Kau yang selalu di hatiku
Kunikmati sore nan cerah dengan langit biru yang bersih dan indah, sebelum rona senja hadir menggantikan keelokannya. Tak ada mendung dan tak ada awan, seakan mematahkan pendapatmu yang pernah mengatakan bahwa langit akan lebih indah bila berhiaskan awan putih seputih kapas. Sesaat kemudian warna birunya yang teduh menjadi samar secara perlahan. Mungkin tahu diri garangnya mentari tak akan mampu ia hadapi maupun ia lawan.
Hamparan sawah yang memantulkan sinar mentari sore, membuat mata siapa pun menjadi silau oleh kilau cahayanya. Di saat-saat seperti itu selalu ada kebahagiaan yang muncul atas rasa syukur menerima kesempatan menikmati semburat panorama sore dengan sempurna.
Kau tentu ingat, di suatu sore seperti itu kita pernah berlarian di pematang sawah. Seharusnya kau tak perlu menyentuh tanganku andai anak sapi lucu itu tidak mengejarku. Aku panik lalu terpeleset hingga bergulingan ke bawah pematang yang licin. Kau ulurkan tangan kekarmu dan aku tersipu ketika sadar saat itulah kali pertama kulitmu menyentuh kulitku.
Kau yang kurindu
Entah siapa yang memulai lebih dulu untuk saling mengagumi. Kau yang pendiam dan selalu murung justru makin menarik perhatianku. Kemurunganmu menjadi teka-teki bagiku. Aku yang berkulit gelap, tidak cantik, tapi kata tetanggaku aku sedikit manis, telah membuat debar dalam dadamu mulai ditumbuhi ribuan tunas penuh bulir rindu. Itu katamu.
Tahukah kau? Setiap detik setiap saat kuingin mengirim kabar tentangku kepadamu. Seperti malam kemarin, ingin kukabarkan bahwa aku masih belum bisa tidur lelap. Bukan karena para nyamuk yang berkompetisi memamerkan kemerduan suaranya, tapi lagi-lagi karena bayangmu yang selalu hadir. Kucoba berkali-kali memejamkan mata sambil melangitkan sederet doa yang aku bisa. Namun dalam pelupuk mataku hanya ada sosokmu yang diam membisu.
Malam ini entah purnama ke berapa yang kutatap tanpa berkedip. Berharap kau hadir di sana sambil tersenyum tipis padaku setipis harapan dan nyaliku menjumpaimu. Cantiknya Rembulan yang berseri-seri membuat diriku terpaksa berselimut rasa malu, selalu menatapnya hanya karena menginginkan hadirmu, merindukan senyum manismu.
Masih di malam ini, sudah tak terhitung berapa ribu helai rambutku gugur seiring gugurnya angan-angan yang bersemayam di kepalaku. Angan-angan dan hasrat bersanding berdua denganmu lalu kita menapaki jalan berliku, penuh bebatuan bahkan licin menjatuhkan, demi menyongsong masa depan berharap tidak suram.
Kau yang berkumis tipis
Masih ingatkah kau, ketika bibirmu berkata bahwa kau punya cita-cita membawaku menyeberang laut biru? Demi kau pertemukan aku dengan insan keramat yang kau sebut ibu. Hatiku mengharu biru diikuti tetesan bening yang meluncur membasahi pipiku. Kau menatapku sembari tersenyum tipis dan kumis tipis itu pun ikut tersenyum mengikuti bibirmu.
Kau pasti tahu, kepadamu telah aku labuhkan gejolak panah asmara beliaku yang pertama. Senyummu yang terbilang mahal dan kabut di matamu yang mengandung misteri membuatku terusik untuk berusaha menguak misteri itu.
Aku hanya menduga ada yang kau sembunyikan dariku. Bila benar, tak apalah. Aku masih mampu bersabar untuk mencari cara bagaimana mengungkap rasa di dada ini sehalus mungkin, selembut mungkin. Namun kesabaran ini harus aku tebus dengan kesabaran demi kesabaran tiada henti.
Apakah kau lupa? Dulu, kau sebut aku sebagai gadis yang polos dan lugu. Tak mungkin sampai hati untuk menciderai kepolosan dan keluguan yang ada padaku, seperti yang kau katakan waktu itu. Waktu kita duduk berdua di sebuah kursi taman di dekat pantai dan kita duduk dengan sedikit berjarak. Ketika kau tanyakan mengapa berjarak, aku jawab karena sesungguhnya yang tidak berjarak hanyalah hati kita dan rasa yang kita punya. Cinta.
