BUMN & Koperasi Manifestasi Ekonomi Kerakyatan

BUMN & Koperasi Manifestasi Ekonomi Kerakyatan
Sumber Foto : Pexels-terje-sollie-320617

Press Release

 

Jakarta, 5 Februari 2024. Pernyataan saya mengenai ide perubahan dari BUMN basis perseroan menjadi basis koperasi menuai kontroversi dan diplintir oleh Menteri BUMN, Erick Tohir. Pernyataan yang saya sampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Tim Pemenangan Nasional AMIN di Rumah Perubahan di jalan Brawijaya X No. 46, Jakarta pada tanggal 31 Januari 2024 itu dimaknai oleh Menteri Erick Tohir secara serampangan dengan mengatakan sebagai pembubaran BUMN. Pernyataan Erick Tohir itu jelas tuna makna, sebab apa yang saya katakan adalah ide mengubah atau mengkonversi BUMN menjadi badan hukum koperasi, bukan membubarkan BUMN. Dia tidak memahami substansi yang saya katakan.

BUMN atau Badan Usaha Milik Rakyat adalah penamaan (nomenklatur) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 9 dikatakan “BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Ini artinya bahwa seluruh BUMN itu hanya berbadan hukum Perseroan dan Perusahaan Umum. Dengan pasal tersebut, berarti seluruh BUMN yang hanya merupakan nomenklatur tersebut konsekwensinya menjadi hanya berbentuk badan hukum Perseroan dan Perum. Koperasi sebagai badan hukum persona ficta yang syah dan diakui oleh negara tidak diberikan peluang untuk menjadi badan hukum BUMN.

Padahal, sesuai dengan Konstitusi, sebagaimana disebut di dalam pasal 33 UUD 1945 dikandung penjelasan secara gamblang bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi itu ialah koperasi. Artinya koperasi sebagai badan hukum persona ficta mengalami diskriminasi dan ini bertentangan dengan pasal 28 D UUD 1945. Konsekwensinya adalah, koperasi, sebagai model kepemilikan masyarakat yang demokratis dan terbuka, yang memungkinkan seluruh warga negara Indonesia dapat turut memiliki dan berpartisipasi aktif dalam proses kepemilikan asset nasional BUMN menjadi kehilangan kesempatanya.

Penganaktirian badan hukum koperasi terhadap kepemilikan asset negara (BUMN) tersebut menyebabkan rakyat Indonesia secara keseluruhan kehilangan kendali atau kontrol terhadap asset BUMN. Rakyat menjadi kehilangan kesempatan untuk dapat turut menikmati hasil-hasil ekonomi secara luas yang diperoleh oleh BUMN.

Tak hanya itu, secara berulang (redundunt), menurut Pasal 1 Ayat (2), Pasal 2 poin b, Pasal 4, dan Pasal 12 UU BUMN disebut bertujuan mengejar keuntungan (profit oriented). Akibatnya, seluruh BUMN tidak berbeda lagi dengan usaha swasta, korporasi pengejar keuntungan. BUMN menjadi kehilangan fungsinya sebagai layanan publik (public servise obligation) dan rakyat yang menurut UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan kedaulatan (kekuasaan) berada di tangan rakyat menjadi kehilangan maknanya.

Dalam posisi ini, pada akhirnya rakyat hanya diposisikan sebagai objek eksploitasi bisnis semata. Pasal 33 UUD 1945 yang menganut sistem demokrasi ekonomi menjadi kehilangan artinya. Demokrasi ekonomi, sistem ekonomi konstitusi kita yang memungkinkan dari seluruh rakyat untuk mendapatkan kesempatan berpartisipasi aktif dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi melalui BUMN menjadi terabaikan.

Dalam prakteknya akhirnya dapat kita lihat, BUMN itu akhirnya lepas dari kendali masyarakat dan rakyat hanya jadi obyek komersialisasi dari usaha usaha BUMN. BUMN itu akhirnya banyak yang justru bertentangan dengan tujuan pencapaian kesejahteraan rakyat. Sebut saja misalnya dalam kasus yang konflik agraria misalnya, menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), justru konflik tanah antara rakyat dan BUMN itu menjadi yang tertinggi di Indonesia.

