Riuh di media massa memberitakan rencana pemerintah menggelontorkan 347 milyar untuk membeli rice cooker. Ribuan bahkan jutaan alat berbahan bakar listrik tersebut akan mendatangi rumah-rumah warga secara gratis alias free. Ada yang setuju, namun justru banyak netijen meminta beras sebagai bantuan. Lah!!! Lalu bantuan penanak beras listrik itu menguntungkan siapa?
Sudah bukan rahasia lagi bahwa ketersediaan lahan pertanian kita makin hari makin menyempit. Efek pembangunan yang berorientasi fisik semata mendorong bangunan gedung menjulang melebar tersebar kemana-mana. Pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak sepadan dengan bahan makan yang bumi hasilkan, mendorong impor beras kian meningkat secara masif. Kesimpulan sementara, sebenarnya masyarakat lebih membutuhkan beras ketimbang rice cooker.
Di lain sisi, sebenarnya tungku, kompor minyak, kompor gas juga menghasilkan asap jelaga bila beroperasi. Namun, sebanyak-banyak jelaga rumah tangga yang terbang ke udara, polusinya tidak akan setimpal dengan jelaga kompor raksasa milik PLTU. Ironinya, polusi kompor raksasa berbahan bakar batu bara tersebut justru mengirim jelaga hingga ribuan kilometer ke permukiman warga.
Dari narasi di atas, bantuan rice cooker terkesan sekedar membuang uang yang tak tepat guna. Penggelontoran alat memasak bertenaga listrik, tidak bisa kita nafikan dari polusi udara yang sedang mengotori langit negri ini. Pada titik itu, ratusan milyar uang beredarpun tetap pesimis mampu memulihkan udara dari emisi CO2 yang masif.
***
Berdasar Data Global Energy Monitor, sepanjang 2022 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu bara seluruh dunia menghasilkan emisi karbondiosida (CO2) berkisar 9,88 miliar ton. Tiongkok menjadi negara penghasil emisi terbesar, yakni sekitar 5 miliar ton CO2. Sementara, Indonesia berada pada peringkat 6 global sejajar dengan Afrika Selatan, yaitu sekitar 214 juta ton CO2.
Pengamatan saya, sumber emisi PLTU menyumbang setengah dari sumbangan emisi transportasi, pembakaran sampah, asap rokok dan pembakaran hutan. Masyarakat merasa unsur-unsur tersebut menjadi penyumbang utama pencemaran lingkungan. Sehingga, kesimpulannya keberadaan PLTU batu bara menjadi sumber dari segala sumber pencemaran lingkungan.
Ribuan bahkan jutaan rice cooker berbahan bakar listrik tersebut akan mendatangi rumah-rumah warga secara gratis. Seperti kita ketahui, jutaan alat tungku otomatis tersebut pasti bergantung daya listrik, sementara listrik berasal dari pembangkit berbahan bakar batu bara. Alih-alih rice cooker di rumah, “mungkin” alat pemasak gratis tersebut juga terbuat dari bahan baku yang sama.
Mika plastik, aluminium, mur-baut, kabel, tembaga, dan kaca cukup mendominasi bahan baku rice cooker. Ironi, dan hal ini penting untuk kalian ketahui, bahwa seluruh komponen tersebut tenaga penggerak mesin pengolahan juga menggunakan batu bara. Sebentuk kebutuhan khusus yang sudah lawas menjadi kebutuhan umum.
Semakin padat penduduk pada kawasan permukiman, maka semakin banyak pula konsumsi energi bahan bakar dan listrik pada penggunaan rumah tangga (Wiratama, 2016). Pemanfaatan bahan bakar dan listrik secara berlebihan dapat menyumbang jejak emisi tinggi. Sektor rumah tangga di Indonesia menyumbang 3,8% emisi CO2 langsung dan jauh di bawah sumber emisi lainnya.
***
Sekarang kita sudah paham untuk memulihkan langit kembali pada kondisi bebas emisi sangat tidak mudah. Kita pun tahu, pemerintah melakukan impor beras mengindikasikan ketidakcukupan beras dalam negeri. Lalu, bagaimana arah penggelontoran 347 milyar agar rakyat bisa tetap makan nasi tanpa mengucek mata akibat emisi udara.
Kondisi udara buruk menurunkan tingkat kesehatan hingga produktivitas ekonomi. Udara buruk memiliki efek jangka panjang, menengah, dan pendek. Efek langsung jangka pendek dapat muncul, seperti bersin, batuk, sesak nafas, sakit kepala, iritasi mata, dan pusing.
Impor beras sebagai upaya pemerintah untuk mengatasi kekurangan cadangan beras nasional. Apabila kekurangan tersebut tidak terpenuhi, rakyat akan mengalami kesulitan mendapatkan beras. Kesulitan tersebut berpotensi memicu spekulan-spekulan beras menaikkan harga beras, sehingga berdampak pada harga beras di konsumen.
Mungkin belum terlambat, andai saja tiga ratus milyar untuk pembuatan bahan bakar bebas emisi, bagaimana menurut anda? Saat ini teknologi sudah sangat maju, ahli dan pakar juga ada dimana-mana, tinggal membutuhkan political will Pemerintah saja. Contohlah Jepang, mereka tetap mampu mengembangkan industri dengan mempertahankan kebersihan langit.
Di tengah keterbatasan lahan pertanian, Jepang juga mampu mengembangkan tanam-menanam di ruangan terbatas dan sempit, namanya hidroponik. Metode ini sudah mulai berkembang di Indonesia, sebagai upaya kita mengimbangi kebutuhan bahan pangan dengan lahan pertanian yang semakin menyempit. Hidroponik adalah teknologi bercocok tanam menggunakan media air.
Sembari menertibkan amdal kepada setiap PLTU batu bara yang sudah berdiri, secara radikal Pemerintah harus berani menghentikan permohonan pembangkit listrik baru. Salah satu syarat yang harus terpenuhi pembangkit baru, adalah dengan mewajibkan bahan bakar bebas emisi dan terbarukan. Atau paling radikal, memindahkan PLTU penyebar emisi dengan menyewa lahan kosong di luar negeri. Hehehe.
1 Comment