Jenganten Gayatri

Jenganten Gayatri
Sumber Foto : Pexels-al-azik-maulana-koentjoro-3596903-6273056.

Oleh : Antok Roed***

 

Perkenalan

Gayatri menenteng rantang berisi nasi dan lauk di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram gagang teko yang penuh berisi air. Wanita berparas ayu itu berlari kecil menuju sawah bengkok milik Kadus Guruh–suami Gayatri. Di belakangnya dua pasang kaki kecil berlari mengikuti ibunya menelusuri jalan setapak, kedua belah tangan mereka dengan lihai menyibak semak belukar.

Dua gadis bermata jeli itu adalah Zaenab dan Zulaeha, mereka adalah putri kesayangan Gayatri. Sesekali Zaenab menyeka lehernya yang basah karena sengatan matahari yang semakin meninggi.

 

Dari kejauhan Gayatri melihat Guruh terbaring di dangau.

“Duh, pasti sudah kepenatan, suamiku!” bisik Gayatri lirih.

Gayatri berlari dengan napas terengah-engah sambil sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka memar di kakinya tergesek semak.

“Pak, sudah lama menunggunya?” ucap Gayatri sambil berusaha mengatur napasnya.

“Mana anak-anak?” tanya Guruh yang melihat Gayatri sendirian.

“Tadi Ibu tinggal gak jauh di belakang.”

 

Setengah jam sudah mereka menunggu kedua putrinya. Senyum manis merekah di bibir manis Gayatri saat melihat dua anak perempuan berkerudung selendang hitam berlari menghampiri mereka. Wajah kedua gadis kecil itu  tampak kaget ketika melihat keadaan ibunya yang merintih kesakitan dengan kaki kanan memar kebiruan hingga lutut.

Kedua gadis kecil itu mendekati Gayatri. Jemari lentik Zaenab meraba kaki ibunya dengan gemetar.

 

“Apa yang terjadi, Bu?” ulangnya sambil memeluk ibunya dengan erat, air matanya pun tumpah hingga membasahi baju Gayatri.

“Kaki Ibu terperosok di kubangan air, rantang dan teko terpelanting. Setelah Ibu berhasil menarik kaki keluar, kaki terasa perih.” Gayatri mencoba tersenyum untuk menguatkan kedua putrinya, walau sebenarnya ia sedang merasakan sakit yang luar biasa.

“Beruntung makanan Bapak utuh karena tutup rantang rapat, tapi air di teko tumpah karena tutupnya terlempar dan hilang entah ke mana,” lanjutnya sambil menyeka air mata Zaenab.

 

Wanita paruh baya berselendang jarik berwarna coklat itu pun memeluk kedua anaknya. Guruh pun memeluk Gayatri, sambil memenangkan kedua putrinya. Setelah itu, mereka pun melanjutkan makan bersama dengan berbagi air minum sisa yang dibawa Guruh pagi tadi.

 

Meskipun mereka makan seadanya, tapi cinta di antara mereka selalu membuat setiap moment menjadi sangat berharga.

 

Konflik

Gayatri adalah anak dari pasangan Gandung dan Rokhayah. Ayah Gayatri adalah seorang buruh tani yang mengandalkan sawah milik para tuan sawah. Kondisi ekonomi keluarga yang sangat miskin membuat Gayatri harus bersembunyi-sembunyi dengan Kepala Sekolah karena tidak mampu membeli seragam.

 

Dalam kondisi seperti itu, Gayatri harus rela menunggu teman-temannya dari luar kelas untuk meminjam catatan pelajaran hari itu. Kemiskinan membuat Gayatri dan keluarga harus berpindah-pindah tempat tinggal menyesuaikan lokasi sawah yang sedang digarap ayahnya. Dengan seizin pemilik sawah, keluarganya membangun gubuk, mengindung pada sawah garapan Gandung.

 

Waktu pun terus berlalu, mereka bergelut dengan berbagai pelik masalah menyelimuti keluarganya. Akhirnya Gayatri pun berhasil tamat pendidikan dasar. Atas ijin kedua orang tuanya, Gayatri memutuskan melanjutkan sekolah.

 

Gayatri yang memiliki semangat belajar yang tinggi pun berusaha mencari uang dengan menjadi binatu di sebuah keluarga yang mau menampung dan membayarnya. Gayatri selalu membagi waktu untuk bekerja dan belajar. Gadis itu bersedia menguras tenaga untuk membantu keluarga yang menampungnya asal mendapat tumpangan dan makan gratis.

 

Klimaks

Setiap malam Gayatri belajar bersama dengan keempat anak majikannya. Agar terkesan menghamba Gayatri memanggil anak majikannya dengan sebutan “Masnganten”. Sebenarnya di antara keluarga Gayatri dengan keluarga tersebut tidak ada hubungan darah, namun Gandung pernah mengajarkan anaknya memanggil “Jenganten” kepada keluarga tersebut.

