Merajut Perbedaan dengan Benang Toleransi

Bercerita tentang Indonesia sudah tidak ada duanya, kepulauan yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai pulau Rote  akan meninggalkan kesan indah di hati dan tak terlupakan.  Hijaunya hutan yang dibanggakan dunia mampu memberi kesejukan disetiap hela napas semua insan.  Puluhan ribu pulau dengan lekukan bibir pantai yang menggoda perhatian dunia mengundang mereka rela berlama-lama berada di kepulauan nusantara tercinta.

Ribuan suku bangsa yang hidup berdampingan tentu memiliki perangai serta tutur bahasa yang berbeda. Warna kulit, bentuk rambut hingga budaya yang berbeda menjadi suatu kekayaan yang patut dibanggakan karena semuanya dapat hidup berdampingan di bawah naungan sayap garuda Pancasila, inilah yang disebut Bhineka Tunggal Ika.

Bermacam agama ikut mewarnai kehidupan insan di Indonesia.  Sebagai negara yang beragama kita percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana bunyi sila pertama “KeTuhanan Yang Maha Esa”.  Inilah warisan yang titipkan oleh nenek moyang kita.  Ini juga yang bakal kita wariskan kepada anak cucu kita.  Hampir dipastikan bahwa rakyat Indonesia seluruhnya menghafal isi Pancasila apalagi ia pernah belajar di bangku sekolah dasar.  Ironisnya kita pernah melihat video viral ketika seseorang diminta menyebutkan isi Pancasila ternyata bisa salah mengucapkan, itu pasti memalukan bukan? Tapi apakah dengan fasih melafalkan isi Pancasila sudah menjadi jaminan bahwa kita telah mampu mengamalkan dalam setiap sendi kehidupan kita terutama dalam hal hidup bertoleransi antar umat beragama?.

Pendidikan dimulai dari keluarga sejak usia anak-anak telah dibekali untuk hidup berperilaku yang baik, menghormati, menjaga kebersihan serta ketaatan beribadah.  Ketika orang tua melihat anak-anaknya taat menegakkan ibadah mungkin akan merasa bahwa oh… saya berhasil membuat anak-anak saya taat.  Jangan senang dulu, kita harus tahu apakah anak-anak sudah mampu menghargai dan menghormati agama orang lain.

Sungguh meneyedihkan jika orang yang sudah dewasa dan berilmu yang lumayan tinggi tetapi masih memiliki sifat yang radikal dan kontroversial dalam memahami agama.  Padahal manusia diciptakan berbeda-beda tentu peradaban serta keyakinannyapun berbeda.  Ketika seseorang sudah memiliki pendidikan yang tinggi bahkan mencari ilmu sampai ke luar negeri tetapi tak jarang orang yang gagal dalam memahami perbedaan hingga ia diperalat dan menjadi aktor dalam mempertegas perbedaan, mengklaim bahwa agamanya adalah yang benar dan agama orang lain salah.

Pemahaman agama yang salah tak jarang menimbulkan kegaduhan.  Lalu apa manfaatnya kita beragama jika kita menjadi brutal? Sedangakan orang yang tak beragamapun masih mampu menyayangi orang lain bahkan memahami kodrati manusia.

Dalam sebuah perjalanan yang lumayan memakan waktu panjang ke sebuah Desa Muara Wahau di Kutai Timur biasanya saya menyelipkan permen untuk dimakan sebagai penangkis rasa mual.  Tapi kali ini tidak saya lakukan karena rekan saya dan supir sedang berpuasa. Setelah hampir lima jam perjalanan rasa mual dan jenuh itupun mulai terasa, keringat dingin tak menentu membuat gelisah harus bagaimana, ingin minum dan memakan permen tetapi hal itu tidak saya lakukan karena segan teman saya sedang berpuasa.

