Tenaga Menyusut, Pikiran Menyala

Tenaga Menyusut, Pikiran Menyala
Ilustrasi: OpenAI

Tenaga Menyusut, Pikiran Menyala. Di usia tertentu, kita mulai merasakan tanda-tanda yang dulu hanya kita dengar dari para senior di kantor. Lutut yang tak lagi lentur, punggung yang mulai sering protes, dan napas yang sedikit lebih berat setiap kali menaiki tangga. Suatu pagi, ketika sedang menyeduh kopi di dapur kantor, saya tersadar. Jika, tubuh ini mulai memberi sinyal bahwa masa-masa prima telah lewat. Tapi anehnya, di saat tenaga menurun, justru ada bagian lain dari diri ini yang terasa lebih hidup, “pikiran”.

Saya ingat ucapan seorang teman lama, “Kalau otot mulai menua, gunakanlah otak, itu investasi umur panjang.” Saat itu saya hanya tertawa, menganggapnya guyon. Tapi kini, menjelang masa pensiun, kalimat itu bergaung lebih dalam dari sebelumnya.

Usia dan Batas Tenaga

Menurut klasifikasi WHO, usia antara 45 hingga 59 tahun termasuk dalam kategori middle age, atau usia paruh baya. Sedangkan mereka yang berusia 60 ke atas masuk ke dalam elderly, usia lanjut. Artinya, saat saya pensiun nanti di usia 56 tahun, saya berada di persimpangan. Yaitu, belum sepenuhnya tua, tapi juga tak lagi muda. Fase ini ibarat senja (tidak terang), tapi juga belum gelap, ada ketenangan sekaligus keraguan di dalamnya.

Saya masih ingin aktif, tentu saja. Namun, saya juga sadar bahwa pekerjaan yang dulu bisa saya selesaikan dengan tenaga, kini butuh strategi dan efisiensi. Jika dulu saya bisa berdiri di dermaga berjam-jam tanpa keluh, sekarang tubuh meminta jeda. Dalam diam, saya mulai bertanya. Apakah saya akan terus bekerja mengandalkan fisik, atau mulai menata ulang arah hidup untuk bekerja dengan pikiran?

Pekerjaan Tak Lagi Sama

Dunia kerja kini memang sedang berubah cepat. Kecanggihan teknologi membuat banyak pekerjaan tak lagi membutuhkan kekuatan otot, melainkan daya pikir, kreativitas, dan pengalaman. Saya mulai melihat peluang tersebut, bahwa pensiun bukan akhir dari produktivitas, melainkan peralihan bentuknya.

Selama puluhan tahun, saya terbiasa bekerja dengan ritme yang menuntut fisik. Berjalan di pelabuhan, meninjau kapal, berdiskusi di lapangan. Tapi kini saya berpikir. Bukankah ilmu, pengalaman, dan intuisi yang saya kumpulkan selama itu bisa menjadi bahan ajar yang berharga bagi generasi berikutnya? Dunia pendidikan dan pelatihan terasa semakin masuk akal untuk kujelajahi.

Ada kepuasan tersendiri ketika membayangkan diri menjadi mentor atau pembicara. Berbagi kisah dan pengetahuan tentang dunia maritim, tentang kepemimpinan, tentang ketenangan di tengah badai. Saya tidak lagi berlari, tapi berjalan, tentu dengan langkah yang lebih perlahan namun lebih berarti.

Belajar Melepas, Tanpa Berhenti

Banyak orang menganggap pensiun itu akhir. Tapi saya mulai belajar bahwa pensiun hanyalah peralihan, bukan perhentian. Seperti ombak yang tak pernah benar-benar berhenti di pantai, manusia pun punya gelombangnya sendiri. Kadang kita perlu menarik diri sejenak agar bisa kembali datang dengan energi baru.

Saya sering merenung, situasi tersulit dari pensiun bukan kehilangan pekerjaan, tapi kehilangan rutinitas. Bangun pagi, mengenakan seragam, menyapa rekan kerja, lalu tenggelam dalam dinamika kantor, itu semua membentuk rasa identitas. Begitu ritme itu berhenti, sebagian diri seolah ikut diam. Karena itu, saya merasa penting untuk menyiapkan sesuatu yang bisa membuat saya tetap hidup secara mental. Contohnya, menulis, mengajar, atau sekadar berbagi pengalaman hidup.

