Manusia begitu pandai bercerita, berdusta
Lidahnya terpelintir terbelit saat memintal kata menjadi sebaris prosa
Angannya jauh mengawang terbang, kalau sudah punya rencana
Wajah manusia umpama topeng-topeng kulit dilukis banyak warna
Lantas manusia yang mana, matanya selalu gembira?
Tiba-tiba sanggup tertawa dan menangis seketika
Manusia dititipkan hati, katanya?
Hati sekecil itu, harapannya banyak, cintanya juga banyak
Tapi, mengapa hati harus berwarna merah?
Karena Ia selalu bermandikan darah
dari luka-luka yang berbeda asalnya
Tak pernah sepenuhnya pulih, lalu …tangannya menepuk dada
“Aku tidak apa-apa.” Begitu ucapnya jumawa
Manusia semudah itu berubah, lalu kembali berulah
“Ah … tidak juga…”
manusia begitu bertingkah hanya menang di nyawa
Padahal kulitnya lepuh lecet berbau anyir terseret dan terjerat
Manusia selalu banyak tanya, banyak pula maunya
Mencinta, merindu, dan mengumpat bak penguasa
Jendela terbuka, tampak rinai hujan bertarung sengit
Berganti sinar matahari yang terik, mengacau pongah dari langit
Sukma manusia kalah nyali, jiwa yang morat-marit
Tertinggal, menangis, menjerit
Sisa puing-puing reruntuhan hati yang baru saja gempa
Tiba di sini, aku ingin bertanya dengan alasan yang sama
Iya … karena aku lelah terus berkelana
Mencari jasad raga anak manusia yang merana
Tanya ini sederhana saja wahai Raja semesta
Kapan, gema irama detak itu berhenti menyapa
Meski untuk sebentar saja?
Agar kedua tanganku berhenti menutup kedua telinga
Setidaknya tidurku dapat lelap dan sungging senyum nan shaliha
Baca juga :
- Puisi-Puisi Ag Andoyo Sulyantoro
- Sensasi “Matur Tampiasih” di Kampung Sasak Sade Lombok
- Tentang Si Gadis Dari Kutub Utara
Yuk ikuti terus linimasa CAPTWAPRI.ID agar tidak ketinggalan informasi menarik lainnya.
Tinggalkan Balasan