Mengurai Kompleksitas Permasalahan Alur Pelayaran

Kesiapan infrastruktur transportasi laut memiliki andil besar dalam menunjang kelancaran pergerakan manusia maupun barang, seperti produk pertanian, olahan, perdagangan, dan industri lainnya. Pelabuhan yang memiliki andil besar dalam meningkatkan perekonomian daerah sekitarnya. Sehingga keberadaannya diharapkan dapat membangkitkan perekonomian melalui aktivitas bongkar muat komoditi perdagangan di daerah tersebut.

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar dunia memiliki hambatan utama terutama dalam penjagaan teritorial perairan dari aksi lalu lalang pelayaran asing secara tak terkendali. Keterbatasan anggaran pemerintah bidang pelabuhan dan pengerukan juga turut menjadi penghambat karena harus berbagi dengan lalu lintas dan angkutan laut, perkapalan dan kepelautan, kenavigasian, serta KPLP. Badan Usaha Pelabuhan (BUP) selama ini dipandang mampu mengelola pemanduan secara baik, maka dapat ditingkatkan fungsi pengelola alur pelayaran sekaligus membantu pemerintah.

Pembangunan kekuatan maritim melalui pembentukan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) berjalan terseok-seok. Konsekuensi logisnya, Negara ALKI harus membuka diri dari kapal-kapal asing, karena tanpa dukungan sarana-prasarana memadai mereka sering melanggar teritorial dengan memotong perairan kita. Ancaman keamanan pada tiga jalur ALKI menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah menuju cita‐cita poros maritim.

Alih-alih, menjaga keluasan teritorial laut, keterbatasan anggaran pemerintah selalu menjadi alasan klasik. Dari data tahun 2017, dua puluh persen dari Rp 11,56 Triliun bagian sub direktorat pelabuhan dan pengerukan, dan delapan puluh persennya milik tiga atau empat bagian lainnya. Avaibility ideal alur pelayaran menjadi syarat pokok pemandu dalam pemberian bantuan, saran, dan informasi kepada nakhoda kapal agar pelayarannya berjalan lancar, tertib, serta aman.

Tahun anggaran 2017 bidang pelabuhan dan pengerukan sebesar Rp 2,3 Trilliun, jika setiap tahun naik lima persen, makan di tahun 2022 berkisar Rp 2,9 Trilliun. Asumsikan kita punya 300 BUP, itu artinya setiap alur pelayaran mendapat biaya pengerukan rata-rata kurang 1 Miliar, dan jika dikurangi 4 (empat) ALKI, maka jumlah tersebut akan berkurang lagi. Pemberian konsesi tiga puluh hingga lima puluh tahun kepada pengelola pelabuhan dan pengerukan lebih masuk akal, dengan sendirinya meningkatkan pundi-pundi pemerintah melalui pendapatan negara bukan pajak.

Keterbatasan anggaran bidang pelabuhan dan pengerukan, bukan berarti bidang lainnya mendapat prioritas. Meskipun delapan puluh persen didistribusikan ke beberapa bidang, anggaran setiap bidang tetap tidak signifikan. Maka selain alur pelayaran, pengelolaan sarana bantu navigasi pun dapat dihibahkan ke pengelola pelabuhan, agar hirarki pengendalian atas komplain pelanggan cepat tertangani.

***

Meskipun tidak mengurangi fungsi keselamatan pelayaran dari pemerintah, kedepan pemerintah tinggal mengawasi jalannya lalu lintas, angkutan laut, pelaut, serta mempertahankan hubungan baik dengan lembaga internasional. Dengan demikian, alokasi anggaran dapat difokuskan pada program perintis, seperti kapal perintis, kapal ternak, pembukaan trayek angkutan penumpang, dan angkutan barang. Sistem informasi kepelautan tetap dilakukan pemerintah terkait fungsi strategis pelaut sebagai penyumbang devisa negara.

Proses pelelangan dan kontrak pekerjaan yang panjang seringkali menjadi kendala tersendiri. Waktu pendaftaran hingga penetapan pemenang lelang sebuah proyek nasional terjadi sepanjang tahun, bahkan sampai lintas tahun, dan kondisi ini sangat merugikan pemegang kontrak karena harus menanggung biaya-biaya yang tidak diakomodir dalam kontrak kerja. Sehingga kondisi ini juga pasti berdampak pada keterlambatan progres fisik pekerjaan.

Beberapa proyek perhubungan laut telah ditetapkan menjadi program strategis nasional. Pembangunan pelabuhan berbasis klasterisasi, kawasan belakang pelabuhan, kawasan industri pelabuhan, memerlukan biaya sangat besar. Itulah beberapa proyek strategis nasional lainnya yang sudah seharusnya didukung bersama untuk meningkatkan pemerataan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat umumnya.

***

Analogi otorisasi BUP terhadap kesiapan alur pelayaran, diibaratkan kepala keluarga mengurusi saluran sanitasi depan rumahnya. Meski, penanggung jawab secara umum tetap pada aparat desa dan/atau pengembang, namun penyelesaian cepat permasalahan saluran air jika dilakukan oleh rumah tangga sendiri. Berbagai problem sanitasi, seperti dangkal, tersumbat, dan kotor dengan cepat diketahui serta diatasi dari pemilik rumah sebelum dilaporkan ke RT/RW.

Sebagaimana batas-batas rumah tinggal, pelabuhan juga terdiri atas daratan dan perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat sandar kapal, naik-turun penumpang, serta bongkar muat barang. Tingkat kedalaman serta kelebaran alur keluar/masuk kapal-kapal dapat menjadi batas konsesi sebuah pelabuhan. Jaminan volume alur yang memadai bagi kapal-kapal besar dapat bernilai komersil untuk membiayai perawatan alur serta kewajiban kepada negara.

Berbagai problem alur pelayaran, seperti dangkal, sempit, dan rambu rusak atau hilang dengan cepat diketahui serta diatasi dari pengelola pelabuhan sebelum dilaporkan ke pemerintah. BUP sebagai pengelola pelabuhan tidak akan bekerja sendiri, ia dapat bersinergi dengan entitas bisnis yang memiliki kompetensi di bidang pengerukan, pendalaman, serta perawatan alur. Standar baku mutu dari pemerintah menjadi acuan mereka dalam bekerja, sembari melakukan evaluasi secara terus-menerus.