Bubur Senja

“Aisah … nanti siang kamu tidak usah keliling, tinggal antar saja gorengannya ke tempat Bu Khadijah, ya! Tapi ngantarnya sore. Bu Khadijah mau yasinan,” titah Wartini pada gadis belia yang menjajakan gorengannya.

Mata Aisah berbinar, senyumnya mengembang dengan sempurna. Rona bahagia jelas terlihat dari sorot matanya, karena ia tak perlu berkeliling kampung  untuk menjajakan dagangannya. Apalagi Aisah harus melewati rumah Kang Dopir, perjaka tua yang sering menoel pipinya. Malas rasanya ia lewat situ.

“Baik, Mak Ni,” jawab Aisah dengan senyum gigi kelincinya.

“Tapi ingat ya, nanti bathinya dibagi dua karena kamu kan nggak capek-capek keliling kampung, Sah.” Wartini mengingatkan.

Aisah tertegun memandang  sambil mengoreksi kalimat terakhir Wartini. Ia memiringkan kepala dan mengernyitkan dahi. Wartini pun mengetahui apa maksud Aisah.

“Halah … kan sekali jalan aja sih, Sah! Kalau kamu keberatan, aku yang seperempatnya saja.  Yang lima belas ribu kamu yang lima ribu buat aku.

Gimana?” Wartini memajukan dagu dan membulatkan mata ke arah Aisah.

“Nah gitu dong, Mak Ni.” Jempol tangan kanan Aisah menunjukkan diri di depan  Wartini yang biasa dipanggilnya Mak Ni.

Aisah tetap bersyukur karena dari sebagian uang bathinya nanti bisa dibelikan bubur untuk kakeknya.

“Lumayan, yang delapan ribu beli bubur untuk Kakek, yang tujuh ribu untuk uang saku sekolah besok deh,” batin Aisah.

Menjelang menunaikan tugas mengantar gorengan, Aisah bersiap. Hujan di sore itu membuat tubuh kurus Aisah kedinginan. Ujung telapak tangan yang mengkerut dan bibir yang membiru tidak dipedulikannya.

Aisah berjalan dengan menggendong kotak kardus yang dibungkus rapi berisi gorengan. Payung usang yang dipakainya, cukup membantu untuk melindungi gorengan dari air hujan. Berjualan gorengan keliling sudah dijalani Aisah selama dua tahun terakhir, sejak Ramidi,  kakek Aisah,  divonis menderita penyakit TBC kronis.

Sebelum penyakitnya parah, Ramidi masih berjualan gorengan keliling kampung dengan mengayuh sepeda ontelnya. Namun kini sang kakek terbaring lemah tak berdaya. Ia hanya bercanda dengan tikar dan selembar selimut tua pemberian Wartini. Sesekali nyamuk menyapa dengan suara dengungnya. Saat sang kakek sakit, Aisah, gadis belia yang masih duduk di kelas dua SMP itu merawatnya dengan telaten dan sabar.

Sewaktu masih muda, Ramidi adalah  seorang nelayan. Namun, karena kondisi kesehatannya sudah tidak memungkinkan untuk melaut,  beralih profesi sebagai penjual gorengan yang diambil dari  Wartini tetangganya.

Menghidupi cucu satu-satunya membuat Kakek Ramidi bersemangat untuk bekerja. Sesekali tetangga sekitar meminta tolong Kakek Ramidi membersihkan halaman di sekitar rumah mereka dengan menerima upah.

Sudah dua malam ini kakek Ramidi demam tinggi. Tetangga sekitar yang mempunyai empati bergantian untuk menjenguk membawakan bahan makanan serta obat-obatan ringan untuk persediaan di hari-hari berikutnya. Ada minyak kayu putih, minyak sereh untuk membasuh badan saat diperlukan. Aisah tak henti-henti bersyukur atas kebaikan tetangganya.

Enam bulan lalu, Aisah dan kakeknya terharu mempunyai tetangga yang peduli. Rumah mereka yang hampir roboh itu direhab oleh tetangga sekitar dengan bergotong royong. Sekolahnya dibiayai oleh Pemerintah desa setempat. Air Matanya meleleh bila mengingat itu semua. Karunia Allah yang begitu besar.

