perempuannya. “Aku sih ingin jadi dokter,” jawab Puspa mantap.

Karyo tercengang dengan jawaban Puspa, bagaimana mungkin kesampaian, berkali kali Karyo menelan ludahnya sendiri, diam agak lama lalu tersenyum “ O Puspa ingin jadi dokter ya?” keluar juga kalimat dari mulut Karyo yang membeo Puspa. “Iya pak, dokter itu uangnya banyak dan bisa menolong orang sakit,” jawaban jujur Puspa hanya dibalas dengan anggukan kepala saja oleh Karyo.

Kraakkkk tangga kayu yang mulai rapuh itupun berderak kraak krak kraak beberapa detik kemudian terdengar teriakan panjang, “Aaahhhhh  toloooong  aduuuuuuhhhh.,”   Karyo yang sudah hati hati menuruni tangga bambu buatan  terjatuh berguling-guling dari ketinggian puluhan meter. “Hei-hei ayo teman-teman tolongin tu” teman-teman sepekerja dengan Karyo mulai ramai berkerumun menolong.“Aduuhh,” lelaki yang sering dipanggil Karyo itupun menggerang kesakitan sambil memegangi pinggang. Berguling-guling dibebatuan bebarapa kali membuat pinggang yang mulai renta itu membengkak seketika.

“Gimana kang, kita bawa ke puskesmas saja” Royan usul sambil tengok kanan kiri seakan meminta pertimbangan rekan-rekannya. “Ya ya begitu lebih baik” rekan pekerja lainnya menyetujui.

Berbaring di tempat tidur ukuran satu setengah meter kali seratus delapan puluh menggugah ingatan Karyo beberapa hari sebelum terjatuh. Puspa benar, dokter memang sangat membantu orang. Kepolosan pemikiran Puspa sebagai alasan memilih cita-cita sebagai dokter saat ditanya gurunya membuat Karyo tersenyum sinis, antara bangga dan pesimis.

Bangga betapa anak desa seusia Puspa ternyata mempunyai angan setinggi langit sementara mana mungkin cita cita Puspa tercapai, untuk makan sehari hari saja kadang harus pinjam sana pinjam sini, lha kalau untuk biaya sekolah setinggi itu, uang dari mana ? “Tuhan sanggupkah aku meruntuhkan cita-cita anakku,” Karyo mendesah panjang.

“Ada apa pak masih terasa sakit?” Sarti menengok kekanan. Terkejut dengan suara suaminya yang mendesah panjang. Karyopun tersadarkan dari melamunnya,” Tidak ada bu, hanya ini aku ingin duduk sudah capek tiduran.” Sartipun membantu suaminya duduk dengan mengangkat pundak dan memberikan bantal dipunggungnya.

Mulailah Karyo bercerita kepada istrinya tentang percakapan beberapa hari yang lalu dengan Puspa saat di gubuk tempat istirahat pekerja pemecah batu putih. “Setiap anak punya rejekinya masing-masing pak, demikian juga dengan Puspa, biarkan dia tetap semangat dengan cita-citanya, kita sebagai orang tua hanya mendoakan, semoga doa kita diijabahi Tuhan, qadarullah membawa Puspa menggapai cita-citanya,” Kata Sarti menanggapi cerita suaminya.

“Puspa Ananingrum binti Karyo,” suara MC sampailah pada pemanggilan anak Karyo. Panggilan yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama, dengan bangga sambil menitikkan air mata Karyo berdiri sebagai tanda pendampingan anaknya maju ke panggung wisuda S.1 lulusan fakultas kedokteran. Kalimat-kalimat istrinya beberapa tahun silam kini telah terbukti dan terwujud.

Perjalanan belajar Puspa tertolong dengan bea siswa setiap jenjang yang dilaluinya. Usaha keras Puspa untuk masuk Perguruan Tinggi dengan bea siswa bidik misi terwujud juga. Liku-liku perjalanan Puspa menggapai cita-cita menjadi dokter sudah sampai pada wisuda.

Benar kata istri Karyo qadarullah tidak ada yang mampu menebak sebelumnya. Meski kata orang mustahil seperti merindukan bulan menggapai bintang, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Demikian juga perjalanan selanjutnya menjadi dokter sesungguhnya bagi Puspa, tidak ada yang perlu diragukan dengan doa. Apalagi doa orang tua.