Sisi Lain Pola Asuh Orang Tua dalam Keluarga, Tonggak dari lahirnya Kebenaran dalam Kehidupan

Berawal dari jenjang Sekolah Dasar (SD). Usiaku waktu itu tepat 11 tahun. Setahun sebelum aku tamat, Ibuku sakit keras. Ibu di diagnosis oleh dokter terkena sakit Ginjal “Ginjal Akut”. Mendengar diagnosis dari dokter kami semua terkejut, apalagi Bapak.

Bapak seolah tak terima dengan hasil itu. Penolakan itu, bukan tanpa alasan. Sepengetahun Bapak, Ibu tak pernah menunjukkan tanda tanda bahwa dia sedang sakit. Sama sekali tak pernah, apalagi mengeluh sakit.

Jiwa Bapak berontak kala itu.

Bapak yang notabene sudah hampir seperempat abad bertugas di Rumah Sakit,  punya dasar pengetahuan tentang ilmu kesehatan. Kok ya bisa istrinya sakit beliau nggak tau. Bapak memang orang yang lumayan pintar, latar belakang pendidikannya hukum.

Selain bertugas sebagai tenaga administrasi di kantornya, beliau juga mengajar Mata Pelajaran Pancasila untuk Sekolah Akademi Perawat. Karena prestasi, atau karena kebutuhan kantor, Bapak dibiayai untuk bisa ikut pendidikan Akta 4 agar bisa memenuhi syarat mengajar.

Cerita berlanjut di tahun 1996, tepatnya di pertengahan tahun.  Sakit Ibu kami mendadak berubah, penyakit yang pada waktu itu masih sangat jarang ditemukan. Dokter yang memeriksa Ibu kami bilang ke Bapak, bahwa Ibu kami ternyata terkena penyakit Lupus. Pernyataan ini juga sekaligus membatalkan diagnosis pertama.

Makin hancur perasaan Bapak saat itu. Dengan kondisi yang serba bingung, beliau juga merasakan kehilangan harapan untuk kesembuhan Ibu kami. Wajar saja kalau Bapak bingung, coba bayangkan… Bapak harus mengurus anak anak, menjaga istri yang sedang sakit, belum lagi  soal kerjaan.

Sebagai seorang anak, tentunya, kami sangat bersyukur bahwa Allah memberikan seorang Bapak yang super luar biasa bertanggungjawab kepada keluarga. Keluarga Bapak dan Ibu dianugerahi Allah, 3 orang anak. Dan aku adalah anak yang paling bungsu.

Kami bersaksi : “Bahwa Bapak adalah sosok langka seorang pejuang keluarga”. Dalam skala 1000 : 1 yang mungkin ada di dunia.

Bapak dan Ibu kami memang pasangan bersahaja dengan segala kemampuannya yang terbatas. Tapi jujur, kami mendapatkan banyak sekali pelajaran hidup dari keduanya. Dalam kehidupan sehari hari, mereka menanamkan nilai nilai kebenaran yang mereka tau kepada kami.

Nilai nilai kebenaran itu, tanpa kami sadari sudah melekat dan menjadi darah daging pada kami. Salah satu contoh konkretnya mungkin, jika kami sedang dalam keadaan mengikuti ujian misalnya, kami dinasehatkan untuk berpuasa. Dengan berpuasa, Bapak dan Ibu berkata : “ orang yang berpuasa ingatannya pasti semakin kuat”.

Belajar Nilai nilai kebenaran sepeninggalan Ibu

Tepat pada tanggal 13 September 1996. Ibu kami menghadap yang Maha Kuasa. Usia Ibu kala itu masih tergolong muda, 43 tahun. Ya, tentu saja karena ajalnya juga sudah tiba. Sebuah kejadian yang nggak akan pernah kami lupakan. Bahkan mungkin seumur hidup kami. Hari, ketika kami semua merasakan kehampaan yang luar biasa dahsyatnya. Tidak terkecuali Bapak.

Sepeninggalan Ibu, Bapak memutuskan untuk mengambil pensiun muda. Tindakan ini Bapak ambil, karena alasan ingin lebih dekat dengan kami, dan turun tangan langsung mengurus kami. Saat itu, aku sudah duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

Dengan gaji seadanya dan tanpa keberadaan seorang Ibu. Kehidupan kami terasa sulit, bahkan sangat sulit. Tugas mengatur rumah tangga yang biasa dilakukan oleh seorang istri, sekarang mau tidak mau dirangkap oleh Bapak sendiri. Dalam diamnya, kami tau bahwa Bapak berusaha untuk mencukupi semuanya.

