“Malam sudah larut dan sepi. Tidur, yuk!” Ajak Ibu sambil membelai rambut Kinan yang hitam, lurus, dan panjang. Dengan penuh kelembutan Ibu melakukan itu hampir tiap malam.
Awalnya, Kinan tak bereaksi. Pandangannya masih lurus ke jendela kamar. Badannya menjadi kurus karena nafsu makannya nyaris hilang akhir-akhir ini. Pipinya lebih tirus dari sebelumnya. Gerakan tubuhnya lamban dan terkesan lemas karena asupan makannya yang berkurang.
Ibu dan Bapaknya telah melakukan berbagai upaya, tetapi belum ada tanda-tanda membuahkan hasil. Meski begitu, Kinan hanya mampu berdiam, dan jarang mau menjawab setiap pertanyaan mereka.
“Ibu tutup tirainya, ya?” Kinan menggeleng lemah sebagai jawaban.
Ada kesedihan yang mendalam tersembunyi di dada Ibunya. Sampai kapan Kinan seperti ini, selalu menjadi pikiran yang makin hari makin membuatnya prihatin.
Kinan nyaris tak pernah tidur. Sorot matanya sayu. Dia hanya akan mengantuk ketika usai minum obat dari dokter yang menanganinya. Dia depresi berat, mimpi hari bahagianya pupus sudah.
Belum bisa menerima kenyataan pahit, dia hanya diam dan selalu diam seperti patung.
Kinan masih berdebar-debar setiap kali mendengar alunan seruling itu. Suara seruling yang mendayu-dayu, sendu mengharu biru dan sesekali terdengar lirih penuh rayu.
Seolah terhipnotis, Kinan makin hari makin terpesona dengan kemerduan suara itu. Di jam yang sama setiap hari yaitu di kala orang-orang sudah terlelap terbuai mimpi.
Sudah hampir satu bulan sejak keluarga Kinan pindah rumah, peniup seruling itu menjadi sosok misterius bagi Kinan. Meski terdengar lirih, tetapi cukup jelas dendangan lagu itu. Selalu mengalun di saat sepi seakan-akan disengaja agar mampu dinikmati pendengarnya tanpa kebisingan yang mengganggu.
Peniup seruling yang penuh misteri itu makin mengingatkan Kinan akan kekasih hatinya. Mengoyak lagi perasaannya yang mulai tenang dan tegar dalam melewati ujian sejak beberapa bulan yang lalu.
Mungkin hanya Kinan yang mendengar atau justru Kinan berharap hanya dia saja yang tahu itu lagu siapa untuk siapa. Dia hafal, Andra sering menyanyikan lagu tersebut untuknya. Oleh karena itu, saat seruling mengalun dengan lagu yang sama setiap malam, serasa mengajak Kinan membuka kembali lukisan indah di memori yang semula mati-matian ingin dihapusnya.
Lambat laun Kinan merasa penasaran. Hal ini membuatnya diam-diam mencari sumber suara, tetapi sia-sia. Selain belum banyak yang dia ketahui karena sebagai warga baru di desa itu, Kinan dan keluarganya belum terlalu akrab dengan tetangga sekitar.
Bapak dan Ibu Kinan sengaja pindah rumah ke daerah lain demi perkembangan kejiwaan Kinan yang cukup tergoncang. Mereka tak ingin buah hati semata wayangnya larut dalam kesedihan. Hari bahagia yang dinanti bersama-sama berubah menjadi hari duka yang tak mudah dilupakan begitu saja.
Peniup seruling misterius itu seakan tahu kapan Kinan sendirian.
“Apa maksud dan tujuannya dengan mendendangkan lagu yang sama berulang-ulang?” Pertanyaan itu belum terjawab dan membuat Kinan semakin penasaran.
