Memasuki usia yang tak lagi muda, sudah memasuki pintu gerbang angka 4, lebih tepatnya angka sweet fourty. Semenjak itulah, setiap pagi sehabis mandi, aku selalu berdiri di depan cermin tua warisan Mama. Memandangi diri sendiri, dari rambut hingga ke ujung kaki. Pandanganku menyasar pada area wajah yang jelas memantul dalam sebuah cermin antik. “Mirror, mirror on the wall, who is the fairest of them all?”seperti itu barangkali hatiku berbisik lirih.
Mataku menatap, sambil mulai mencari-cari kekurangan-kekurangan yang seharusnya tidak perlu ku lakukan. Mulai dari kantung mata yang bengkak, dan mengendur. Perlahan kusentuh garis senyum itu, di antara kedua pipi, dan mulutku. Tidak lama kemudian aku mematut-matut tersenyum sendiri. Senyuman ini bukan karena hatiku lagi happy, melainkan sedang memastikan sedalam apa garis senyuman yang ada. Dari wajah turun ke leher, iya, leher yang mulai bergaris-garis halus, belum lagi bintik-bintik ukuran kecil berwarna coklat itu.
Aku menarik nafas panjang, “huuuffff ….” Tiba-tiba ku sadari, kalau kedua pipi ini sampai ke tulang rahang itu, sudah tak lagi sekencang dahulu. “Apa aku sudah musti suntik botox?” Membathin sambil memperhatikan area tubuh yang lain. Tak lama setelah adegan drama pagi yang panjang ini, lebih tepatnya drama yang kubuat-buat sendiri. Ku buka lemari pakaian di sudut ruang, lalu kuambil baju terusan paling nyaman untuk kukenakan.
Ibu-ibu seumurku belum dapat dikatakan sudah tua, tapi jujur saja setiap hari rasanya menua. Ada hari di mana aku duduk sambil menatap layar handphone, bolak-balik mencari klinik kecantikan mana yang bagus di kota ini. “Aku ingin tanam benang, atau botox itu aja, titik…!”
Suamiku pagi itu menggelengkan kepalanya. “Apa yang kendur sih Mi…? Kamu masih sama seperti 12 tahun lalu saat kita bertemu” ucapnya. “Aaaaah…. Itu kan katamu, ini loh pipiku sudah mulai bergelambir, nggak pede kalau senyum sama orang.” Bukan sekali dua kali perdebatan soal mau tanam benang, suntik botox, menjadi isu paling serius di rumah ini.
Memang semua tindakan demi cantik itu tidaklah terbilang murah. Paling tidak aku harus menyiapkan sampai belasan juta rupiah. Masalahnya pun sekarang bukan perkara cari uangnya, tapi apakah semua itu sudah menjadi solusi akhir? Sebelum itu semua kulakukan, lalu seharian aku menimbang-nimbang efek samping yang akan muncul kemudian.
Apakah nanti bukannya malah harus kerepotan mengulang-ulang prosedur yang sama? Menurut informasi katanya prosedur yang kupikir sudah jadi solusi akhir itu ada masa “berlakunya”. Berkisar 3-6 bulan, setelah itu aku harus kembali melakukan prosedur yang sama. Perempuan mana sih yang nggak kepingin punya wajah mulus ala Korea. Wajah kencang tanpa kerutan, dan guratan usia. Perempuan mana yang tidak mau punya wajah seperti gadis berusia 25 tahun yang muda belia?
“Itu si Mami, kok bete sih Mi?” Tanya anakku baru saja selesai menghabiskan sarapan paginya. “Biasalah Mamimu, lagi galau kepengen suntik botox” Obrolan bapak dan anak itu tidak kugubris. Aku terus saja mencari fasilitas kecantikan yang aman, dan terpercaya. Masalahnya sih bukan pada suntiknya, tapi perempuan tetaplah perempuan. Sekarang malah jadi kepikiran seberapa efektifnya, apakah benar-benar manjur untuk semua permasalahanku ini.
Apa efek sampingnya? Berapa kali harus mengulang? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Aku benar-benar kelimpungan dengan garis-garis di wajahku ini, aku bukan buku bergaris bathinku ngedumel. “Apa sepenting itu cantik buat Mami?” Anakku bertanya, kedua bola matanya melotot. “Ya ampun! Penting dong Nak, lihat nih mata, pipi, sama rahang Mami udah nggak enak dipandang.” “Emangnya, siapa yang mau mandangin muka mami sampe deket-deket gitu sih Mi?”
Lalu aku terbahak-bahak, anak gadis yang menjelang remaja itu sudah bisa menimpali ibunya. Dia tentu belum memahami, bahwa tetap cantik sampai tua bak Widyawati itu prestige bagi kalangan perempuan. Fakta dan sebuah kenyataan, kalau perempuan-perempuan ingin selalu tampil cantik sampai usia tua. Bukan perihal siapa yang akan memandang, tapi dari jaman nenek moyang pun perempuan selalu ingin tampak cantik karena “persaingan.”
Tetap cantik, awet muda, postur tetap terjaga luwes, dan apik bukan untuk memenangkan hati para lelaki. Jujurly semua itu untuk sebuah pengakuan oleh sesama perempuan itu sendiri. Mengakui atau tidak, cukup di dalam hati saja, karena aku sendiri memang merasa sedikit rikuh, bahasa kerennya insecure. Melihat teman-teman seumuranku masih selalu cantik menawan, bahkan aku yang perempuan ini bisa terpana kagum melihatnya.
Tekadku sudah bulat, pokoknya besok aku harus pergi menemui dokter kecantikan, sekedar mendapatkan informasi, dan solusi. Semoga usiaku yang terus bertambah, tidak hanya mengingatkan aku untuk terus menjaga rupaku ini. Selain kecantikan, ada yang harus tetap terjaga juga, yakni hati yang sehat dan tetap eling sama yang Kuasa. Senantiasa mengingat Allah Subhana Wa Ta Ala, agar tidak cuma cantik kulitnya saja, hati pun harus terjaga kecantikannya.
Tinggalkan Balasan