Dari sekian banyak pekerjaan yang itu-itu saja, membosankan. Aku pikir pekerjaan paling merepotkan dan justru sangat mengeruk tenaga adalah selain rindu, bisa jadi jatuh cinta sendirian, sakit begitu bodoh, remuk kian betah, konyol memeluk peluh.
Mengerikan, layaknya karat menjarah besi, seumpama infeksi merawat luka. Tapi ada yang lebih dari itu.
Dalam suasana santai semacam fiksi, melepas segala penat dan bimbang dari gejolak seorang pemuda desa yang merantau ke kota. Di sebuah kedai kopi sederhana, pemuda tersebut seperti biasanya bangun pagi pukul sebelas, kesiangan.
Tapi tetap sebagai pagi baginya, menuju kedai, memesan secangkir kopi dan segelas air mineral seperti biasanya, walau setiap hari dengan rutinitas serupa. Ia tampil mapan, walau segalanya serba utang. Tanpa memedulikan catatan sangkutan, ia duduk menikmati suasana sebagaimana sebelum-sebelumnya, santai sekali.
***
Tak banyak menghiraukan keadaan, dalam benak lelaki itu sudah tentu pengunjung kedai tempatnya mangkal adalah rekan-rekannya saja, setidaknya mereka sudah mengenalnya.
Namun, tiba-tiba ia bangkit menambah segelas air mineral. Akibat belum sarapan dan langsung minum kopi, ia harus menetralisir caffein dengan banyak minum air mineral.
Sebelum berucap memesan, ia menoleh ke kanan. Tatapannya dalam penuh makna, ia bungkam terbata-bata berucap, “Ta….aaa…mbah air mineral dong” pintanya pada Marta, barista di kedai kopi tempat andalannya.
Mata pemuda itu tertuju pada sebuah kaca mata polos, transparan, melekat erat tertopang melalui hidung mancung di wajah perempuan itu. Pemuda itu memperhatikan sosok dengan mata jernih meski penuh keraguan.
Kedua bola matanya tidak mungkin minus, kurang lebih hanya sebagai fashion yang menghambat debu agar tak mengurangi jumlah bulu mata, untuk menyempurnakan kecantikannya.
***
Agar tak ketahuan, lelaki itu duduk kembali berusaha mempertahankan psikologinya untuk bisa tetap terlihat santai, ia tampil seolah tak terjadi apa-apa di balik gelora jiwa mudanya yang menggebu-gebu.
Ia sungguh kagum, benar-benar terbawa aliran deras sungai asmara, ia jatuh cinta seketika. Ingin sekali berkenalan, tapi ia tak tahu lewat mana, dengan cara apa.
Niatnya urung. Namun, setiap kali ia menoleh, pelan-pelan mengamati perempuan dengan laptop terbuka di hadapannya, menatap layar dengan teduh, senyum simpul sesekali. Tentunya membuat lelaki itu semakin terperangah hilang kendali.
Tak perlu menanyakan nama, alamat dan tanggal lahir. Bagi lelaki itu, menatap manifestasi keindahan Tuhan melalui perempuan itu saja, cukup.
Lelaki itu salah tingkah, grogi dan mengalami segala macam peristiwa psikologi yang kacau, ia kehilangan kuasa atas dirinya. Satu-satunya jalan, ia harus pulang lebih awal. Tapi bila ia benar-benar harus pulang hanya karena dikuasai emosional berlebihan, maka momentum langka semacam ini sia-sia.
Dilema mulai mendekati kepalanya, tapi ia juga senang dan merasa tenang bisa melihat sosok seperti perempuan itu, dalam satu naungan atap kedai kopi tempatnya menghabiskan banyak waktu.
***
Di pantai, senja melipat lengan, di gunung burung-burung kembali ke sarang. Tapi lelaki itu bingung seakan lupa rumah, ia tersihir dan merasa tersesat tak tahu mau ke mana. Ia melangkahkan kaki ke depan, tak terarah. Baginya lebih mulia mati karena cinta, dari pada mati kelaparan karena miskin.
Dalam perjalanan pemuda itu terus menulis acak:
Aku beriman pada Tuhan melalui kecantikan ciptaan-Nya
Aku takluk pada godaan dunia yang bangsat
Aku mati tanpa kata-kata seandainya pohon terakhir ditebang
Aku gila….!
Sepotong sajak ternyata dibuatnya, tapi ia urung mengirim atau memberikan kepada perempuan didambanya. Ia lalu menulis lagi:
Jika mencintai adalah ikhlas, lalu untuk apa cemburu?
Untuk apa sedih?
Untuk apa bahagia?
Untuk apa kau dicipta?
Walau berpikir kesasar dan tak jelas arah. Ia tiba dengan selamat di tempat kediamannya. Membuka pintu dan masuk kamar, ia tak ingin tidur hanya sekedar rebahan. Cekatan membuka android, menggeledah beranda lalu menelusuri akun perempuan yang bersarang dalam kepalanya baru-baru ini.
Mencari dan terus berupaya. Ia manfaatkan segala potensi. Tak ingin berhenti sebelum menemukan, giat total dari setiap perjuangan lelaki itu, akhirnya ia menemukan empat kata, panjang.
***
Sebuah nama yang lumayan indah dibaca, ia berpikir untuk mengeja nama itu, tapi ia bingung memulai. Akhirnya ia mengambil kesimpulan dari nama tersebut dengan menyingkat, Rika.
Mengumpulkan segala keberanian, ia memulai chat ke Rika. Mulai berkomunikasi dengan harmonis, ia berharap chat-nya akan terus demikian, baik-baik saja dan membuatnya bahagia.
Selama beberapa hari komunikasinya berjalan lancar, hingga ia mulai mengungkit kepribadian, dengan menerjang tembok wibawa, ia meluangkan perasaannya. “Aku jatuh cinta padamu, Rika” tulisnya singkat. Lalu ia kirim lagi satu kata, “Jujur!” tambahnya tegas.
Rika menampik. Hanya menjawab singkat, “Wajar” katanya.
Hal tak terduga saat lelaki itu mendesak Rika untuk menjawab serius atas permintaan jatuh cintanya agar diterima, Rika justru semakin santai. “Aku sudah menganggap kau sebagai kakak sendiri, apalagi aku tak memiliki saudara laki-laki” jawabnya lugas.
Membuat lelaki itu kehilangan daya, ia hancur, harapnya pupus. Ia juga tak mungkin memaksakan kehendak Tika, sebagaimana perasaan merupakan hak, sementara cinta adalah kebebasan.
Sehingga lelaki itu merasakan sakit yang lebih dar sekedar mencintai sendirian, jiwanya terkuras melampaui kerinduan mendalam sang pujangga. Lelaki terus berusaha membuat Rika membalas cintanya, atau paling tidak menerima saja.
Tanpa menghiraukan yang lain, ia secara tidak langsung mengutuk segala saudara sebagai pembenaran atas penolakan cinta.
Tinggalkan Balasan