Sengaja atau tidak, sosok misterius peniup seruling terang-terangan telah mengaduk-aduk perasaan perawan itu. Kinan tidak ingin bermain teka-teki terlalu lama. Dia bertekad akan mencari tahu dari mana sumber suara. Dia ingin ketemu orang yang telah lancang mengganggu ketenangannya meski sejatinya dia juga menikmati apa yang didengarnya.
Ibarat sebuah lagu wajib Kinan dan Andra, Kinan hafal betul notasi dan cengkok lagu yang dinyanyikan peniup seruling tak dikenal tersebut. Saking hafalnya hingga membuat hatinya bimbang dan ragu.
“Mungkinkah itu Andra ataukah hanya mimpi? Siapapun kamu, aku harus ketemu,” bisik Kinan dalam hati.
Andra, kekasih Kinan telah pergi untuk selamanya. Kanker kelenjar getah bening membawa kekasih hati kembali kepada Sang Pencipta seminggu sebelum janji suci nan sakral terikrarkan.
Sementara malam itu di sudut lain, lampu rumah besar di ujung jalan utama desa itu masih terang benderang. Seorang Ibu dan anak masih ngobrol santai tetapi serius.
“Sudahlah, Nak. Kamu jangan terlibat terlalu dalam. Kasihan gadis itu,” ujar Ibu kepada anaknya, seorang lelaki muda, tampan dan calon dokter.
“Aku hanya bisa membantu semampuku, Ma. Tak mungkin aku mengabaikan pesan terakhirnya sebagai wujud aku sangat menyayangi saudaraku,” jawab pemuda itu santun.
“Iya, Mama tahu dan ini tidak boleh berlarut-larut. Kau harus segera kembali ke kampus. Sebagai penerus cita-cita Papamu, perjalananmu masih panjang, Nak.”
“Baiklah, Ma,” jawab pemuda itu sambil tersenyum.
Bak kecanduan, Kinan tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa alunan seruling itu. Dia merasa terhibur, dia menikmati meski sosok Andra sudah tidak di sisinya lagi. Jika terlambat beberapa menit tak terdengar, dia merasa takut kehilangan. Dia sudah tak peduli siapa peniupnya. Kinan hanya ingin suara seruling itu harus mengalun setiap malam. Untuk dia.
Ketika seruling itu masih mengalun merdu, ada binar ceria di matanya yang sayu. Ada seraut cahaya di wajahnya yang menampakkan sedikit rona mengandung harapan. Suara seruling itu merupakan hiburan yang sangat mahal baginya sehingga membuatnya enggan tidur agar masih bisa menikmati alunannya.
Seperti beberapa malam yang lalu, dari ekspresi wajahnya, ia tampak sangat menikmati setiap malam di jam yang sama. Namun, mendung di matanya belum bisa ia sembunyikan. Mendung tebal yang entah kapan jatuhnya menjadi hujan deras.
Seolah ada yang ditunggu, Kinan tak beringsut dari tempat duduknya. Masih tetap duduk terpaku di tepi kasur pandangannya lurus ke jendela kamar, sesekali senyum tipis tersungging di bibirnya nan kering dan pecah-pecah. Sepucuk surat bersampul biru masih dipegangnya.
Kinan…
Aku Andri saudara kembar Andra. Kami berpisah sejak bayi karena aku diadopsi tanteku dan Andra diasuh nenek. Ibu meninggal usai melahirkan kami.
Akulah yang beberapa malam telah meniup seruling dengan lagu yang sama dan di waktu yang sama.
Kinan…
Mungkin mulai malam ini kau tak bisa mendengar alunan seruling lagi. Aku harus kembali ke kampus. Izinkan aku ya, bila suatu hari aku meniup seruling lagi untukmu.
Kinan…
Maafkan aku yang hanya bisa melakukan seperti permintaan saudaraku sebelum ia pergi. Dia sangat menyayangimu melebihi dirinya sendiri.
Yang juga menyayangimu,
Andri.
Tinggalkan Balasan