Kita Membebani Generasi Muda

Kita Membebani Generasi Muda
Sumber Ilustrasi : OpenAI

Kita Membebani Generasi Muda. Malam tadi, linimasa media sosial saya bertabur potongan video anak-anak muda yang bersemangat mengikuti seminar bertema Indonesia Emas 2045. Mereka tersenyum, menyalami pejabat, dan berfoto dengan spanduk bertuliskan “Kami Generasi Penentu Nasib Bangsa.”

Saya tersenyum kecil, bukan karena bangga, tapi karena getir.

Kita hidup di masa ketika kaum muda harus berlari di lintasan yang hampa. Mereka berpacu di dunia yang carut-marut. Perubahan iklim, perang, politik memanas, dan teknologi yang melaju seperti kuda lepas kendali. Sementara pemerintah, yang semestinya menyediakan jalan, sibuk menggambar masa depan di atas kertas.

Janji yang Membebani

Istilah Indonesia Emas 2045 terdengar seperti mantra. Terucap di podium, tersemat di baliho, dan berkelindan dalam iklan layanan masyarakat. Tapi di balik narasi optimisme itu, tersimpan beban psikologis yang berat bagi generasi muda.

Coba bayangkan, seorang anak SMA hari ini mendengar bahwa kelak, di usia 33 atau 48 tahun, dialah “manusia unggul” penentu nasib bangsa. Tapi apakah negara sungguh menyiapkan panggung bagi mereka untuk unggul?

Faktanya, ribuan lulusan universitas masih antre mengirim lamaran kerja yang tak kunjung berbalas. Ribuan lainnya bertahan dengan kerja serabutan, seperti kurir, ojek daring, desainer lepas, atau editor konten. Kesemuanya mengarah ke gig economy yang menuntut produktivitas tanpa perlindungan sosial.

Di dunia yang katanya modern, mereka justru menjadi versi baru dari buruh zaman industri. Yaitu, terhubung melalui jaringan digital, tapi terputus dari kepastian hidup.

Generasi yang Lelah Terhubung

Kita sering memuji generasi Z sebagai generasi digital, kreatif, dan adaptif. Tapi di balik layar gawai, ada letih yang tak kasat mata. Mereka hidup dalam dunia di mana setiap notifikasi bisa mengubah suasana hati. Setiap unggahan teman bisa jadi perbandingan yang menyakitkan. Dan, setiap pencapaian orang lain terasa seperti teguran pada diri sendiri.

Kelelahan emosional ini nyata. Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional (I-NAMHS) mencatat satu dari tiga anak muda Indonesia mengalami gangguan mental, alias kecemasan hingga depresi. Namun hanya sedikit yang bisa mengakses pengobatan formal, karena mahal, jauh, atau mereka takut menyandang label “tidak kuat.”

Negara belum hadir di sana. Padahal, di era ini, kesehatan mental bukan sekadar urusan pribadi, tapi isu publik yang menentukan masa depan bangsa.

Sistem yang Lumpuh, Generasi yang Berjuang

Kita harus jujur, negara masih gagal memahami generasi mudanya. Kurikulum pendidikan masih kaku, mengukur kecerdasan dari nilai ujian, bukan dari kemampuan berpikir kritis dan berkolaborasi.

Kebijakan kerja masih menekankan efisiensi, bukan kesejahteraan. Dan, sistem sosial kita belum punya empati bagi mereka yang tersesat di antara “ambisi” dan “realitas.”

Pemerintah suka berbicara tentang inovasi, tapi tidak memberi ruang aman bagi mereka yang gagal. Padahal, justru dari kegagalan, banyak ide besar lahir. Alih-alih menuntut mereka menjadi generasi emas, mungkin kita perlu terlebih dahulu menjadi negara yang manusiawi.

Dari Emas ke Arti

Saya sering membayangkan, mungkin, generasi muda tidak butuh slogan besar. Mereka hanya butuh ruang kecil untuk merasa berharga.

Butuh pekerjaan yang layak, bukan hanya “yang bisa bertahan.”
Perlu waktu untuk istirahat, tidak saja “mengejar target.”
Penting “pengakuan” bahwa menjadi manusia tidak harus selalu produktif.

Kita terlalu sering menaruh harapan besar tanpa menyiapkan dukungan nyata. Padahal, yang membuat sebuah bangsa maju bukan semata semangat anak mudanya, tapi keberpihakan sistemnya.

Ketika mereka harus berjuang sendiri, bekerja siang malam, menahan cemas di kepala, siapa yang sebenarnya “menentukan nasib bangsa”? Mungkin bukan mereka, tapi kita semua yang memilih diam melihatnya.

Refleksi di Tengah Malam

Saya menulis ini sambil menatap layar laptop di kamar yang lampunya mulai redup. Di luar sana, entah berapa banyak anak muda yang juga belum tidur. Bukan karena lembur, tapi karena gelisah memikirkan masa depan.

Generasi ini tidak butuh pujian sebagai penyelamat bangsa. Mereka butuh dipercaya, didengarkan, dan diberi ruang tumbuh tanpa beban berlebihan. Kalau negara benar-benar ingin menuju Indonesia Emas 2045, mulailah dengan mendengar suara mereka hari ini.

Bukan melalui survei yang formal dan kering, tapi lewat empati yang nyata. Tersedia pekerjaan bermartabat, akses kesehatan mental, pendidikan yang relevan, dan kebijakan yang berpihak pada manusia, bukan hanya angka.

Di akhir catatan ini, saya teringat satu kalimat dari seorang kawan muda:

“Kami tidak ingin menjadi generasi emas. Kami hanya ingin hidup tanpa takut miskin dan tanpa takut gagal.”

Kalimat yang sederhana, namun menampar. Karena sesungguhnya, generasi muda tidak sedang menunggu masa depan. Tapi, mereka sedang berjuang di masa kini yang terlalu berat.

Dan mungkin, tugas kita yang lebih tua bukan sekadar menuntun mereka menuju “emas”. Tapi, memastikan mereka tidak kehilangan manusia-nya di tengah jalan.

Catatan reflektif

Esai ini tidak ingin menggurui, melainkan mengingatkan. Bahwa, kita tidak bisa membangun masa depan bangsa di atas beban generasi mudanya. Emas yang sejati bukan di tahun 2045, melainkan di hati yang terus berani berharap, meski dunia terasa tak berpihak.