Setiap tanggal 17 Mei Pemerintah mencanangkan Hari Buku Nasional atau HARBUKNAS. Sebelumnya, tanggal 17 Mei 1980 merupakan momen berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Kemudian, di tahun 2002 tanggal tersebut diadopsi oleh Pemerintahan Megawati Sukarno Putri sebagai hari buku nasional, dengan tujuan menumbuhkembangkan budaya baca di lingkungan pelajar.
Sejauhmana gerakan moril tersebut berdampak bagi literasi serta IQ rakyat kita? Ternyata, setelah dua dekade berselang, peringkat literasi nasional hanya menduduki peringkat ke-62 dari 70 negara. Ironinya, menurut world population review 2022 merilis peringkat IQ kolektif Indonesia hanya menduduki peringkat ke-130 dari 199 negara.
Kita perlu menyontoh tiga besar Jepang, Taiwan, dan Singapura. Seluruh aspek baca-tulis, numerasi, sains, digital, finansial, sosial-budaya di ketiga negara berjalan dengan baik. Bukan hanya sekolah, tetapi keluarga dan masyarakat bersinergi menjalankan seluruh aspek literasi. Jadikan “Hari Buku Nasional” sebagai ceruk pergerakan baca-tulis untuk mencari, menelusuri, mengolah, serta memahami informasi di tengah-tengah masyarakat.
***
Meskipun begitu, dapat dilihat perkembangan literasi mulai menggembirakan saat pandemi lalu. Larangan tatap muka berganti tatap maya menguntungkan literasi, berbagai karya buku dan karya sastra ditorehkan oleh berbagai komunitas, lalu menyebarluaskannya. Baca-tulis bertumbuh terus-menerus saat itu, selain membunuh kebosanan.
Masih segar dalam ingatan saya, Bu Guru Indartum bercerita hal-hal menarik masa lampau saat saya duduk di bangku sekolah dasar. Kisah-kisah kenabian, cerita-cerita kepahlawanan saat berjuang merebut kemerdekaan dari penjajah sering meluncur dari mulut Bu Indartum. Begitu juga cerita si kancil yang selalu memiliki ide untuk lolos dari bahaya yang menghampirinya, cerdik dan bijaksana.
Buku cerita tersebut bisa saya baca sampai berulang-ulang, bukan hanya karena cerita itu menarik namun lebih pada keterbatasan buku yang ada, apalagi sekolah waktu itu tidak memiliki perpustakaan. Buku merupakan sesuatu yang istimewa dimana untuk mendapatkan informasi tidak semudah seperti sekarang.
Saya berpikir, waktu itu minat membaca sudah tumbuh sedemikian rupa, namun daya baca tidak berkembang karena keterbatasan bahan bacaan. Daya baca tinggi semakin melemah karena keterbatasan buku yang mudah diakses. Karenanya, sangat wajar budaya baca di Indonesia masih rendah.
***
Kurang lebih 60 juta penduduk Indonesia memiliki gajet, soal ini Indonesia malah menduduki peringkat kelima di dunia. Data 2018, kepemilikan hape pintar berjumlah lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif hape pintar terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Tanpa kita sadari, kita bisa melototi layar gajet sampai 9 jam sehari. Masyarakat menjadi sangat berisik di media sosial. Jakarta, kota paling berisik di dunia maya setiap hari, bahkan melampaui Tokyo dan New York. Berbagai lembaga riset memilih Indonesia sebagai pengguna media sosial paling sibuk.
Coba saja bayangkan, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar gajet berjam-jam, ditambah keberisikan di media sosial. Jangan heran, jika Indonesia menjadi sasaran potensial penyebaran provokasi, hoax, dan fitnah. Kecepatan jari menekan like dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya, meskipun informasinya belum tentu benar, justru memecah belah.
Lewat gajet memang banyak informasi fakta yang beredar. Sayangnya informasi yang mereka dapatkan juga bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi opini, bukan fakta. Dilematisnya, mereka lebih meyakini portal fake news serta sebaran berita hoax.
***
Buku merupakan sumber ilmu pengetahuan. Bacaan tidak hanya mengisi pikiran dengan informasi semata, tetapi membuatnya bekerja lebih baik. Membaca dapat mengubah cara otak kita berpikir serta memroses sesuatu dengan cara yang lebih baik. Itu sebabnya, banyak pakar menyarankan kita untuk membaca setiap hari.
Aktifitas membaca sangat penting bagi semua kelompok umur. Disebutkan, menghabiskan waktu 30 menit untuk membaca tentang hal-hal yang diminati sudah cukup untuk mendapatkan manfaatnya. Hal itu, karena membaca selain meningkatkan kesadaran tentang dunia di sekitar kita, tetapi juga semacam latihan mental yang sama pentingnya dengan latihan fisik.
Dengan Membaca sama halnya melatih empati. Ini membantu kita untuk memahami perspektif orang lain yang sangat berbeda dari kita, serta meningkatkan kecerdasan emosional (EQ). Dalam studi yang dilakukan untuk memahami dampak membaca, peneliti dapat melihat efeknya pada gelombang otak.
Jika karakter dalam buku tersebut sedang berolahraga, area otak kita akan diaktifkan seolah-olah kita sedang berkeringat di gym. Buku yang membuat kita mempertanyakan kehidupan serta hal-hal di sekitar kita, dapat membantu kita tetap fokus dan memahami ide-ide kompleks dengan mudah.
Aktivitas diatas memperkuat kemampuan kita untuk membayangkan jalan alternatif, mengingat detil, adegan, dan memikirkan masalah yang kompleks. Itu membuat kita lebih berpengetahuan, lebih pintar dan membawa kita selangkah lebih dekat menuju kesuksesan.
Tinggalkan Balasan