Tentu, ini bukan karena kesalahan Bapak. Juga bukan karena ketidakadilan Allah pada kami. Tapi, memang karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Setiap pagi, Bapak pergi berbelanja dan memasakkan makanan buat kami. Terasa begitu berat mungkin buat Bapak, tapi Bapak tak pernah sama sekali menampakkan wajah lelahnya. Kami heran, entah darimana Bapak belajar ilmu itu. Oh ya, Bapak memang tak pernah berharap ada orang yang membantunya baik itu kami maupun keluarga dekatnya.

Melihat kondisi itu, membuat kami merasa Iba pada Bapak. Kemudian, kami pun bersepakat untuk mulai belajar melakukan aktivitas sehari hari tanpa harus dilayani. Mulai dari mencuci dan menyetrika baju sendiri, mengerjakan tugas sendiri, pergi ke sekolah tanpa diantar dan tanpa sepengetahuan Bapak, kami juga belajar memasak.

Tentu bukan memasak seperti yang Bapak masak untuk kami, tapi setidaknya kami mulai melakukan hal yang paling sederhana yaitu memasak nasi dan memasak air.

Dalam sebuah dialog singkat, Bapak dan Ibu pernah bercerita kepada kami, bahwa hidup itu jangan pernah bergantung pada orang lain.

Sebuah pesan dan pernyataan yang sangat menguatkan, ini adalah salah satu dari nilai nilai kebenaran yang pernah mereka ajarkan. Hal ini juga yang membuat Bapak tak pernah menyerahkan kami kepada saudara kandung Ibu, yang notabene punya materi yang berlebih dalam penghidupannya.

Bapak memang punya cara sendiri dalam mendidik dan membesarkan kami. Lewat prinsip tindakan dan sikap keikhlasan yang beliau lakukan. Bagi kami, kebenaran bukan hanya soal bagaimana cara mempertahankan hidup, tapi kebenaran juga harus punya manfaat besar buat kami dan keluarga.

Belajar kebenaran di masa masa Remaja

Tak terasa, kami pun beranjak remaja. Kondisi Bapak juga sudah semakin tua. Jika dihitung, sudah selama 7 tahun Bapak menduda. Sungguh, bukan perjalanan yang mudah buat kami semua.

Aku dan kakakku mulai membentengi diri dengan cara rutin berpuasa dan belajar mengaji. Cara ini kami anggap paling tepat untuk mengisi waktu sekaligus dapat  menghadiahkan pahalanya buat almahumah Ibu kami.

Ada yang berbeda di masa masa remaja ini, justru tantangan dan godaan muncul dari  lingkungan sekitar tempat tinggal kami. Maklumlah, kami tinggal di lingkungan cukup padat penduduk dan terkesan kumuh. Beragam etnik suku bangsa ada di lingkungan ini.

Narkoba, judi, pergaulan bebas, perang antar wilayah, dan masih banyak lagi, semua itu, turut menyertai perkembangan kedewasan kami.

Pengaruh pengaruh buruk di atas tentu saja hampir menggoyahkan pikiran dan jiwa kami. Ya, tentu saja, bagaimanapun kami adalah remaja yang masih ingin mencoba banyak hal baru.

Tapi tidak, semua itu tidak terjadi pada kami. Bapak punya banyak sekali cara untuk menghindarkan kami dari pengaruh pengaruh buruk itu. Jadilah kami kemudian orang orang yang berguna dalam kehidupan ini.

Abangku menjadi salah seorang pegawai pemerintah non pegawai negeri, Kakakku menjadi seorang pegawai swasta di perusahaan besar berskala nasional, sementara aku menjadi seorang pegawai salah satu Instansi pemerintah di kotaku.

Ya tentu saja,  pencapaian ini bukan hanya hasil dari didikan dan bimbingan dari Bapak dan Ibuku. Melainkan, karena Allah ridho atas apa yang terjadi pada kami dan kehidupan kami. Allah adalah sumber kebenaran hakiki. Dan keluarga adalah madrasah dari sistem pengajaran dan pendidikan tentang kebenaran.