Oleh : Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)
Editor : Captwapri
Prabowo Subianto akan mengunjungi China pada 31 Maret – 2 April. Demikian pengumuman resmi pemerintahan Komunis China sebagaimana termuat di CNN Indonesia, 30/3 kemarin. Undangan kepada Prabowo adalah sebagai “elected president” dan China ingin memastikan kerjasama RRC dan Indonesia ke depan.
Langkah China mengundang Prabowo ini merupakan langkah kedua sejak di mana China dari awal sudah memberi selamat kepada Prabowo semenjak menyatakan diri menang pilpres, meski KPU belum mengumumkan, saat 14/3 malam itu. Dalam diplomasi politik antar negara, ini juga merupakan sesuatu yang luar biasa, karena pemberitahuan kunjungan dari pemerintah asing kepada presiden pemenang pemilu, bahkan sengketa hasil pemilu masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Namun, fakta di atas menunjukkan adanya suatu keganjilan yang serius, yang perlu menjadi refleksi kita sebagai sebuah bangsa.
Pertama, Indonesia selama 10 tahun belakangan ini sudah masuk dalam pengaruh kekuasaannya China. Meskipun tidak seburuk Cambodia, Laos dan beberapa negara ASEAN lainnya, faktanya Indonesia merupakan bagian penting China dalam politik dengan menyebut sebagai “Comunity of common destiny”.
Dalam kajian Jonathan Stormseth, 2019 ” The Testing Ground: China’s Rising Influence in Southeast Asia and Regional Responses”, Indonesia berbeda dengan Vietnam dalam merespon strategi China di kawasan. Vietnam menurutnya berusaha mengimbangi pengaruh China dengan memperkuat hubungan dengan Amerika dan Jepang, karena pengalaman pahit penjajahan China dalam waktu yang lama. Sebaliknya kita, di era Jokowi ini, menurutnya, ambisi Jokowi di bidang ekonomi berimpit kepentingan dengan strategi China melakukan ekspansi pengaruh melalui penggelontoran pinjaman/bantuan uang besar-besaran via BRI (Belt and Road Initiative).
Namun, Jonathan memastikan juga, bahwa belajar dari politik Zho En Lai di era Soekarno lalu, saat ini strategi China dalam mempengaruhi politik Indonesia lebih halus. Tapi, menurutnya, keterlibatan politik China pasti nyata.
Kedua, pemanggilan Prabowo oleh China ini menunjukkan arah politik keberlanjutan yang selalu Prabowo janjikan sebagai kesinambungan politik Jokowi, akan menjadi pembicaraan penting Xi Jinping dan Prabowo. Perlunya Prabowo bertemu dengan Xi Jinping sebelum perkara sengketa pemilu selesai, pastinya untuk “settlement” kekuasaan Prabowo dalam pengaruh China ke depan. Sebab, jika pembicaraan antara negara secara internasional, seharusnya China mengundang Jokowi sebagai presiden yang sah saat ini.
Mungkinkah China takut tidak dapat mengendalikan Prabowo setelah keputusan MK nantinya?
Di bawah Lindungan Ka’bah
Selama 10 tahun pengaruh China belakangan ini, ummat Islam mengalami tekanan politik bertubi-tubi. Seperti pada era kolonial Belanda, ajaran Islam hanya sebatas ajaran liturgi alias ibadah. Namun, Islam sebagai ajaran Kaffah, yang juga menyangkut “ideological view”, yang mengatur hubungan negara dan masyarakat harus musnah. Dalam era Jokowi, suara Azan pun harus berbatas dalam ruang udara Republik Indonesia, tidak boleh ke luar Masjid. Sekulerisme harus menjadi pegangan hidup. Istilah toleransi beragama berubah “mindset” kepala ummat Islam, agar, misalnya, membiarkan orang-orang menjual makanan bahkan daging Babi dan Anjing di bulan puasa. Ummat mayoritas harus menghargai minoritas dan lain sebagainya.
Namun, selama ini kesadaran kita melihat bahwa Islam tidak bisa tunduk dari Portugis dan Belanda. Maka, sudah pastinya juga China tidak dapat menundukkan Islam di Indonesia. Sehingga, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, ulama-ulama Islam yang ingin mengajarkan pandangan hidup secara Islam tetap bertahan. Meskipun, selama era Jokowi, telah terjadi penghapusan atau review atas ribuan perda-perda Syariah, kebebasan memakai simbol kehidupan Islami, pendegradasian narasi-narasi Islam di media sosial dan lainnya.