Bekerja dengan pikiran ternyata bukan hanya tentang mencari uang. Lebih dari itu, ia menjaga kita agar tetap terhubung dengan makna. Dalam setiap tulisan, setiap percakapan, kita sedang melanjutkan perjalanan, hanya dengan bentuk yang berbeda.

Tentang Waktu dan Nilai Hidup

Ada sebuah peribahasa Jepang yang saya suka, Keizoku wa chikara nari (ketekunan adalah kekuatan). Bagi saya, ini bukan sekadar soal kerja keras, tapi juga konsistensi untuk terus tumbuh, meski arah pertumbuhannya berubah. Di usia muda, kita tumbuh ke luar, memperluas jaringan, menambah penghasilan, membangun karier. Namun di usia matang, kita mulai tumbuh ke dalam, memperdalam makna, menata kembali prioritas, dan belajar menikmati waktu yang tersisa.

Kini saya mulai lebih menghargai hal-hal sederhana. Meneguk kopi tanpa terburu-buru, membaca buku di pagi tenang, atau sekadar duduk di teras menatap langit yang mulai jingga. Ada kedamaian yang dulu tak sempat saya rasakan ketika sibuk bekerja. Barangkali, inilah imbalan dari tahun-tahun panjang kerja keras, kesempatan untuk hidup dengan tempo yang lebih lambat, tapi lebih sadar.

Pekerjaan Pikiran: Menemukan Arti Baru

Bekerja dengan pikiran bukan berarti pasif. Ia menuntut bentuk kedisiplinan lain: membaca, berpikir kritis, menulis, atau mengajar. Pekerjaan semacam ini mungkin tak menghasilkan keringat, tapi tetap menghasilkan cahaya, bagi diri sendiri dan orang lain.

Saya mulai membayangkan diri di ruang kecil yang tenang, dengan meja kayu sederhana, laptop, dan secangkir kopi. Dari sana, saya bisa menulis tentang laut, tentang manusia, tentang waktu. Atau mungkin berdiri di depan kelas, berbicara tentang pengalaman hidup dan pelajaran dari dunia kerja. Siapa tahu, dari sana saya bisa menyalakan semangat pada orang lain, sebagaimana dulu orang lain pernah menyalakan semangat saya.

Menyala di Usia Senja

Saya pernah membaca penelitian WHO bahwa usia harapan hidup manusia semakin meningkat. Banyak orang berusia 60-an kini masih aktif berkarya, bukan karena terpaksa, tapi karena ingin merasa berguna. Maka saya pikir, mengapa tidak? Jika tenaga menyusut tapi pikiran masih menyala, bukankah itu tanda bahwa hidup masih memberi ruang bagi kontribusi?

Kadang saya membayangkan masa depan yang sederhana. Pagi yang tenang, menulis artikel, menerima undangan berbicara di pelatihan, atau sekadar berbagi refleksi hidup di media sosial. Tak perlu kemewahan, cukup merasa bahwa keberadaan saya masih berarti.

Penutup: Terang yang Berubah Arah

Pada akhirnya, saya belajar bahwa hidup ini bukan tentang terus berlari, tapi tahu kapan harus berjalan. Bukan tentang mempertahankan tenaga, tapi mengarahkan nyala pikiran. Tubuh boleh menua, tapi semangat belajar dan berbagi seharusnya tetap muda.

Saya tidak ingin pensiun dari kehidupan. Saya hanya ingin berpindah dari bekerja demi gaji, menuju bekerja demi makna. Mungkin itulah rahasia agar pikiran tetap menyala, bahkan ketika tenaga mulai meredup.

Karena sesungguhnya, setiap fase hidup punya panggungnya sendiri. Dan ketika cahaya senja mulai turun, bukan berarti hari telah usai. Ia hanya bergeser arah menjadi lembut, seperti nyala pikiran yang tetap hangat di tengah surutnya tenaga.