Tisu di meja hampir habis ketika Siti bermaksud mengambil untuk menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir di pipi. Seolah masih ada beberapa liter lagi yang harus ia keluarkan dari matanya yang kian rabun. Berharap beban di dada sedikit berkurang seiring derasnya aliran air mata di pipinya yang makin tirus.
Sudah dua hari matanya sembab hingga tak mampu membelalak dengan maksimal. Tangisannya kali ini benar-benar mewakili duka terdalamnya. Tak mampu bersuara walau tak ada larangan untuk itu. Sensasi rasa sakit yang terasa makin menggigit, membuatnya ingin menjerit-jerit. Ada perih yang tak cukup hanya dengan merintih.
Meski sudah berusaha menguasai diri, tetapi sekeping hatinya ternyata tak bisa luput dari pedihnya luka. Luka karena terkoyak oleh tajamnya lidah yang melebihi tajamnya belati. Luka yang tidak mungkin melahirkan kesumat, karena di lubuk terdalam masih ada seutas benang halus sebagai tali pengikat rasa kasih yang senantiasa tersemat.
*
“Aku malu, Bu! Aku maluuuu…!” Tati menjerit sambil memukul-mukul meja kayu usang di depannya.
Siti hanya bungkam. Suaranya tercekat di kerongkongan. Pipinya basah oleh kedukaan yang amat dalam. Dadanya berguncang menahan rasa amarah yang membuncah karena situasi dan kondisi yang memojokkan posisinya.
“Gara-gara Ibu, teman-teman sekelasku kini berubah sinis padaku. Mengapa Ibu tak terus terang dari awal bahwa Ibu bekerja di rumah pak Harjo sebagai gun…?”
“Cukup! Lancang sekali mulutmu, Nduk!” Siti tak mampu menahan gejolak emosi yang meletup-letup sejak tadi.
Ingin rasanya menampar mulut Tati dengan sekuat tenaga agar berkurang rasa sesak di dadanya yang bergemuruh. Dia hanya mampu mengepalkan tangan kuat-kuat sembari mengatur napasnya yang memburu. Jika toh mau menjerit, ia yakin jeritannya kali ini akan mampu membelah langit.
Tak mudah bagi Siti untuk banting setir setelah suaminya tiada. Hidup pas-pasan sejak belia seakan sudah menjadi garis nasibnya. Dia belum pernah merasakan bagaimana bahagianya memiliki uang lebih. Selalu pas dan bahkan sering kurang. Hingga kini tiada hari tanpa memutar otak demi kelangsungan hidup bersama putri tercinta.
Terbiasa hidup sederhana tak membuatnya rendah diri. Bahkan semangat untuk mencari sesuap nasi makin membara pantang menyerah. Apa pun ia kerjakan demi menghidupi diri dan putri semata wayangnya, Tati. Dia bercita-cita sang buah hati tidak bernasib seperti dirinya yang hanya bisa menjual tenaga dengan upah yang tidak seberapa.
Tawaran pak Harjo untuk membantu merawat dan melayani istrinya yang sakit usai kecelakaan tak ia sia-siakan. Meski sudah ada perawat khusus selama sakit, tapi pak Harjo memintanya datang tiap hari untuk membantu dan mengerjakan pekerjaan rumah pada umumnya. Ia menyanggupi dan tak mungkin menolak. Baginya pak Harjo telah membuka pintu rezeki dan patut bersyukur.
Berangkat pagi pulang sore ia lakukan setiap hari tanpa ada hari libur. Dengan mengendarai sepeda butut peninggalan suami ia berangkat hampir bersamaan dengan Tati ke sekolah di sebuah SMP Negeri. Meskipun Tati sudah tahu ibunya kerja apa dan di mana, tetapi kadang muncul rasa cemburu karena si Ibu lebih mementingkan keluarga pak Harjo daripada dirinya.
Belum genap dua bulan bekerja, bu Harjo pergi untuk selama-lamanya. Tidak hanya pak Harjo yang sedih, Siti pun sedih tak terkira.