Tak terasa Aisah sampai di rumah Bu Khadijah.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Oh, Aisah, masuk dulu, Nak,” sapa Bu Khadijah ramah. Tanpa waktu panjang bu Khadijah menyerahkan sejumlah uang sesuai pesanan. Dan Aisah berpamitan.

Seperti janji Aisah semula, ia akan membelikan bubur untuk kakeknya. Di perempatan jalan menuju rumahnya,  di bawah pohon beringin yang sudah tua, tempat penjual bubur favorit kakeknya, Aisah berhenti.

“Paman, bubur ayam satu ya.”

“Kok Cuma satu, kan ada dua orang di rumah, Neng”

“Ah cukup satu saja, kok, Paman. Aisah sudah makan tadi.”

“Untuk Kakek?”

Aisah mengangguk dan tersenyum. Ia membeli satu saja sudah cukup. “Kakek nggak mungkin habis juga makan satu porsi, nanti bisa barengan dengan kakek.” batinnya

Sambil membawa semika bubur ayam untuk sang kakek Aisah berjalan dengan santai. Kendaraan yang banyak berlalu-lalang di jalan poros itu membuat langkahnya berkali-kali terhenti menghindari cipratan genangan air hujan yang dilintasi kendaraan.

Aisah tak henti-hentinya bernyanyi kecil. Ia bahagia akan menyuapi kakeknya dengan bubur ayam. Ia sudah membayangkan lezatnya makanan dalam bungkus mika yang terlihat menggoda.

“Kakek pasti sangat lahap makannya, karena memang ini bubur kesukaan Kakek, semoga Kakek lekas sehat” batin Aisah.

“Hai … jalan lihat-lihat dong!” umpat pengendara motor tiba-tiba. Aisah terkejut dan mika bubur yang dibawanya jatuh terlindas motor  tersebut. Bersamaan dengan itu pengendara motor sudah menjauh.

“Ah … dasar pengendara tak punya hati,” keluh Aisah.

Tak terasa meneteskan air mata memandangi sebungkus mika yang sudah tidak berbentuk. Akhirnya ia kembali ke tukang bubur.  Namun, kali ini ia hanya membeli separuh porsi saja, karena uang bathinya tinggal tujuh ribu, yang dua ribu untuk uang jajan besok di sekolah.

“Biar aja, Neng, Nggak usah bayar.”

“Paman, maafkan saya, bukannya saya tidak mau menerima pemberian Paman, tapi Paman kan juga berjualan, Kakek mengajari saya untuk tidak merepotkan orang.”

Penjual bubur bersikeras mengembalikan uang Aisah, tetapi, dengan lembut Aisah  menolaknya. Pelajaran yang diberikan oleh kakeknya selalu dipegang erat “Jangan mudah menerima pemberian orang, karena orang lain pun bekerja keras untuk mendapatkannya.” Itulah pesan Kakeknya.
Dengan hati yang agak resah memikirkan keadaan kakeknya, ia pulang dan menenteng bubur yang hanya separuh porsi. Gara-gara pengendara motor yang tidak mempedulikan keselamatan orang lain, akhirnya, Aisah kesorean sampai rumah. Azan magrib sudah berkumandang.

Tangan kecil aisah mendorong Pintu rumah dengan hati-hati, dengan suara yang pelan ia menyapa Kakeknya.

“Assalamualaikum, Kakek … Kakek … Kakek …!” suara Aisah memanggil sang kakek.

Tidak ada sahutan sama sekali.

“Ah … mungkin Kakek lagi salat magrib,” batin Aisah.

Namun, saat menengok bilik sederhana kakeknya, Aisah terkejut melihat mulut sang kakek berlumuran darah di atas sajadah tuanya. Bubur yang dibelinya segera ditaruh di atas dipan bambu dalam bilik kakek. Aisah memeluk kakeknya dengan erat, Tangisan yang menyayat membuat Wartini, tetangga dekat Aisah, segera datang ke rumah Aisah.

Tak lama kemudian tetangga berdatangan untuk mempersiapkan pemakaman Ramidi.