Bu Marti

Gugusan mendung tebal di langit timur sejak pagi buta berarak pelan. Berbaris rapi menuju ke barat hingga tak terlihat tanda-tanda mentari akan menyapa. Meski tidak sampai jatuh menjadi rintik hujan, tapi mampu menghadirkan mendung-mendung lain yang bergelayutan pada sepotong hati seorang perempuan bernama bu Marti. Segumpal darah dalam dadanya terasa perih bak teriris. Walaupun tak ada yang mengusir, dia harus segera angkat kaki dari rumah yang menurutnya amat megah itu. Tangisan Sania, sang menantu, yang memintanya tetap tinggal tak menyurutkan langkahnya menuju kampung halaman.

Pagi itu bus antar provinsi dari Ibukota seharusnya tak terlambat berangkat. Andai kecelakaan tak terjadi di ruas tol yang dilewati untuk menjemput penumpang terakhir, jam delapan pagi sudah tiba di agen tempat bu Marti menunggu. Keinginan bu Marti hanya satu, yaitu pulang dan berusaha melupakan segala yang ia alami selama sepekan di rumah Bagus, putranya. Jika saja ia punya sayap, ingin rasanya secepat mungkin terbang kembali ke rumah di daerah pinggiran kota Solo.

Saat berada di lokasi bersama beberapa penunggu bus lain dengan tujuan masing-masing, bu Marti nyaris tak kuasa menahan gejolak kesedihan dalam hatinya. Meskipun demikian, dengan sekuat tenaga ia masih mampu menahan untuk tak berurai air mata di depan orang yang tak dikenalnya. Ia tak ingin orang lain tahu betapa hatinya sangat terluka. Setiap ada yang mau mengalir di pipi senjanya sesegera mungkin ia seka.

*

“Ibu mau di sini sampai kapan?” Tanya Bagus suatu malam sepulang kerja dengan roman muka yang nyaris dipenuhi kepenatan. Tak ada seulas ramah di sana. Bertanya pun sambil lalu dan terkesan basa-basi.

“Biarlah Ibu di sini beberapa hari lagi, Mas. Sampai puas bermain dengan cucu dulu, bukankah begitu, Bu?” Sania menyela pertanyaan suaminya sebelum yang ditanya menjawab. Bu Marti tak mampu menjawab selain mengiyakan sambil memandang Bagus dan Sania bergantian.

Selama sepekan di rumah Bagus, bu Marti merasakan suatu aura lain sang putra. Tak ada waktu lagi untuk ngobrol seperti dulu. Sikap Bagus mengisyaratkan seolah tidak berkenan atas kedatangan ibunya dari kampung. Tak biasanya demikian, oleh karena itu bu Marti tidak habis pikir mengapa anak lelakinya kini berubah sikap. Apa salah dan dosanya sehingga putranya kini seperti tak mengenalnya. Apakah persaingan kehidupan di ibukota telah membuatnya demikian, bu Marti hanya bisa bertanya dalam hati.

“Bu, akhir-akhir ini urusanku begitu banyak dan bisnisku tak selancar tahun-tahun yang lalu. Aku mohon Ibu mengerti,” suatu pagi sebelum berangkat kerja, Bagus berkata dan kali ini tampak serius.

Bu Marti belum bisa menangkap ke arah mana topik pembicaraan Bagus. Dia datang bukan mau meminta segepok uang tapi hanya karena rindu cucu yang tengah lucu-lucunya. Kalaupun meminta kepada Bagus adalah wajar. Bagus anak kandungnya yang hidup sukses di kota besar. Mendengar ucapan Bagus, Bu Marti tiba-tiba sensitif karena selama ini dia belum pernah meminta sejumlah uang kepadanya. Diberi tiap bulan sudah ia syukuri tapi meminta secara langsung belum pernah ia lakukan.

“Jika bulan depan aku tak bisa kirim buat keperluan Ibu sehari-hari, Ibu jangan kaget. Aku harap Ibu jujur saja. Apakah saudari kembarku, Ayu, juga memberi Ibu sepertiku?” Ada nada sedikit sombong yang ditangkap bu Marti dan membuatnya nyaris tak percaya itu keluar dari bibir putranya.

“Kami sama-sama anak Ibu, seharusnya dia memikirkan Ibu juga.” Bagus berkata dengan setengah ditekan. Bu Marti masih diam dan menunggu agar putranya leluasa mengungkapkan isi hatinya.