Suatu hal yang menjadi begitu berharga bagi ummat Islam saat ini adalah adanya kesempatan mereka menampilkan calon presiden dan wakil presiden pertama sekali dalam sejarah Indonesia, yakni Anies dan Muhaimin. Kedua sosok tersebut mewakili Islam sebagai pandangan hidup. Sebelumnya, hampir semua presiden mempunyai pandangan sekuler. Meskipun KPU mengatakan AMIN kalah, namun ummat Islam meyakini sesungguhnya mereka menang, jika pemilu berlangsung jujur dan adil.
Fundamental lainnya bagi ummat Islam adalah sebuah kepercayaan kebangkitan Islam dalam 100 tahun dan ini jatuh pada tahun ini, 2024. Para mujahid mengatakan bahwa ini adalah Nubuat Nabi. Artinya suatu ajaran sakral.
Keyakinan ajaran Islam akan memimpin Indonesia oleh karenanya menjadi agenda yang akan terus menerus bergema oleh kaum ulama dengan semangat. Ini yang saya sebut sebagai “Di bawah Lindungan Ka’bah”. Sebuah upaya terwujudnya “Community of Share Destiny” Versi Islam, bukan Peking.
Pergolakan Kedepan
Pergerakan Bangsa Indonesia ke depan akan semakin tajam dalam konflik antara sebagian bangsa yang terikat dengan agenda besar Peking di Indonesia melawan sebagian lainnya yang berbasis pada agenda kebangkitan Islam. Konflik ini sedang berlangsung dengan kemarahan rakyat melihat hasil pemilu yang terkendali oleh kekuasaan Jokowi.
Kunjungan Prabowo ke China tentu saja menebar kecurigaan sebagai sebuah fakta adanya perjanjian politik antara Jokowi, sebelumnya, dan berlanjut ke Prabowo. Sebab, sekali lagi, tidak relevan seorang pejabat negara yang belum sah sebagai presiden, bertemu kepala negara lainnya, yakni Xi Jinping. Sebagai bandingan, beberapa waktu lalu Jokowi berjanji bahwa dia yang akan memperkenalkan presiden baru kelak kepada Pangeran MBZ dan MBS, akhir Desember lalu, saat kunjungan ke sana.
Jika Prabowo melakukan sebuah kesepakatan politik sebelum dilantik menjadi presiden, dengan Xi Jinping, tentu saja kewibawaan Prabowo di mata Rakyat Indonesia akan terpuruk. Khususnya bagi ummat Islam, yang sepanjang sejarah mencurigai China sebagai anti Islam. Disamping urusan dengan Islam, sejarah juga mencatat Raja Jawa, Prabu Kertanegara, Kerajaan Singosari, telah memotong kuping urusan China sambil berkata: “bilang sama rajamu, Singosari tidak sudi dijajah China”. Dengan demikian, kepemimpinan Prabowo ke depan, jika dia yang menjadi presiden, akan diragukan oleh bangsanya.
Penutup
Undangan China kepada Prabowo untuk bertemu Presiden Xi Jinping membawa spekulasi lain terhadap isu perpecahan bangsa ke depan. Bagaimana seorang pejabat yang belum presiden diundang negara lain sebagai “next president” yang membicarakan keberlanjutan hubungan kedua negara? Apakah selama ini Indonesia sudah benar-benar tidak bisa independen dari China? Ini menjadi catatan kita ke depan.
Dibawah lindungan China selama era Jokowi ini, tentu saja kita saksikan masyarakat Indonesia, khususnya mayoritas muslim, mengalami marginalisasi. Belum lagi politik China yang selama ini dalam strategi Belt and Road dikombinasikan dengan keterlibatan front bersama China Overseas, yang tidak memberi kesempatan kaum pribumi bangkit menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Di sisi lainnya, adanya kepercayaan Nubuat Nabi tentang kebangkitan Islam saat ini, membuat gerakan Islam akan terus maju tanpa tunduk pada kekuasaan. Maka perbenturan sosial terus menjadi berkepanjangan ke depan.
Semoga bangsa kita selamat nantinya, “Di bawah Lindungan Ka’bah”, bukan Peking.
Catatan Kaki :
Perubahan judul semata-mata menyesuaikan kaidah etika jurnalistik
Tinggalkan Balasan