Belanda Menjajah, Tapi Bukan Bahasanya

Belanda Menjajah, Tapi Bukan Bahasanya
Sumber Foto : Pexels

Sering kali kita mendengar bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Di tengah simpang-siur durasi pendudukan, terdapat hal menarik, bahwa meskipun penjajahan lama, hanya sedikit orang Indonesia fasih berbahasa Belanda. Coba bandingkan dengan Inggris dan Spanyol saat menduduki India dan Filipina, penggunaan bahasa penjajah masih mendominasi di kedua negara tersebut. Apa yang menjadi penyebab perbedaan ini? Apakah masalahnya hanya soal durasi penjajahan, atau ada faktor lain yang lebih kompleks?

Apakah Benar 350 Tahun?

Sebelum membahas soal bahasa, ada baiknya kita meluruskan dahulu tentang klaim 350 tahun penjajahan. Angka ini sering berulang dalam literatur serta percakapan sehari-hari, tetapi sebenarnya kurang tepat secara historis. Penjajahan bermula dari kehadiran VOC pada awal abad ke-17, sedangkan VOC hanyalah perusahaan dagang, dan bukan pemerintahan kolonial resmi.

Mereka hanya menguasai sebagian wilayah strategis di Nusantara, bukan seluruh kepulauan. Penjajahan langsung oleh pemerintah kolonial Belanda berawal sejak VOC bubar pada 1799. Bahkan, penguasaan terhadap wilayah Indonesia tidak sepenuhnya hingga awal abad ke-20. Jadi, klaim “350 tahun penjajahan” sebenarnya lebih merupakan penyederhanaan sejarah.

Mengapa Bahasa Belanda Tidak Menyebar Luas?

Tidak seperti Inggris di India atau Spanyol di Filipina, Belanda tidak mendorong penggunaan bahasa mereka di kalangan masyarakat pribumi. Sebaliknya, mereka membatasi akses pendidikan dan penggunaan bahasa Belanda hanya untuk kalangan elit. Pendekatan segregasi yang mereka terapkan membuat bahasa Belanda menjadi bahasa para elit kolonial, sementara mayoritas rakyat tetap menggunakan bahasa daerah.

Sebelum Belanda datang, bahasa Melayu telah lazim sebagai bahasa perantara di seluruh Nusantara untuk keperluan perdagangan dan komunikasi antar suku. Belanda melihat pentingnya bahasa ini dan mendukung penggunaannya, terutama dalam administrasi dan pendidikan dasar. Hal ini membuat orang Indonesia tidak merasa perlu mempelajari bahasa Belanda.

Selama masa kolonial, hanya sedikit orang Indonesia yang bisa mengakses pendidikan formal. Haluan sekolah-sekolah yang ada hanya untuk melatih pegawai kolonial dan elit lokal. Di sekolah-sekolah tersebut, pengajaran bahasa Belanda baru mulai pada tingkatan yang lebih tinggi. Sebagian besar masyarakat tetap menerima pendidikan dalam bahasa daerah atau bahkan tidak mendapatkan pendidikan sama sekali.

Pada awal abad ke-20, ketika semangat nasionalisme mulai tumbuh, bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa pemersatu. Sumpah Pemuda pada 1928 menekankan pentingnya satu bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, sebagai simbol persatuan bangsa. Hal ini memperkuat posisi bahasa Indonesia di atas bahasa Belanda, dan muncul anggapan bahasa tersebut sebagai bahasa penjajah.

Pelajaran dari Fenomena Ini

Meskipun Belanda menjajah Indonesia dalam waktu yang lama, faktor politik, budaya, dan ekonomi sangat mempengaruhi adopsi bahasa oleh masyarakat. Faktor utamanya, terletak pada ketidakmauan pemerintah kolonial dalam menyebarkan bahasa mereka secara luas. Faktor lainnya, karena kuatnya peran bahasa Melayu, sehingga menghalangi penyebaran bahasa Belanda di Indonesia.

Kasus Indonesia menunjukkan pentingnya bahasa sebagai simbol identitas dan perlawanan. Meski mengalami penjajahan fisik, Indonesia berhasil mempertahankan kemandirian linguistiknya. Hal ini kontras dengan negara-negara lainnya, meskipun sudah merdeka, masih menggunakan bahasa penjajah dalam kehidupan sehari-hari.

Refleksi untuk Masa Kini

Meski bahasa Belanda tidak menjadi bahasa dominan di Indonesia, pengaruh kolonialnya masih terasa, terutama di bidang hukum dan akademisi. Salah satu buktinya, masih banyaknya dokumen bersejarah tertulis dalam bahasa tersebut. Namun, bagi mayoritas rakyat Indonesia, bahasa Belanda tetap terasa asing dan tidak urgen.

Setelah merdeka selama lebih dari 70 tahun, Indonesia bisa melihat hal ini sebagai kemenangan budaya. Alih-alih mengadopsi bahasa penjajah, kita memilih bahasa kita sendiri. Dan, menggunakan Bahasa Indonesia sebagai simbol persatuan dan identitas nasional.

Dengan demikian, meskipun penjajahan telah meninggalkan dampak yang mendalam, Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan linguistiknya. Hal ini menjadi sebuah bukti, bahwa penjajahan fisik tidak selalu berarti penjajahan budaya. Indonesia mungkin pernah terjajah, tetapi tidak dalam hal bahasa, dan hal tersebut menjadikan kekuatan kita sebagai bangsa.

Keberhasilan Indonesia dalam menjaga identitas bahasanya membuktikan bahwa penjajahan tidak selalu berhasil menguasai budaya suatu bangsa. Bahasa Indonesia, yang berakar dari bahasa Melayu, menjadi simbol persatuan yang kuat, menggantikan bahasa penjajah. Pemilihan bahasa ini menunjukkan tingginya kesadaran nasional masyarakat Indonesia, meskipun berada di bawah tekanan kolonial.

Walaupun pengaruh Belanda masih terlihat dalam beberapa aspek, seperti hukum dan birokrasi, bahasa Indonesia tetap menjadi simbol kedaulatan politik. Saat ini, bahasa Indonesia lebih dari sekadar alat komunikasi, ia merupakan cerminan perjuangan bangsa melawan kolonialisme. Pilihan bahasa tersebut menunjukkan semangat kemerdekaan yang mendalam, tidak hanya dalam aspek fisik, tetapi juga dalam pemikiran dan jiwa rakyatnya.