Kau yang bermata teduh
Kendati hati kita makin hari nyaris tanpa jarak satu inci pun, aku masih ragu untuk mengungkap rasa di dada karena selalu terhalang kabut dan mendung yang masih bersemayam di mata teduhmu. Tak ada nyali walau hanya untuk bertanya, ada apa denganmu sehingga kabut itu tak mau beranjak pergi.
Kau mungkin tidak tahu, di suatu siang yang terik kudapati kabar buruk yang membuat dadaku terbakar cemburu. Panasnya begitu membara sepanas besi yang tengah ditempa seorang tukang besi. Kabar itu mengatakan kau telah berpindah ke lain hati. Hati milik seorang sahabat karib yang kusangka teman sejati.
Api cemburu tak hanya membakar kalbu. Namun membakar pula akal sehatku. Merasa disia-siakan, merasa diduakan dan merasa sudah saatnya membuat sebuah pembalasan. Aksi membisu dan menolak bertemu adalah senjataku yang kuyakini cukup sebanding dengan luka akibat perbuatanmu.
Jiwaku meronta manakala semua kenangan yang ingin kulenyapkan justru semakin datang mendera. Tak hanya pagi, siang maupun malam. Bahkan saat terlelap pun kau hadir tanpa kuundang. Gaya bicaramu, cara berjalanmu dan sesekali senyum tipismu hadir utuh memenuhi sudut-sudut netraku.
Kau yang kubenci dan kurindu
Di suatu pagi kau datang mencariku dan aku masih menolak pertemuan itu. Kau tunggu aku di serambi depan yang kata ibuku sudah hampir satu jam. Aku bertahan untuk tidak menemuimu, tapi aku melihatmu tanpa kau tahu dan kau pun pulang. Ada sedikit lega dan puas telah membuatmu kecewa meski di lubuk hati terdalam aku sangat merindukanmu.
Sejak hari itu aku tidak pernah bertemu denganmu lagi. Ada sebongkah penyesalan atas diri ini yang terlalu egois ketika kabar tentang dirimu yang menduakanku, akhirnya aku tahu tak terbukti. Dan penyesalan terbesar dalam hidupku adalah aku belum sempat mengungkapkan kepadamu rasa bersalah atas prasangka burukku selama ini. Sedang dirimu kini telah meninggalkanku entah ke mana.
Hatiku seakan hancur berkeping ketika teka-teki roman mukamu yang terkesan dingin dan selalu murung itu kini terjawab. Kau memang tak pernah bercerita kepadaku dan aku yakin kau tak akan bercerita. Yang terjadi dalam keluargamu adalah ranah privasimu yang tak berhak aku campuri.
Sungguh berat beban batin yang harus kau pikul sendiri. Sekian lama kau pendam, kau rahasiakan hingga seolah-olah beban itu telah melenyapkan kegairahan hidupmu. Untuk tersenyum saja kau penuh perhitungan. Perlu atau tidak.
Kau yang kini jauh dariku entah di mana
Tak kusangka kau mengambil keputusan secepat itu. Tak kuduga kau rela meninggalkan aku dan orang yang kau panggil ayah untuk kembali menuju ibumu di seberang sana. Apakah kau ragu dengan cinta putihku? Atau kau terluka atas aksi pembalasanku? Ah, pertanyaan-pertanyaan itu kini menjadi sesuatu yang sama sekali tak berarti. Kau jawab pun tak kan pernah kudengar.
Kabar yang kutahu, kemelut yang menimpa orang tuamu tak bisa kau terima. Pun tak bisa kau maafkan. Andai bukan dia yang menjadi ibu sambungmu, mungkin hatimu masih bisa diajak kompromi. Rasa malu kepada teman-teman di sekolah dan rasa malu di lingkungan sekitar telah membulatkan tekatmu untuk meninggalkan desa kita tercinta.
Dia teman kita satu kelas yang kini mendampingi ayahmu sebagai ibu barumu. Kau lebih memilih untuk pergi dengan kebisuan yang tidak akan ada orang lain tahu selain dirimu sendiri. Hingga hari ini aku tidak tahu ragamu di mana, dengan siapa dan sedang apa.
Masih adakah setitik kesempatan buatku? Aku hanya ingin memberi tahu kepadamu bahwa aku sungguh-sungguh rindu ingin bertemu. Izinkanlah aku untuk mengungkapkan segala rasa yang pernah ada selama ini. Meski terlambat.
Mini bio :
Wurry Srie, ibu rumah tangga yang suka menulis. Menulis adalah salah satu sarana untuk menghibur hati.
Tinggalkan Balasan