“Aku menyayangi Ibu dan juga Mama Marni. Dialah yang merawatku sejak bayi hingga aku seperti ini. Beliau tak punya siapa-siapa selain aku. Ibu tak menyesal ‘kan bila aku menanggung semua beban hidupnya di hari tua?” Bu Marti belum menjawab dan mulai mencium apa yang kira-kira akan diucapkan Bagus selanjutnya.

“Aku yakin, aku tidak akan sesukses ini jika dulu Ibu tidak menyerahkan diriku kepada Mama Marni,” lanjut Bagus enteng dan penuh percaya diri, tanpa menghiraukan apakah kata-katanya bisa mengiris kalbu perempuan lugu yang telah melahirkannya atau tidak.

Sampai di sini kepala bu Marti bagai ditempeleng keras. Sakit dan berdenyut-denyut. Tenggorokannya terasa kering dan kaku. Mulutnya terkunci. Kursi empuk tempat ia duduk sekonyong bergoyang-goyang ibarat perahu kecil menantang ombak di lautan. Memang selama ini hampir semua kebutuhan bu Marti, Bagus yang menanggung. Mengingat dia lebih dilapangkan rejekinya dibanding Ayu. Kalau toh Ayu memberi, tidaklah sebesar yang diberikan Bagus kepada ibunya.

Perasaan bu Marti yang lembut, penyayang dan selalu tegar tak mudah goyah hanya karena mendapat perlakuan tidak menyenangkan atau yang menyakiti hatinya. Namun kali ini lain. Bagus nyaris melewati batas manakala mengungkit masa kecil. Menurutnya ada kezaliman yang telah dilakukan bu Marti terhadap dirinya. Kata-kata yang terucap dari bibir Bagus sama sekali di luar dugaan, sementara bu Marti sendiri tak pernah merasa melakukannya.

“Iya, Ibu mengerti. Ibu hanya bisa berdoa, semoga urusanmu dilancarkan dan semoga rejekimu berkah melimpah. Maafkan Ibu bila selama di rumah ini justru membuatmu tidak nyaman. Besok Ibu pulang.” Akhirnya bu Marti bersuara meski bergetar saat mengucapkan itu. Hatinya sedih dan ada penyesalan mengapa ia datang di saat yang kurang tepat.

Kenangan lama berkelebatan di mata bu Marti tanpa bisa ia tolak. Ia ingat bagaimana cara Marni_kakak bu Marti_ketika membawa Bagus kecil dengan paksa. Sepuluh tahun dalam pernikahan, tak jua hadir momongan yang Marni dan suami dambakan. Di saat yang bersamaan, Marti, adiknya melahirkan bayi kembar Bagus dan Ayu. Setengah paksa dia bawa bayi Bagus yang masih merah. Dengan diiringi banjir air mata ibunya, Bagus kecil berpindah tangan dalam pengasuhan budenya, Marni.

*

Bu Marti masih terisak lirih sejak duduk dalam bus yang membawanya ke Solo. Bahkan sebelum bus itu tiba, ia sudah terisak tanpa mampu ditahan. Lagu-lagu yang sengaja diputar dalam bus untuk mengiringi perjalanan penumpang hari itu bak pahlawan baginya. Paling tidak isak tangis dari kesedihan yang bergemuruh dalam dada tak terdengar penumpang lain.

Ia tak menyangka peristiwa berpuluh tahun lalu yang telah terkubur rapi kini terbuka dan memojokkan dirinya. Seakan ada ketidakadilan fatal yang telah ia lakukan di masa itu sehingga Bagus berubah sikap terhadapnya. Meskipun hatinya masih berdarah, tak semenit pun ia lalai dalam melangitkan doa-doa kebaikan untuk anak-anaknya.

Lisan Bagus telah menggores ulu hatinya. Namun rasa sakit yang hadir karenanya ia yakini akan sembuh dengan segera. Sebagaimana rasa sakit saat menjelang hingga melahirkannya ke dunia. Sakit itupun sirna kala buah hatinya menangis kencang dalam pelukan pertamanya. Ia ingat itu.

Agar tak terlalu larut dalam kesedihan, bu Marti mencoba memandang ke luar jendela setelah satu jam perjalanan. Sejumlah awan putih berarak di langit siang itu cukup meneduhkan pandangannya yang sedari pagi buram berembun. Awan itu pun seolah berkata, “Sudahlah, Bu, ikhlaskan. Bukankah dirimu memiliki samudra ampunan bagi mereka yang pernah menghuni rahimmu?” Sebagai ibu, hatinya seketika luluh hingga tertidur. Dia tak sempat menyaksikan berita terbaru di TV bus, tampak beberapa tersangka memakai rompi orange. Salah satunya orang yang sangat ia kenal sekaligus ia sayangi.