 

Entah, apa yang melatarbelakangi Gayatri harus memanggil sebutan itu. Gayatri tidak memedulikan sebutan apa pun, baginya dapat pinjaman buku, makan tidur gratis, dan bisa bersekolah jauh lebih penting. Pagi-pagi buta, Gayatri bangun lebih awal dari  keempat anak Jenganten.

 

Selepas merapikan tempat tidur, ia bergegas menuju sumur yang terletak di belakang rumah untuk mengisi bak mandi dan kakus. Tak jarang Gayatri kena makian Jenganten Putri karena suara gesekan as dan roda karet timba. Ia lalu menyiram roda tersebut dengan air supaya tidak berderit untuk sementara, setalah kering roda itu akan kembali menjerit.

 

Sepertinya jeritan itu mengisyaratkan bahwa ia sudah ingin digantikan dengan yang baru. Sayup-sayup suara azan dari masjid berkumandang, Gayatri segera mengambil air wudu untuk menunaikan Salat Subuh. Selesai salat, Gayatri melirik jarum jam beker kusam pemberian  Rokhayah. Ia pun bergegas menuju halaman belakang, gadis itu bersegera menyapu sekeliling halaman rumah.

 

Saat masih membersihkan dedaunan yang berserakan, terdengar dari dalam teriakan Jenganten Putri membangunkan anak-anaknya, “Kalian gimana ya, sesiang ini baru bangun, tidak malu dengan Gayatri? Sejak pagi sudah bekerja!”

 

Gayatri pun kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai. Ia harus menyelesaikan semua pekerjaannya tepat waktu. Sebenarnya sejak pagi perut Gayatri sudah keroncongan, namun ia tidak berani sarapan.

 

“Gayatri ke sini sarapan dulu!” teriak Jenganten dari dalam.

“Baik Jenganten Putri.”

 

Solusi

waktu yang sangat Gayatri tungu-tunggu pun tiba. Gadis itu dengan rasa penuh syukur menghabiskan semua makanan yang ada di piringnya. Setelah sarapan, Gayatri pun kembali melanjutkan pekerjaannya sebelum hari semakin siang.

 

Gayatri memang tidak sekolah pagi. Di tempatnya, sekolah gratis hanya ada setelah sekolah pagi. Seperti biasa, selesai merampungkan pekerjaan rumah, Gayatri selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar.

 

Di sela waktu, Gayatri isi dengan menulis puisi yang sebagian besar mengisahkan penderitaan.

 

“Kamu belum mandi, Gayatri?” tanya Jenganten. “Sebaiknya mandi lebih awal,  segera makan siang sebelum kakak-kakakmu datang!”

 

Gayatri pun bergegas mandi. Selesai berganti baju, Gayatri menyantap makan siang yang telah disiapkan Jenganten di dapur. Setelah selesai, Gayatri berpamitan untuk berangkat sekolah.

 

Siang itu matahari sudah merangkak naik, sinarnya yang terik mencengkeram pipi Gayatri hingga sedikit memerah. Seperti biasa, Gayatri selalu bertegur sapa ketika berpapasan dengan petani di pematang sawah. Ia pun berhenti, meminta ijin kepada si empunya dangau untuk menumpang Salat Zuhur.

 

Setelah berterima kasih, Gayatri melanjutkan perjalanan, berlari-lari kecil menuju sekolah. Setiba di gerbang sekolah, Gayatri adalah siswi terakhir yang masih diizinkan masuk oleh satpam. Ritual seperti ini yang dilalui Gayatri bertahun-tahun selama bersekolah siang.

 

Pesan

Hari itu, menjelang kelulusan SMP, Gayatri pulang agak sore. Setiba di halaman depan rumah, Gayatri dikejutkan dengan kedatangan ayahnya. Gayatri kaget ketika Gandung mengatakan bahwa Tuan Andoko melamarnya untuk Guruh.

 

Ternyata selama ini Guruh menaruh hati kepada Gayatri. Namun laki-laki itu malu mengungkapkannya.

 

“Terimalah pinangan Jenganten Guruh?” ucap Jenganten Putra

 

Di rumah itu, Gayatri menemukan cinta sejatinya, cinta yang tulus tanpa memandang status.

 

Selesai

Jenganten Gayatri
Proses Pembuatan Cover Buku Antologi, oleh:
Penulis : Dianna Ummijathie, dkk
Editor : Eka Wahyu Manduri
Desain Cover : Uranophile
Layout : Uranophile

 

(“Jenganten Gayatri” lolos dalam Event Menulis Cerpen Tema Cinta Sejati, bersama puluhan penulis terbaik lainnya berhasil membukukan Antologi “Kelopak yang Tak Pernah Layu“)

 

***Antok Roed

Wahyu Agung Prihartanto, yang kali ini menjelma menjadi Antok Roed. Terlahir di Yogyakarta 11 Desember beberapa tahun silam. Tahun tak penting bagi pria berkeluarga ini, ia tetap ingin merasa “muda”, apalagi bertemu dengan penulis-penulis muda. Ia penganut nasehat Buya Hamka, bahwa “Menulislah, dan biarkan tulisanmu mengalir mengikuti takdirnya.”