Anak-Anak Indonesia, Jangan Menangis Lagi!

“Ibu, kakak mau kue ulang tahun yang dua tingkat ya. Yang gambarnya kuda poni,” ujar si tengah saat kuberitahu ulang tahunnya sebentar lagi. Rona bahagia terpancar ketika anak ketengahku mengungkapkan ingin kue ulang tahun yang lebih istimewa dari tahun-tahun sebelumnya.

Anak keduaku ini juga menyatakan ingin ultah ke-7 tahunnya dirayakan bersama teman-teman seperti kakak una, anak pertamaku, yang pernah dirayakan beberapa tahun lalu. Namun, saya menegosiasikan agar jangan dulu beramai-ramai di perayaan hari lahirnya. Mengingat pandemi COVID-19 ini belum kunjung berakhir.

Ulang tahun si kakak kedua ini berjarak hampir 1 minggu dari Hari Anak Nasional yang ditetapkan pada tanggal 23 Juli setiap tahunnya. Melihat anak-anakku bisa tumbuh dan berkembang dengan ceria dan sehat rasanya adem dan tentrem sebagai orang tua mereka. Begitu pula, jika melihat anak-anak yang lainnya bisa berbahagia dan bersemangat dalam beraktivitas sehari-hari.

Namun, di Hari Anak Nasional 2022 yang telah berlalu satu pekan lebih, masih setumpuk pekerjaan rumah untuk menjadikan anak Indonesia sebagai generasi sehat dan ceria. Bayang-bayang “kesakitan” masih merundung sebagian anak-anak Indonesia lainnya di segala penjuru nusantara.

Stop Kekerasan Seksual pada Anak!

Organisasi kesehatan dunia, “World Health Organization” (WHO) mendefinisikan sehat ke dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Demikian pula, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjelaskan kesehatan sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Namun, hingga saat ini kita masih sering mendengar anak Indonesia masih banyak yang “terpasung” oleh situasi yang mengekang fisik, mental, sosial, dan spiritual. Yang masih sering wara-wiri di lini media massa dan media sosial adalah persoalan kekerasan seksual pada anak.

Tidak sedikit catatan peristiwa pelecehan ataupun kekerasan seksual yang terekspose ke publik. Moch Subchi Azal Tsani, biasa dipanggil Mas Bechi, putra dari pengasuh Pondok Pesantren Majma’al Bahroin Hubbul Wathon minal Iman Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur. Tersangka dari kasus pelecehan seksual yang berproses sejak tahun 2019 dan sempat menjadi DPO pada awal bulan Juli lalu.

Ada pula, mendekati akhir tahun 2021, publik dikejutkan dengan pemberitaan HW, pimpinan salah satu yayasan pesantren di Kota Bandung sekaligus seorang guru ngaji sudah melakukan aksi bejatnya terhadap belasaan santrinya bahkan ada yang hingga hamil dan melahirkan sejak lima tahun lalu.

Dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional (HAN 2022), Retno Listyarti selaku Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data kasus-kasus kekerasan seksual khusus yang terjadi di lembaga pendidikan sepanjang semester I, terhitung sejak Januari hingga Juli 2022. Berdasarkan pemantauan oleh Komisioner KPAI, rata-rata dari jumlah kasus tersebut sudah dilaporkan ke pihak Kepolisian oleh keluarga korban.

Pada semester pertama Januari hingga Juli 2022 tercatat 12 kasus, terdiri dari 3 kasus terjadi di sekolah di wilayah di bawah naungan Kemendikbud Ristek sebanyak dengan persentase (25%). Sedangkan kasus di satuan Pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama RI sebanyak 9 kasus atau 75%.

Data kekerasan seksual pada anak yang disebutkan oleh KPAI ibarat kata fenomena gunung es. Masih sedikit yang terlaporkan oleh masyarakat, padahal yang sebenarnya terjadi masih banyak, tersembunyi, dan tidak terlaporkan. Butuh kekuatan mental secara personal dan sosial untuk melaporkan hal tersebut.

Stop Kekerasan Seksual. Sumber Foto: Pexels.

Bagaimanakah Seharusnya Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak?

Orang tua memegang peran penting untuk melakukan edukasi awal dan dini terkait seksual kepada anak-anaknya di dalam keluarga. Menurut Sandarwati, E. M. (Sawwa: Jurnal Studi Gender, 9(4), 2014) bahwa nendidikan seks atau pendidikan kesehatan reproduksi yang diberikan kepada anak-anak tentu bukan satu-satunya cara untuk mencegah kejahatan seks terhadap anak.

Pencegahan kejahatan seksual terhadap anak-anak harus mencakup: 1) pencegahan primer, yaitu pencegahan dengan menekankan masyarakat sebagai pelindung sosial; 2) pencegahan sekunder, yaitu pencegahan yang berfokus pada anak-anak dari keluarga yang rentan dan berisiko; 3) pencegahan tersier, adalah pencegahan yang memprioritaskan anak-anak yang mengalami perlakuan buruk.

Belajar dari pengalaman, sebagaimana kami mendidik ketiga anak untuk pendidikan seks, dilakukan dengan komunikasi asertif yang disesuaikan dengan usia anak-anak. Saat balita mereka diperkenalkan dengan perbedaan secara kodrat laki-laki dan perempuan.

Berlanjut dengan menyebutkan alat kelamin dengan bahasa mudah dipahami, namun bukan perumpaan. Misalnya, menyebut penis dengan sebenarnya, bukan “burung” yang menjadi kebiasaan kebanyakan orang tua kepada balitanya. Mempertontonkan video edukasi seks Si Geni” dan “Si Aksa”, dapat membantu orang tua dan guru menjelaskan kepada anak-anak terkait bagian tubuh apa saja yang boleh dan tidak boleh dipegang oleh orang lain.

Semakin besar anak-anak, pendidikan seks yang diterangkan lebih transparan dan mendalam. Seperti bagaimana adab berteman dengan lawan jenis maupun yang menyukai sesama jenis, bagaimana pula perilaku seks bebas ataupun menyimpang dapat menyebabkan penyakit menular seksual, dll.

Bukan perkara mudah memang untuk mengedukasi seks yang mudah dimengerti dan dipahami kepada anak-anak. Paling tidak, edukasi tersebut dapat mencegah dan menangkal terjadinya pelecehan hingga kekerasan seksual yang masih saja terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja.

Penulis : Dwi Handriyani

Sumber Gambar Cover : Pexels