Mimpi yang Berbanding Terbalik dengan Kenyataan

Suara musik dari sound sistem yang super keras ternyata tidak mengganggu telingaku, buktinya masih mampu mendengar kasak kusuk ibu-ibu yang duduk di depanku yang sama-sama menghadiri walimatul’urs saat Tami datang.

“Baru kemarin sore keputusan akhir dari Pengadilan Agama”, kata bu Sari.

“Lho kok sudah keluar rumah, apa tidak faham tentang masa iddah?” tanya bu Nanik.

“Masa iddah apa, dia mah tidak peduli,” sambung bu Tatik.

Tami memang baru saja resmi cerai, proses perceraian sudah berlangsung hampir enam bulan, sejak Tami datang ke desa lagi dan memutuskan berhenti menjadi TKW. Kasak kusuk terhenti saat Tami tersenyum dan duduk tepat di dekatku.

Pernikahan meski sesederhana mungkin dalam penyelenggaraannya tetap disebut pesta yang menyisakan bahagia. Mimpi-mimpi para mempelai menjalani kehidupan, mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang cukup, membangun rumah untuk berteduh, membina komunikasi anak istri suami dengan senang ohhhh seakan akan tanpa ada kendala. Seperti itu pula yang diharapkan Tami. Namun kenyataannya setelah lahir anak kedua mimpi tak seindah kenyataan.

“Mas susu adik tinggal untuk hari ini, makan siang belum ada bahan dan uang jajan kakak hari ini pun sudah tidak ada,” Tami memberitahu suaminya sambil merapikan pakaian setrikaan tetangga yang diambilnya kemarin sore. Suaminya hanya diam tidak menjawab, terdengar desahan nafas panjangnya sesekali sambil berdiri kokoh dekat jendela, entah apa yang sedang dilihat dan dipikirkan. Kondisi seperti ini sudah sering terjadi dan berakhir dengan hutang untuk penyelesaiannya. Hutang yang sedikit demi sedikit berubah banyak.

“Maaf bun saya mau pinjam uang lagi,” pinta Tami pada bu Yana, tetangga RT yang terkenal banyak uang dan suka memberi pinjaman.

“Lho yang kemarin kan belum lunas, kok pinjam lagi,” jawab bu Yana dengan nada suara agak tinggi.

“Ni lihat di catatan, bahkan sudah tiga bulan cicilanmu belum dibayar,” lanjut bu Yana sembari membuka buku tebal catatan pinjaman yang sudah mulai kusut.

“Maaf bu ini untuk berobat, Koko sudah beberapa hari ini demam, belum turun juga,” iba Tami meminta persetujuan. Zonk, untuk kali ini lunglailah hati Tami.

Keputusan Tami sudah bulat, ia ingin ikut menjadi TKW seperti temannya Unik yang sudah berhasil, ditandai dengan punya rumah, sawah yang luas, perhiasan yang aduhai, kendaraan dan terpandang di masyarakat karena harta. Dengan berat hati, Parjo melepas istrinya mengikuti jejak temannya. “Mas aku pergi demi kita, kamu dan anak-anak, agar kehidupan kita berubah baik, sejahtera dan terhormat,” kalimat perpisahan sementara Tami untuk pamit kepada suaminya.

Tami membayangkan suatu saat nanti tidak ada lagi tangisan anak-anaknya minta jajan karena tidak terpenuhi keinginan mereka, tidak ada lagi kegundahan keuangan karena suami hanya diam tanpa ada solusi, tidak ada lagi uang SPP yang tertunda beberapa bulan, tidak ada lagi hutang dan hutang yang menggunung.

Keberuntungan bersama Tami, alhamdulillah lancar semua proses dipermudah dan mendapat majikan sesuai keinginannya. Transferan yang diterima suamipun mulai sesuai harapan saat awal ingin menjadi TKW. Anak-anak Tami tidak lagi kekurangan seperti dulu. Suamipun sudah membuka usaha bengkel.

Parjo dengan sifat dasar pendiam memang tidak terlihat banyak ulah tetapi sekali berulah membuat mertua dan anak-anak Tami geram. Ya perselingkuhan, situasi bengkel yang semakin ramai menunjukkan kondisi ekonomi Parjo semakin membaik, meskipun diakui atau tidak modal bengkel atas kerja keras Tami, istrinya. Dan perselingkuhan berakhir dengan pernikahan yang disembunyikan dari Tami.

Tahun-tahun berlalu sejalan dengan anak-anak Tami yang mulai tumbuh. Sesuai perhitungan Tami bahwa sudah cukup baginya untuk menjadi TKW. Rasa kangen dengan anak-anak dan suami semakin memuncak bersamaan dengan habisnya waktu kontrak pekerja. Dan penerbangan pesawat dari Abudabi telah mendarat di Bandara Soekarno Hatta,” dalam hitungan beberapa jam ke depan aku akan bertemu anak-anak dan suamiku,” begitu angan-angan indah Tami memenuhi benaknya. Tami sengaja menyembunyikan kabar kepulangan, dia ingin memberikan kejutan bahagia untuk semua anggota keluarganya.

Derrrr gelegar petir tanpa hujan menyambar hati Tami saat perjalanan menuju rumahnya yang tinggal hitungan tigaratusan meter, dia melihat suaminya berboncengan dengan wanita lain. Dari cara bonceng dan dandanan wanita itu, Tami yakin dia adalah penggantinya selama ditinggal kerja sebagai TKW. Sambil menahan tangis dan banyak pertanyaan yang ingin Tami ingin Tami peroleh jawabannya untuk menguatkan asumsinya, ia meminta taksi berbelok arah menuju rumah ibunya. Ibunya memeluk dengan tangis bahagia terkejut dengan kedatangan Tami. Sang ibupun mulai bercerita bahwa Parjo telah menikah lagi.

“Kurang ajar, kurang apa aku, aku berusaha keras untuk keluarga, kenapa kamu begitu seenaknya dan bahkan menduakan aku,” teriak Tami begitu berhadapan dengan Parjo. Emosi keperempuannya tak mampu dibendung, cemburu, marah, sakit hati dan sedih bercampur. Diam dan diam itu yang dilakukan Parjo. “Memang suamimu seperti itu sifatnya, selalu diam tanpa kata, nikin jengkel,” kata bu Mul (ibunya Tami). Betul kata ibu, Parjo memang pendiam, keras kepala dan sulit ditebak langkahnya. Dengan diamnya Parjo menambah emosi Tami semakin menjadi dan melangkah ke arah perceraian.

Ruang pengadilan itu mendadak sepi, keputusan cerai Tami telah resmi ditandai dengan kethok palu pak hakim. Desahan napas panjang seperti melepaskan beban terdengar jelas oleh beberapa orang yang menemaninya. “Sudah legakan, ini yang kau mau?,” kata bu Mul sambil megelus bahu Tami. Tami menitikkan air mata sambil mengangguk sebagai tanda menyetujui kalimat tanya ibunya. “Kita langsung pulangkan?” tanya ibunya kembali, mencoba memecah keheningan. Satu persatu memasuki mobil avanza hitam yang baru dua minggu kemarin dibeli oleh Tami.

Ada penyesalan menjadi TKW? dalam hati kecil Tami berkata,”tak perlu disesali, semua tergaris oleh sang pencipta.” Ada pelajaran berharga dalam keputusan Tami kedepannya bahwa keutuhan keluarga yang diinginkan dengan dasar kesejahteraan ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan, berantakan dan berakhir dengan perceraian.