Kisah

Kisah
Sumber Foto : pexels-nicolas-postiglioni-1927155

Kepada Ibuku (1)

Ibu
Usai penyapihanku melahirkan sedih dan pilu
Hari-hari ceria serasa meninggalkanku
Hadirnya adik menciptakan sekeranjang cemburu
Aku bukan lagi yang terkecil, bukan lagi si bungsu

Semua orang berjibaku dengan rutinitas harian
Ingin bercengkerama tiada teman
Aku diam ketika waktumu tersita untuk sang adik
Dia sosok mungil, manis dan cantik

Nyinyiran tetangga gencar terdengar
Katanya air mukaku gelap dan cemberut
Telinga kecilku nyaris terbakar
Mereka menyebut adikku terlalu imut

Lara hatiku berkepanjangan
Mengajakku lari dari kebiasaan
Merebut perhatianmu sekadar menghibur diri
Meski ragamu letih aku tak peduli

Di puncak heningnya malam aku pura-pura lapar
Sembari menggenapkan nyawa kau ambilkan aku makanan
Kau enyahkan rasa kantuk dengan senyum dan sabar
Aku tahu aksiku telah melukai perasaan

Ibu
Dalam sunyinya malam saat orang-orang terlelap
Ketika saudara saudariku dibuai mimpi
Deru mesin jahit bagaikan sedu sedan yang meratap
Kau lembur setumpuk jahitan demi kesejahteraan kami

Andai mampu, semua ingin kau selesaikan semalam
Karena esok hari sudah mengantre segudang pekerjaan
Beras yang akan ditanak masih berselimut sekam
Hanya sekejap, matamu kau pejamkan

Adikku pulas usai menyusu
Kau pun bergegas dengan sejumlah aktivitas
Kucuri pandang terengah helaan napasmu
Namun, lincah gerakmu seakan sendi-sendi tulangmu berpegas

Agar bulir padi menjadi beras
Kau relakan peluhmu mengalir deras
Membanjiri wajah putihmu
Membasahi kebaya merah jambumu

Cita-citamu luhur dan sederhana
Anakmu menjadi insan yang berguna untuk sesama
Banting tulang dan peras keringatmu sangatlah perih
Kau ajari kami berjuang tanpa pamrih

 

Kepada Ibuku (2)

Ibu
Bagiku tanganmu tangan terlembut meski penuh kapalan
Yang tak pernah mencubit atau memukul bila aku nakal
Tangan ternikmat kala menyiapkan makanan
Tangan terkuat ketika merengkuh kami dari sebuah ancaman

Kaki rampingmu menjadi saksi
Dari sekian juta langkahmu di sepanjang usia
Kuat bak dua batang besi
Menopang tubuh mungilmu nan perkasa

Keriput kulitmu seindah lukisan alam
Penyempurna auramu matangnya perempuan
Pelukis Agunglah yang kuasa menerjemahkan
Sampai kapan lukisan itu melekat di badan

Aku hanya bisa menangis dalam tawa
Kau mengenalku sebagai sosok lain
Amnesia telah lama memelukmu mesra
Di ujung sejumlah pertarungan hidup lahir dan batin

Jika aku mampu menggendongmu keliling dunia
Mustahil terbalas besar dan dalamnya kasihmu
Tiada ibarat yang bisa kuambil sebagai metafora
Betapa sakitnya saat kau patahkan puluhan tulang belulangmu demi hadirku

Ibu
Tatapanmu sendu dan sayu di sore itu
Ada bulir bening di keningmu nan keriput
Bibirku kelu, sejuta tanya, sejuta rasa menjadi satu
Akankah hadir utusan penjemput?

Lemah, lunglai, pucat dan tergolek diam
Tak henti bibirmu bergetar melafal tahlil
Tanganmu yang lembut masih aku genggam
Seakan tahu dirimu sudah siap untuk dipanggil

Meski terbata, hanya Rabbmu yang kau sebut
Pelan engkau pun pergi dengan damai dan tenang
Sang utusan telah memelukmu dengan lemah lembut
Senyummu tersungging, kesan siapa pun yang memandang

Bendungan air mataku jebol tak tertahankan
Membanjiri dada hingga ujung kakimu yang sedingin salju
Segala doa tak henti kulangitkan
Sebagai temanmu berkendara menuju Rabbmu

Sore itu, terputuslah semua amalmu
Kecuali darah dagingmu yang saleh dan salehah
Yang mendoakan dan melanjutkan misi muliamu
Kepadamu, Ibu, alfatihah