Dikarenakan rakyat kehilangan kendali atas BUMN tersebut maka banyak BUMN yang dikelola secara ugal-ugalan. Sebut misalnya untuk proses pengangkatan Komisaris dan Direksi yang kurang dalam pertimbangkan aspek profesionalitas namun lebih kepada kedekatan politik, lalu soal penggajian dan pemberian bonus yang tidak memberikan rasa keadilan bagi pekerja dengan jabatan rendah di BUMN. Bahkan banyak yang gunakan sistem alih daya (outsouching) yang jauh dari prinsip kemanusiaan.

Sebut saja misalnya Bank BRI, bank ini menerapkan sistem rasio gaji jabatan direktur utama dengan gaji karyawanya terendah seperti Office Boy dan Sekuriti hingga 2.200 kali lipat. Ini jelas tidak hanya menghilangkan rasa keadilan, namun juga telah turut menciptakan kesenjangan ekonomi bagi warga Indonesia.

Berbeda misalnya jika gunakan sistem koperasi, contohnya adalah Koperasi Mondragon di negara Spanyol yang ukuran bisnisnya kurang lebih sama dengan Bank BRI. Di perusahaan ini sistem penggajian ditetapkan hanya 6 kali lipatnya untuk jabatan direktur utama dibandingkan dengan karyawanya dengan jabatan terendah. Ini karena sistem demokrasi koperasi bekerja dan setiap pekerja anggotanya memiliki hak suara yang sama dalam mengambil keputusan di dalam perusahaan.

Dalam konteks sektor, koperasi juga ternyata di seluruh dunia mampu membuktikan bahwa koperasi dapat berjalan di sektor layanan-layanan publik penting yang dikerjakan BUMN. Sebut misalnya untuk layanan rumah sakit. Jaringan rumah sakit terbesar di kota Washington Amerika Serikat adalah koperasi. Namanya Koperasi Group Health Cooperative (GHC). Di negara ini koperasi juga mampu layani secara luas layanan listrik di hampir seluruh pelosok desa di negara bagian Amerika Serikat. Namanya National Rural Elextricity Cooperative Association (NRECA). Di banyak negara, seperti Brazil, negara-negara Skandinavia, listrik dan rumah sakit banyak yang diselenggarakan melalui koperasi.

Pada tanggal 25 Januari 2024 lalu, International Cooperative Alliance (ICA) bekerjasama dengan lembaga riset Eruricse baru saja merilis 300 koperasi besar dunia. Koperasi di negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura misalnya telah menyumbang menjadi bagian dari daftar 300 koperasi dunia tersebut. Malaysia menyumbang Koperasi Bank Kerakyatan dan Singapura menyumbang perusahaan ritel raksasa Koperasi NTUC Fair Price dan Koperasi Asuransi NTUC Income. Sayang, tidak satupun koperasi di Indonesia yang masuk daftar 300 koperasi besar tersebut.

Kenapa koperasi di Indonesia, di negara yang katanya mengaku sebagai negara demokratis dan penuh gotong royong ini tidak berkembang dan di negara lain koperasi justru memiliki peranan? Salah satunya adalah karena aset produktif negara, usaha-usaha BUMN itu bukanya dikembangkan dengan kepemilikan rakyat secara langsung melalui badan hukum koperasi, namun lebih memilih badan hukum persero kapitalis yang jelas tujuanya hanya pentingkan keuntungan, bukan kesejahteraan dan partisipasi aktif rakyat dalam bidang ekonomi.

