Malam semakin larut, beberapa kendaraan masih berlalu lalang meskipun hanya beberapa saja. Tampak Siska dan pria yang telah menolongnya, berlari terengah-engah keluar dari jalan sepi yang telah membuat mereka terjebak oleh dua penjahat itu. Akhirnya tibalah mereka di sebuah jalan yang agak ramai kendaraan dan beberapa orang masih berlalu lalang. Mereka memilih sebuah warung yang telah tutup tetapi masih ada lampu jalan yang menerangi. Sebuah bangku panjang dari kayu mereka pilih untuk sekedar beristirahat.
Lampu jalanan telah membuat wajah laki-laki itu lebih terlihat jelas oleh Siska. Pria itu terlihat tampan, hidungnya tinggi, matanya tajam, rambutnya tercukur rapih, dan memiliki kharisma yang membuat dirinya menarik. Siska terpana karenanya, tetapi ia terkejut dengan tangan pemuda itu yang luka terkena golok si Jangkung. Pemuda itu terlihat agak menyeringai menahan rasa sakit pada lengannya.
“Yaa Allah, tangannya berdarah mas!” jerit Siska. Ia sebenarnya paling takut melihat luka yang mengeluarkan darah.
“Iya mbak gak apa-apa, hanya sakit sedikit nanti juga kering” sahut pemuda itu dengan sedikit tersenyum.
“Sebentar, saya ada saputangan di tas saya,” Siska buru-buru mengeluarkan saputangan lebarnya yang berwarna putih.
“Ini pakai dulu, mari saya balutkan dulu,” Siska meminta tangan pemuda itu. Maka pemuda itu menyodorkan lengannya yang terluka. Perlahan-lahan, Siska membalutkan lengan luka pemuda itu.
“Ini hanya sementara, tetapi mas harus segera ke klinik untuk berobat yaa, karena lukanya cukup parah,” Siska berkata sambil mengernyitkan dahinya tanda khawatir.
“Naah… selesai sudah balutannya,” sahut Siska dengan puas.
“Makasih yaa… sudah rapih balutannya, lukanya tidak dalam kok,” sahut pemuda itu sambil tersenyum puas.
“Iya nanti saya mau ke klinik terdekat, biar segera diobati,” lanjut pemuda itu.
“Mbak tinggal dimana? Dan maaf nama mbak siapa ya?” tanya pemuda itu.
“Nama saya Siska, rumah saya tidak jauh dari sini, sesudah lampu merah itu belok kiri,” sahut Siska sambil menunjukkan lampu merah di seberang.
“Salam kenal Siska, saya Rudi,” sahut Rudi tersenyum sambil menyatukan tangannya di dadanya yang bidang.
Siska tersenyum dan ada sedikit getar di dadanya melihat senyum dan sikap Rudi.
“Mari saya antar kamu pulang ya, karena sudah malam” Rudi beranjak dari kursi dan memberikan isyarat kepada Siska untuk segera pulang.
“Oke, mari kita pulang,” sahut Siska sambil merapikan tasnya.
Mereka berjalan pulang bersama sambil sedikit ada perbincangan diantara mereka. Setibanya di rumah Siska, Rudi terkesima melihat rumah Siska yang sangat sederhana. Hanya sepetak rumah kecil dengan pagar rumah yang sudah berkarat. Cat tembok yang sudah kusam dan hanya dihuni oleh Siska beserta ibunya yang sedang sakit.
“Baiklah, sudah sampai, saya segera pamit ya Siska. Ini saputangannya saya kembalikan, karena darahnya sudah kering. Maaf jadi mengotori sapu tangan kamu,” Rudi melepas saputangan Siska yang melilitnya. Tampak ada noda darah yang cukup jelas terlihat, mewarnai sapu tangannya.
“Alhamdulillah sudah agak mengering yaa. Terima kasih mas Rudi sudah menolong saya tadi, kalau tidak saya gak bisa ketemu ibu saya,” telapak tangan Siska menyatu menandakan rasa terima kasihnya. Akhirnya Rudi beranjak pergi meninggalkan Siska yang masih terpesona dengan sikap Rudi.
Keesokan harinya, Siska sudah terbangun dari tidurnya, ia hendak mencuci bajunya yang sudah 2 hari. Seketika itu ia ingat akan saputangan yang ternoda oleh darah Rudi. Rasanya ia enggan untuk menghilangkan noda itu, ia tidak ingin melupakan sikap Rudi semalam, dan juga kebersamaan meski sesaat.
“Biarlah, noda ini menjadi kenangan untuk aku,” gumam Siska sambil tersenyum.
Jalan sepi tadi malam mulai banyak lalu lalang orang, meski hanya jalan alternatif. Tampak si jangkung dan di Gendut duduk di tepi jalan sambil berbincang-bincang.
“Kemana nih dia, janjinya mulai ngaret,” sahut si Jangkung dengan kesal.
“Itu dia… sedang jalan kemari,” tunjuk si Gendut ke arah seorang pemuda.
Pemuda itu ternyata adalah Rudi yang semalam telah menyelamatkan Siska.
“Hai bro… maaf kesiangan bangun, semalam mengantar gadisitu,” Rudi menyeringai.
“Terus bagaimana kondisi rumahnya?” tanya si Gendut sambil menggeser posisi duduknya.
“Bukan target kita, untuk menguras rumahnya” sahut Rudi perlahan sambil menunduk.
“Ia tinggal di rumah yang sederhana sekali, hanya berdua dengan ibunya yang sedang sakit” Rudi berkata sambil menatap kosong kedepan.
“Aduuh… udah capek-capek kita berduel, ternyata bukan target” sahut si Jangkung kesal.
“Nanti kita cari sasaran lagi yang cocok ya Bro..” sahut Rudi mengiba
“Saya traktir aja yuk makan di warteg seberang. Hitung-hitung hilangin pegal-pegal kalian semalam,” bujuk Rudi kepada mereka.
“Ayoo… saya mau saja,” kata si Gendut sambil beranjak dari duduknya. Kemudian mereka bertiga berjalan bersama ke warung makan dekat lampu merah.
Setelah Siska mencuci bajunya, perutnya mulai terasa lapar. Tetapi rasanya ia sudah tidak kuat lagi untuk memasak.
“Ibu… aku beli makan dulu yaa?” sahut Siska kepada ibunya.
“Iya boleh nak,” sahut ibu sambil membalikkan badan dari tempat tidurnya.
Siska pergi keluar mencari warung makan yang terdekat, hingga ia sampai di warung makan dekat lampu merah.
Ketika ia sampai di pintu warteg itu, tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Tubuh Rudi sang penyelamatnya semalam ternyata ada di warung yang sama. Sempat berbunga-bunga hati Siska melihatnya, ia hendak melangkahkan kaki menghampiri Rudi. Tetapi dalam sekejap, langkahnya sontak mundur teratur.
Terlihat olehnya Rudi sedang menikmati makanan bersama dua orang residivis penyerang dirinya semalam. Mereka sedang tertawa bersama seolah semalam hanyalah lelucon semata. Tubuhnya terasa lemas, ia tidak menyangka atas apa yang terjadi, sebuah kenyataan pahit. Orang yang sempat ia kagumi, ternyata punya modus atas aksi penyelamatannya. Saat itu, Siska hanya berfikir, segera membakar sapu tangan bernoda itu, agar lenyap semua khayalan-khayalan tentang pria itu.
Yuk, ikuti linimasa Instagram captwapri untuk informasi menarik lainnya!
Baca juga:
Tinggalkan Balasan