“Aku minta kamu tetep kerja di sini, walaupun istriku telah tiada. Temani Simbah, ibuku. Aku yakin dia pasti senang dengan pelayananmu,” pinta pak Harjo kepada Siti di hari pemakaman sang istri.
“Ibuku sudah sepuh dan pikun, dia butuh teman dan melayani. Kamu tak usah khawatir, urusan sekolah Tati biar aku yang menanggung.”
Siti tak mampu menjawab selain bibirnya bergetar mengucap rasa syukur. Dia sudah pernah bercerita ke Tati bahwa pak Harjo masih punya ibu sepuh yang sudah lumpuh dan pikun. Si Mbak yang biasa menemani, pamit berhenti karena menikah.
“Bu, istri pak Harjo sudah meninggal. Mengapa Ibu masih kerja di sana?” Tati bertanya suatu hari ketika ibunya tengah siap-siap menuju rumah pak Harjo.
“Pak Harjo masih membutuhkan tenaga ibu.”
Jawaban Siti yang singkat membuat darah puber Tati menjadi penuh prasangka. Apalagi ketika ada beberapa teman yang meniupkan desas-desus bahwa ibunya akan menikah dengan pak Harjo. Puncaknya, ketika ada yang mengatakan bahwa mereka berdua kumpul kebo.
“Masih ada simbah di rumah itu, Nduk. Yang biasa merawat simbah pulang kampung karena menikah,” jawab Siti dengan nada pelan tanpa ekspresi.
“Ibu diminta pak Harjo untuk mengganti sementara,” lanjutnya sambil berharap Tati tidak bertanya lagi.
Tati diam. Kasak-kusuk tentang ibunya belum mampu ia lupakan. Ia berharap ada pekerjaan lain bagi ibunya asal tidak di rumah pak Harjo. Ada kekhawatiran cerita yang berembus itu nyata.
Bagi Siti belum saatnya kisah kelam masa lalu ia beberkan ke Tati. Dia menunggu hingga anak gadisnya itu mampu berpikir dewasa. Bahkan kadang ia berencana untuk tidak bercerita sama sekali. Ia sendiri belum yakin untuk tidak berduka lagi jika mengingat peristiwa itu.
Masih terngiang di telinga ketika Siti belia_seumuran Tati_akan dibawa juragan kacang ke kota untuk dijadikan istri muda. Tubuhnya gemetar kala mendengar itu. Tidak ada yang memeluknya untuk menguatkan karena ibunya sudah lama tiada. Sang juragan tak peduli Siti masih di bawah umur. Untuk menebus hutang-hutang ayahnya yang tanaman kacangnya selalu merugi, Siti harus mau dibawa ke kota demi mengganti modal awal pemberian sang juragan.
Detik-detik Siti menjerit digelandang menuju sebuah pikap, saat itulah pak Harjo lewat lalu berhenti. Atas pertolongan dan bantuan pak Harjo, Siti dan ayahnya selamat. Entah apa yang dibicarakan pak Harjo dengan juragan kacang, Siti tak sempat mendengar. Ia keburu lari masuk kamar sambil menangis. Sungguh peristiwa memilukan yang sulit ia lupakan.
*
Berita buruk tentang dirinya di luar memang santer terdengar. Namun, ia yakin kebenaran akan tampak, cepat atau lambat. Sampai kapan pun ia tak akan melupakan budi dan jasa keluarga pak Harjo. Untuk membalasnya ia hanya punya tenaga yang akan ia baktikan selama masih bisa.
Di kamar sederhana, ia pandangi punggung Tati, putrinya, yang tidur menghadap ke dinding. “Kelak kamu akan memahami andai di posisi seperti aku, Nduk. Sabarlah, ibumu tidak senista prasangka orang-orang,” Siti tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Kali ini ia kembali berurai air mata seakan itu tangisan terakhir karena ia tak ingin menyimpan sisa-sisa tangis yang ada walau setetes.
Wurry Srie, ibu rumah tangga tinggal di Jepara.
Tinggalkan Balasan