Pasca Pandemi Covid-19 pembelajaran dalam jaringan (daring) menjadi tren baru dunia pendidikan. Proses belajar yang semula konvensional, bertransformasi melalui berbagai platform digital. Kesuksesan pembelajaran daring ditentukan dari strategi pembelajaran mandiri melalui berbagai sumber belajar yang tersedia. Tidak sulit mendapatkan konten digital sebagai sumber belajar, namun dalam implementasinya, masih banyak pelanggaran penggunaan lisensi ataupun hak atas kekayaan intelektual (HAKI) seorang kreator digital.
Secara bentuk, konten digital (red: objek belajar) dapat berupa teks, video, gambar, audio, atau kombinasinya yang disajikan melalui media internet, dimana dalam pembelajaran disebut sebagai sumber belajar. Opini ini bertujuan memberikan referensi terkait etika dalam penyaduran konten digital sebagai sumber belajar dalam pembelajaran daring melalui platform e-learning.
Urgensi Lisensi Konten Digital untuk Pemilihan Sumber Belajar
Pemilihan dan penentuan objek belajar sebagai sumber belajar tentunya menjadi tanggung jawab utama dari seorang pembelajar. Seorang pembelajar memiliki kualifikasi untuk memilih, mengelola, dan menerapkan sumber belajar yang tepat sesuai dengan strategi pembelajaran yang dipilih. Adapun secara rinci kompetensi tersebut meliputi (1) mengetahui proses komunikasi dalam proses belajar (2) mengetahui sifat sumber belajar, dan (3) cara untuk memperolehnya.
Selain kompetensi yang bersifat kognitif dan psikomotorik, seorang pembelajar juga harus memiliki kompetensi afektif. Pembelajar haruslah memahami dan menerapkan etika keilmuan dalam melaksanakan tugas, khususnya dalam pemilihan sumber belajar.
Perlu dipahami bahwa tidak semua konten digital dapat digunakan secara bebas dalam pembelajaran. Meskipun untuk tujuan pendidikan, setiap konten digital diciptakan oleh seorang kreator, ketika dibagikan ke internet, terdapat lisensi tidak tertulis yang mengikat.
Memang tidak ada mahkamah khusus yang mewadahi dan memberikan sanksi terkait banyaknya kasus pelanggaran konten digital internasional, namun sebagai seorang pembelajar, penekanan etika bagi seorang pendidik menjadi penting. Adab dan akhlak tentu menjadi nilai utama dalam proses pendidikan.
Oleh karena itu, peran penting etika keilmuan mengatur bagaimana seorang pembelajar mampu memilih sumber belajar yang tidak melanggar tanggung jawab moral, sosial, dan intelektual. Terutama bagi pebelajar yang sering memanfaatkan platform e-learning yang bisa diakses secara bebas. Kebijaksanaan dalam penggunaan konten digital sebagai sumber belajar menjadi kunci utama etika keilmuan dalam proses pembelajaran.
Poin Penting Etika Penyaduran Konten Digital
Etika keilmuan mengatur nilai dan norma; nilai dapat meliputi nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya; sedangkan norma berkaitan dengan tanggung jawab. Bagi seorang pembelajar, etika keilmuan sangat penting untuk menggunakan, menyadur, menyalin, atau bahkan mengadopsi konten digital, apalagi dalam pembelajaran daring yang mudah diakses bagi siapapun, dimanapun, dan kapanpun.
Keragaman konten digital yang dapat digunakan sebagai objek belajar memang memudahkan pembelajar untuk mendapatkan sumber belajar. Namun perlu ditegaskan bahwa tidak semua konten digital bisa digunakan seenaknya. Disinilah pentingnya etika keilmuan sebagai bentuk tanggung jawab, apresiasi, dan kode etik bagi seorang pembelajar.
Tidak hanya sekedar nilai yang tidak tertulis. Etika penggunaan dan penyaduran juga memiliki landasan yang bersifat yuridis. Salah satu buktinya yaitu banyaknya kasus pelanggaran etika keilmuan dalam dunia akademik, yang salah satunya mengakibatkan pencopotan gelar guru besar di berbagai perguruan tinggi.
Transformasi digital memang memudahkan, namun tidak melewati batas etika yang ada. Oleh karena itu, sebagai bentuk menanamkan etika keilmuan bagi pembelajar sejak dini, penulis melakukan penelitian studi pustaka untuk membedah etika penyaduran dan penggunaan konten digital sehingga dapat memberikan wawasan, panduan, dan gagasan pembelajar.
Secara umum, terdapat beberapa poin etika dalam penyaduran diantaranya: mencantumkan identitas kreator; menyertakan akses tautan; tidak menghapus watermark; memahami dan mengimplementasikan lisensi creative cummons; mengunduh dari situs penyedia konten gratis; tidak mendistribusikan kembali ke khalayak umum; menghubungi kreator; dan membeli lisensi.
Secara teknis, seorang pembelajar dapat melakukan penggunaan dan penyaduran melalui beberapa tahap diantaranya: membaca syarat dan ketentuan pada platform konten digital; memastikan lisensi dari setiap konten; memahami hak dan kewajiban yang disediakan; barulah memasang pada platform e-learning. Perlu diketahui bahwa mencantumkan sumber kreator sebenarnya tidak wajib, karena hal itu diatur oleh masing-masing penyedia platform.
Begitupula dengan sosial media. Seorang pembelajar yang hendak menggunakan konten digital yang terdapat di sosial media, juga harus memahami privacy policy pada tiap platform. Namun, terkadang ada beberapa konten yang sudah menggunakan watermark baik berupa logo ataupun nama. Dalam konteks tersebut, seorang pembelajar tidak boleh menghapus ataupun menimpa watermark, meskipun hal tersebut tidak diatur. Kasus tersebut berkaitan dengan penggunaan HAKI terkait logo yang telah didaftarkan.
Konklusi
Harapannya, artikel ini dapat menjadi referensi bagi pelaku dalam dunia pendidikan agar lebih bijak dalam memahami dan mengimplementasikan etika keilmuan dalam penyaduran konten digital.
Fitrah Izul Falaq
Penulis adalah Mahasiswa Magister Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang
Bahan Bacaan
Sri Walny Rahayu. Kontribusi Filsafat Ilmu Terhadap Etika Keilmuan Masyarakat Modern (Contribution of Philosophy of Science of Ethics Scientific Modern Society). Kanun J Ilmu Huk 2015;17:533–53.
Prihadi S. MANAJEMEN SUMBER BELAJAR : Definisi dan Keuntungannya. Spada UNS 2020:1–5.
1 Comment