Pecalang: Dari Adat ke Zaman

Pecalang: Dari Adat ke Zaman
Ilustrasi by OpenAI

Pecalang: Dari Adat ke Zaman. Di balik wibawa dan seragam hitamnya, pecalang bukan sekadar penjaga adat, melainkan cermin perjalanan Bali dalam menata keamanan dan harmoni sosial. Dari jejak kerajaan hingga era modern, kisah mereka merekam bagaimana adat beradaptasi dengan zaman, tanpa kehilangan jati diri.

 

Bali memiliki cara unik dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Di satu sisi, pulau ini menjadi destinasi wisata dunia yang sibuk dengan lalu lintas globalisasi. Sisi lain, ia masih menegakkan nilai adat dengan khidmat. Di tengah dua kutub itu berdirilah sosok-sosok berpakaian hitam dengan udeng di kepala, bernama “pecalang”. Mereka adalah penjaga adat yang kini menjadi simbol keamanan sekaligus identitas kultural Bali.

Namun, seperti banyak hal di dunia ini, pecalang bukanlah entitas yang lahir dalam satu malam. Kita bisa menelusuri jejak mereka jauh ke masa kerajaan Bali. Saat itu, penjaga keamanan wilayah dan upacara adat adalah kelompok khusus yang disebut sikep, dolop, atau sambangan. Mereka bukan hanya penjaga fisik, melainkan penjaga harmoni. Dalam pandangan Bali, keamanan bukan sekadar ketiadaan kekerasan, melainkan keseimbangan antara sekala (dunia nyata) dan niskala (dunia tak kasat mata). Maka, tugas mereka tak hanya menjaga jalan atau keramaian, tapi juga menjaga tatanan energi agar upacara dan kehidupan berjalan selaras.

Memasuki abad ke-20, terutama setelah masa kolonial dan kemerdekaan, fungsi tradisional ini mulai bergeser. Kehidupan modern, birokrasi, dan politik nasional ikut memengaruhi lanskap sosial Bali. Di beberapa desa, mereka menyebut barisan penjaga adat sebagai pecalang. Sebagian sejarawan meyakini istilah tersebut berasal dari kata calang, yang berarti mata-mata atau pengintai. Mereka adalah “mata” desa adat, mengawasi, menegur, dan menenangkan bila ada gangguan terhadap ketertiban adat.

Namun, nama pecalang baru benar-benar melejit setelah Reformasi 1998. Ketika gelombang demokratisasi melanda Indonesia, Bali menemukan cara tersendiri untuk menunjukkan kemandiriannya. Saat itu, Kongres PDIP ke-V di Sanur memperlihatkan barisan pecalang yang mengatur lalu lintas, dan menjaga keamanan. Hal itu sekaligus menegaskan citra Bali sebagai wilayah yang tertib dengan sistem sosialnya sendiri. Publik nasional dan internasional pun melihat. Bahwa ternyata, Bali punya model pengamanan yang berbasis adat, bukan semata struktur negara.

Sejak saat itu, pecalang semakin sering muncul di berbagai perayaan, upacara keagamaan, bahkan event pariwisata. Mereka menjadi wajah Bali yang tangguh sekaligus ramah. Di satu sisi mereka tegas mengatur lalu lintas, di sisi lain mereka tetap tersenyum ketika wisatawan menatap kagum. Tapi di balik keanggunan itu, ada pertanyaan yang lebih dalam, apa makna menjadi pecalang di era global ini?

Dalam percakapan ringan dengan seorang teman di Denpasar, saya pernah mendengar keluhan jujur. “Sekarang jadi pecalang itu berat, bukan cuma jaga pura, tapi juga harus hadapi kamera, turis mabuk, dan komentar di medsos.” Ucapannya mungkin terdengar sederhana, tapi menyimpan kegelisahan sosial. Pecalang kini, tidak hanya menjaga wilayah fisik, tapi juga menjaga citra adat dalam dunia yang serba digital dan cepat menilai.

Refleksi ini mengingatkan kita bahwa setiap bentuk tradisi yang bertahan pasti mengalami pergulatan identitas. Pecalang hari ini berada di persimpangan antara nilai dan tuntutan zaman. Ketika arus wisata begitu deras, pecalang menghadapi dilema antara melayani sistem ekonomi global atau menegakkan nilai lokal. Dalam upacara adat, mereka adalah penjaga kesakralan. Namun, di jalan raya, mereka juga “membantu” menjaga parkir atau mengatur lalu lintas turis. Di sinilah garis halus antara adat dan komoditas mulai kabur.

Namun, saya memilih untuk tidak melihat pecalang sebagai simbol yang kehilangan arah. Sebaliknya, mereka justru menjadi contoh nyata bagaimana adat bisa beradaptasi tanpa kehilangan akar. Di banyak desa adat, para pecalang berlatih menggunakan teknologi komunikasi. Selain itu juga memahami protokol pariwisata, bahkan berkoordinasi dengan aparat keamanan negara. Adaptasi ini membuktikan bahwa tradisi tidak harus anti-modernitas. Terpenting, nilai dasarnya tetap sama, melayani keseimbangan dan harmoni.

Jika ditarik lebih jauh, perjalanan pecalang senada dengan metafora perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Bagaimana tradisi lokal bernegosiasi dengan tuntutan global, tanpa harus kehilangan jati diri. Di tengah dunia yang sibuk mendefinisikan keamanan sebagai urusan aparat. Bali, justru menunjukkan bahwa keamanan juga bisa lahir dari komunitas, dan rasa memiliki terhadap ruang hidup bersama.

Namun, refleksi ini juga perlu jujur. Dalam beberapa kasus, masyarakat menyoroti tindakan pecalang yang tumpang-tindih dengan urusan yang seharusnya menjadi ranah hukum negara. Di sinilah pentingnya pembacaan yang bijak. Pecalang bukan institusi sempurna, tapi mereka adalah produk dari sistem sosial yang terus belajar. Mereka tidak kebal dari kesalahan, tapi juga tidak sama dengan aparat formal. Pecalang adalah representasi dari dinamika sosial Bali, antara adat yang mengatur dan manusia yang berupaya memahami zaman.

Ketika hari ini kita melihat pecalang mengatur arus kendaraan di tengah parade budaya, atau berdiri tegap di upacara Galungan. Maka, sesungguhnya kita sedang menyaksikan sebuah dialog panjang antara masa lalu dan masa kini. Mereka adalah saksi hidup bagaimana Bali tidak menolak modernitas, melainkan menyerapnya dengan cara yang khas. Yaitu, melalui adat, simbol, dan rasa tanggung jawab terhadap harmoni.

Bagi saya pribadi, setiap kali melihat pecalang berdiri di bawah terik matahari, ada semacam keheningan yang muncul. Bukan hanya karena seragam hitam mereka yang kontras dengan warna-warna upacara. Namun juga, karena di balik diam menyimpan suara adat yang masih ingin bertahan di tengah hiruk pikuk zaman. Pecalang bukan hanya penjaga pura, tapi juga penjaga memori tentang siapa kita dan dari mana kita berasal.

Dan mungkin, dalam dunia yang semakin cepat berubah, kita semua sebenarnya sedang menjadi “pecalang” bagi kehidupan masing-masing. Kita menjaga nilai, merawat keseimbangan, dan berupaya agar diri kita tidak tercerabut dari akar. Sebab seperti Bali, manusia pun butuh harmoni, antara tradisi dan perubahan, antara adat dan zaman.