Untung saja terlihat sebuah tempat persinggahan orang-orang yang sedang beristirahat dan saya meminta ke pak supir untuk beristirahat sejenak.  Dalam kesempatan itulah saya mengatur diri untuk dapat meneguk air dan memakan permen.  Lega rasanya bisa menahan rasa haus dan mual tanpa harus mengganggu orang yang sedang berpuasa.  Tak sengaja teman saya tepat berada di belakang saya, ia mengatakan kenapa ngumpet-ngumpet minum air? Jangan segan-segan minum atau makan walaupun kami sedang berpuasa tegasnya.

Di sebuah kota kecil Sangatta kami membeli sejumlah buah dan makanan khas nasi kuning, berjalan mengitari keramaian orang-orang suku Dayak yang ramah dan bersahaja menyuguhkan jajanan di pinggir jalan ternyata indah sekali saat itu.  Tanpa menyelami lebih jauh kehidupan mereka maka kita tidak akan pernah tahu keramahtamahan suku yang masih dianggap tertinggal.  Hal-hal unik yang perlu anda ketahui ketika ingin berkunjung ke Kutai Timur ternyata dara-dara Dayak dalam kesehariannya melakukan aktivitasnya selalu dengan keceriaan dan keramahtamahan.  Toleransi secara natural telah tercipta.  Sore itu sempat terlihat oleh saya sekelompok anak-anak kecil yang bermain bola biji ketapang untuk menghabiskan waktu sebelum malam tiba dan mereka berasal dari suku dan agama yang berbeda.

Kami melanjutkan perjalanan yang masih lumayan jauh, senja merona di belahan barat Kutai Timur mengiringi perjananan kami dan tak terasa saatnya berbuka puasa.  Pikirankupun dihibur rasa senang karena perutku yang mulai keroncongan akan segera didiamkan dengan suguhan makanan berbuka puasa.  Sempat terlihat oleh saya dua ekor enggang sejenis unggas khas Kalimantan.  Di pertengahan jalan hari mulai gelap tak satupun rumah tempat persinggahan.  Melintasi hutan yang gelap hanya ada beberapa kendaraan yang melintas dan kamipun berhenti sejenak.  Saya disuguhkan makanan dan minuman yang seharusnya buat mereka yang berpuasa tetapi saya ikut menikmatinya.  Ini adalah sebuah memori yang tak dapat saya lupakan.  Saya mengucapkan selamat berbuka puasa begitulah cara saya merajut perbedaan menjadi sehelai persahabatan yang indah.

Ketaatan menjalankan agama seseorang mungkin tak sebaik orang lain, tetapi hal yang sangat penting adalah memiliki sikap yang mampu menjaga keharmonisan di antara kita.  Saya sangat tertegun mendengar cerita seorang pejabat tinggi yang agamanya tidak sama dengan sahabatnya yang sedang berpuasa.  Ia mengundang sahabatnya itu untuk berbuka puasa di rumahnya padahal mereka berbeda agama.  Sebuah perilaku terpuji yang patut ditiru.  Ia mulai merajut perbedaan dengan benang toleransi hingga terbentuk sehelai persahabatan yang kuat.

Saya teringat masa kecil yang indah pada setiap perayaan hari besar agama di sebuah desa kecil, saling berbagi dan saling menghormati satu sama lainnya.  Padahal mereka bukanlah golongan yang berpendidikan tinggi tetapi secara natural mereka saling bersilahturahmi mengucapkan selamat atas perayaan agama yang mereka anut masing-masing.  Tak ada aturan yang mengikat apalagi memaksa semuanya berjalan dengan natural.  Begitulah para pendahulu kita telah lebih dahulu merajut perbedaan dengan benang toleransi dan diwariskan kepada kita sampai saat ini.

Sepertinya kita tidak rela jika toleransi itu hilang begitu saja.  Kita tidak mau bahkan tak sudi jika ada orang yang merusak tatanan kehidupan bertoleransi.  Mari kita berkarya menjalin toleransi yang semakin akrab bahwa perbedaan diantara kita bukanlah menjadi penghalang tetapi justru menjadi alat pemersatu bangsa.