Menteri Erick Tohir, dalam pernyataanya sebagai Menteri BUMN tahun 2020 mengatakan bahwa mungkin tahun 2045 sudah tidak diperlukan lagi BUMN (https://www.liputan6.com/bisnis/read/4294959/erick-thohir-mungkin-bumn-tak-diperlukan-lagi-di-2045). Lalu dia sebagai menteri BUMN membuat kebijakan target bubarkan BUMN setiap tahun dari sebanyak 191 perusahaan saat dia menjabat dan saat ini tinggal 91 perusahaan dan bahkan dirancang tahun ini tinggal 41 perusahaan. Lalu dia juga yang mendorong banyak BUMN hari ini yang terjerat beban utang tinggi dan terancam gagal bayar. Ini artinya justru dia yang secara riil telah bubarkan BUMN.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diharapkan memberi kontribusi positif pada keuangan negara justru banyak mengeruk uang negara dan menjadi beban fiskal. Pada tahun tutup buku 2021, dari 91 BUMN Indonesia yang terdiri dari 12 Perusahaan Umum (Perum) dan 79 Perseroan, laba yang disetor kepada negara dari sumber kekayaan negara dipisah (KND) hanya sebesar Rp 37,1 triliun. Padahal, subsidi yang dikucurkan pemerintah untuk BUMN jumlahnya sangat besar. Misalnya, subsidi bunga untuk perbankan pada 2021 sebesar Rp 30,1 triliun.

Hal yang lebih memprihatinkan, BUMN yang diandalkan memberi setoran sangat besar kepada negara adalah dari sektor perbankan. Padahal, BUMN perbankan justru paling banyak memperoleh subsidi dan bentuk insentif lainya berupa modal penyertaan, dana penempatan, dana restrukturisasi, dan lain lain.

Padahal, BUMN perbankan adalah perusahaan go public. Ia seharusnya mencari sumber tambahan modal dari pasar modal bukan dari pemerintah. Selain memperlemah moral kerja bankir juga merusak daya saing perbankan kita dan yang pasti menambah beban fiskal pemerintah yang terus-menerus mengalami defisit neraca pembayaran.

Dari 91 BUMN yang merugi ternyata 41 perusahaan. Bahkan, banyak di antara BUMN selebihnya terjerat utang dan beban bunga cukup besar. Pada tahun 2021 saja, secara keseluruhan BUMN butuh bantuan likuiditas yang menyedot penambahan modal dari pemerintah sebesar 79 triliun rupiah. Misalnya, PT Garuda Indonesia berada dalam posisi merugi dan mesti ditopang keuangan negara untuk melunasi utang yang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 8,1 triliun dan kerugian sebesar Rp 38,7 triliun. Belum lagi PT Jiwasraya yang merugi dan harus menyedot uang pemerintah untuk setoran modal baru hingga Rp 19 triliun.

Beban utang BUMN secara keseluruhan sebesar Rp 7.161 triliun dari nilai aset keseluruhan Rp 10.017 triliun. Dengan kata lain, keuangan BUMN banyak yang disedot untuk membayar bunga dari para kreditor. Keuntungan bersih sebelum pajak dan bunga (EBIT) sebesar Rp 317,1 triliun. Untuk membayar bunganya saja sebesar Rp 89,3 triliun atau sebesar 28 persen. Hal tersebut jelas menandakan rentabilitas ekonomi perusahaan yang buruk. Ada 34 laporan keuangan perusahaan BUMN yang tidak teraudit (unaudited). Artinya, validitas laporan keuangan BUMN tersebut patut diragukan.

Pada era ekonomi digital, perusahaan BUMN yang mengelola dana ribuan triliun rupiah namun laporan keuangannya tidak audited tentu sangat memprihatinkan. Hal yang juga mengalami kemunduran cukup signifikan dari kinerja Kementerian BUMN sebagai institusi pembina perusahaan BUMN adalah tidak ditampilkanya laporan keuangan konsolidasi BUMN yang dahulu dapat diakses oleh publik. Ini juga menandakan transparansi BUMN ke hadapan publik makin menurun.

Bersama dengan ini, jika Pak Menteri BUMN Erick Tohir berkenan, dengan tangan terbuka saya siap berdebat terbuka untuk membahas persoalan serius ini, soal bagaimana membangun ekonomi rakyat melalui kooperativisasi BUMN dengan argumentasi ilmiah. Soal hajat hidup orang banyak yang jadi tujuan dari politik. Jangan membuat tuduhan yang salah dan memelintir isu hanya untuk kepentingan politik praktis. ***

 

Suroto

CEO Inkur/Ketua Akses