Sebutlah Tomo, seorang ASN berpangkat rendah ingin kampanye meski akhirnya ia urungkan setelah sadar bahwa sebagai seorang aparatur harus netral. Di lain pihak, Tomo sering melihat kontradiksi banyak pejabat di semua level keukeuh berkampanye tanpa menanggalkan atribut keaparaturannya. Alih-alih menjaga netralitas, Tomo pun tetap sibuk berkampanye bagi paslon pilihan atasan.
Tomo merasa ekspresinya terpasung oleh pilihan bos yang tidak mampu ia tolak. Tomo berniat tidak memihak dan menyerahkan pilihan kepada individu-individu yang bernaung di bawah instansinya. Dilema Tomo dan kawan-kawan mendorongnya untuk bertindak golput, meskipun “pilihan tidak memilih” akan merugikan diri sendiri dan masa depan.
Tomo sesungguhnya paham, golput hanya memuaskan sesaat, apalagi setelah ia tahu jejak kelam paslon yang tidak ia pilih dan memenangkan konstelasi. Terbayang, ketika Tomo tidak memilih dan teman-temannya memilih seseorang yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Maka, Tomo dan teman-teman seperjuanganlah yang tersisa merenungi nasib bertahun-tahun sembari menanti keajaiban.
Sebagai ASN, Tomo semata-mata menjaga keberimbangan, di mata masyarakat ia tidak boleh memihak satu dengan lainnya. Sebenarnya Tomo pun paham, dalam penimbangan bisa terjadi berbagai kecurangan. Dengan militansi tinggi atas netralitas, senyampang dengan itu atasannya justru melakukan kecurangan melalui keberpihakan yang kentara.
Kondisi demikian akan membuat Tomo semakin putus asa. Akhirnya ia semakin apriori dalam partisipasi politik, walaupun pemilu membutuhkan suaranya untuk menentukan arah tujuan bernegara. Sebagai ASN, tentu ia berkewajiban menjaga timbangan tetap berbobot namun seimbang.
Dalam upayanya tetap netral, teman-temannya menganggap Tomo tidak punya pendirian, meskipun Tomo menolak keras anggapan seperti itu. Baginya, netralitas tidak seharusnya mudah menerima pengaruh dari siapapun. Tawaran sejumlah uang untuk mencoblos paslon tertentu kerap terjadi, namun ketika di bilik privat Tomo berencana tetap memilih sesuai hati nurani.
***
Kegalauan Tomo di hari tenang menjelang pencoblosan sangat beralasan. Dilema dan kepasrahan sedikit termotivasi setelah ia menonton film dokumenter yang mencerahkan. Setidaknya kenetralan Tomo dalam memutuskan pilihan menguat seiring pencerahan video berdurasi dua jam.
Tiga narasumber ahli tata negara dari berbagai perguruan tinggi memaparkan data dan fakta berbagai tindak kecurangan menjelang pemilu. Tomo perlu memeras otak ketika Uceng dan Feri memaparkan materi dalam skala layar besar berikut grafik-grafiknya. Beruntungnya, Tomo yang seorang ASN cukup terbiasa mengutip aturan perundangan di instansinya.
Rasa ketertarikan yang luar biasa mendorong Tomo untuk mengikuti perkuliahan singkat meskipun sesekali mengernyitkan dahi. Dari sanalah ia menyadari betapa kecurangan telah berlangsung masif untuk memuluskan paslon yang bersedia melanggengkan program rejim berkuasa. Tomo terhenyak bahwa cawe-cawe atasan selama ini semata-mata untuk meloloskan paslon titipan.
***
Peristiwa demi peristiwa menguatkan Tomo untuk tetap di jalur netralitas. Bila pada akhirnya masyarakat tahu akan pilihannya, Tomo meyakini sebagai konsekuensi logis kebebasan berpendapat dan berekspresi yang perlu dihormati. Satu hal yang Tomo pedomani, tidak memaksakan pilihan yang ia yakini kepada orang lain, kalaupun orang lain memiliki pilihannya sendiri.
Sebagai ASN, Tomo semestinya tidak boleh memihak kepada satu golongan, melainkan harus berdiri di semua golongan. Baginya yang paling penting negara tetap hadir memberikan hak suara kepadanya tanpa syarat. Ketika konstelasi telah terlaksana, apapun hasilnya dia wajib menerima dan memberikan kritik atas penyimpangan yang terjadi.
Tomo memandang langkah “golput” bukan sebuah larangan, namun sebaiknya tidak memilih sikap apatis. Tiga hari tenang ini, Tomo menganjurkan melakukan meditasi sembari mengingat rekam jejak serta janji yang terlontar dari para paslon. Beruntung Tomo mendapat informasi mencerahkan di hari kedua masa tenang, sehingga mampu memompa motivasi pilihan yang sedang meragu.
Mengantisipasi setiap kecurangan di masa tenang tetap berpeluang mengganggu netralitas pemilu. Senyapnya masa tenang sering kali justru membuat kita lengah karena menganggap seluruhnya pasti aman. Oknum-oknum yang tidak puas dengan kemunculan film dokumenter di atas, pasti akan bereaksi di ruang waktu sesempit apapun.
Netral tidak selalu identik dengan bermalas-malasan untuk berbuat sesuatu, Tomo selalu memunculkan optimisme di setiap kondisi semenekan apapun. Tomo meyakini bahwa usaha yang telah dan sedang tunaikan tidak mengkhianati hasil. Masih terngiang pesan guru spiritual Tomo, Man Jadda Wa Jadda, bahwa siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapat yang dia inginkan.
Selesai,-
1 Comment