“Genjer-genjer” Sebagai Simbol Kebangkitan Komunisme
Lagu “Genjer-Genjer” memiliki sejarah yang kompleks yang sering terkaitkan dengan peristiwa G30S/PKI. Lagu karya Muhammad Arief ini pada masa pendudukan Jepang ini, merupakan lagu kritik atas situasi ekonomi yang sulit kala itu. Secara harfiah, lirik lagu ini berbicara tentang tanaman genjer sebagai makanan orang-orang miskin, karena keterbatasan makanan. Lagu ini sangat populer di telinga masyarakat, karena menggambarkan realitas kehidupan rakyat kecil.
Namun, setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965, masyarakat sering mengidentikkan lagu ini sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI). Genjer-genjer kerap berkaitan dengan gerakan tersebut. Hal ini karena, lagu tersebut sangat populer di kalangan kelompok-kelompok PKI, termasuk organisasi sayap kiri yang mendukung ideologi komunis. Gerwani, organisasi wanita yang terafiliasi dengan PKI, bahkan sering menyayikan lagu genjer-genjer. Setelah pemberontakan G30S, kumandang genjer-genjer seolah membangkitkan komunisme, dan oleh kampanye anti-PKI membredel lagu tersebut dari peredaran.
Opini terhadap lagu ini bervariasi tergantung pada perspektif sejarah saat itu. Dari sudut pandang Orde Baru, “Genjer-Genjer” identik sebagai propaganda PKI yang menyebarkan ideologi komunis di kalangan rakyat kecil. Karena adanya anggapan, bahwa lagu tersebut sebagai bagian narasi bahaya laten komunisme, sehingga harus berhenti.
“Genjer-Genjer” Adalah Suara Rakyat Kecil
Namun, jika melihat lebih jauh ke asal-usulnya, “Genjer-Genjer” merupakan lagu rakyat yang mengangkat realitas kehidupan kaum miskin. Asosiasi politik yang kemudian melekat pada lagu tersebut lebih banyak merupakan hasil dari konstruksi politik pasca-G30S. Sehingga membiaskan makna asli dari lagu itu sendiri.
Dalam konteks sekarang, mengupas kembali “Genjer-Genjer” dapat membuka ruang diskusi tentang sejarah dan kebudayaan. Hindari menyalahpahami, bahkan memanipulasi, hanya untuk kepentingan politik tertentu. Lagu ini, pada akhirnya, mencerminkan konflik yang lebih besar antara seni dan politik, sehingga ekspresi budaya terkalahkan oleh narasi politik. Memahami “Genjer-Genjer” secara obyektif membantu kita melihat sejarah dari sudut pandang yang lebih luas, apalagi terjebak pada stereotip oleh konstruksi kekuasaan.
Pembahasan lagu tersebut, seakan membawa beban ideologis dalam sejarah politik Indonesia. Setelah peristiwa G30S, pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto secara efektif memanfaatkan narasi tentang lagu ini. Melalui upaya pendeskreditan PKI, dan seluruh elemen pendukung pemberontakan. Lagu yang awalnya tak lebih dari kritik sosial berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan, untuk memperkuat stigma anti-komunisme di Indonesia.
“Genjer-Genjer” dan Kampanye Anti-Komunis
Selama Orde Baru, “Genjer-Genjer” menjadi elemen penting gerakan anti-komunis, dan konsisten menyebar melalui media, pendidikan, dan propaganda. Lagu ini seolah menggambarkan PKI sebagai organisasi yang kejam, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Lirik sederhana yang menggambarkan penderitaan rakyat kecil, tiba-tiba terhubung dengan kekerasan, revolusi, dan pengkhianatan PKI. Akibatnya, “Genjer-Genjer” bukan lagi sekadar lagu, melainkan menjadi semacam “ikon negatif” dari ancaman komunisme yang terus mengelabuhi masyarakat.
Kemudian, asosiasi lagu ini dengan organisasi sayap kiri seperti Gerwani turut memperkuat stigma tersebut. Di beberapa sumber sejarah versi Orde Baru, penggambaran Gerwani sebagai kelompok wanita yang terlibat dalam tindakan kekerasan selama peristiwa G30S. Meskipun, banyak penelitian yang akhirnya mempertanyakan kebenaran narasi tersebut. Lagu “Genjer-Genjer”, yang sering anggota Gerwani nyanyikan, kian mempertegas citra keterlibatan mereka dalam kekerasan dan revolusi komunis. Narasi ini mempengaruhi persepsi masyarakat selama beberapa dekade.
Memaknai “Genjer-Genjer” Secara Mandiri
Sejak reformasi dan berakhirnya rezim Orde Baru, ada upaya dari kalangan akademisi, aktivis, dan seniman untuk merehabilitasi makna lagu ini. Mereka berusaha mengembalikan lagu ini ke konteks aslinya sebagai kritik sosial atas kemiskinan dan penderitaan rakyat selama masa penjajahan Jepang. Hal ini sebagai upaya untuk mendekonstruksi narasi lama yang telah terbangun untuk instrumen politik. Bahkan, sebuah diskusi menyebutkan, bahwa Orde Baru telah memanipulasi aspek kebudayaan untuk kepentingan politik.
Pengkajian ulang lagu “Genjer-Genjer” menghasilkan pertanyaan tentang bagaimana kita seharusnya melihat sejarah. Terpulang pada diri kita, mengandalkan narasi resmi yang telah bertahan lama, atau kritis terhadap penyelewengan aspek sejarah. Terkadang, apa yang kita terima sebagai fakta sejarah, lebih merupakan konstruksi untuk mendukung kepentingan politik tertentu.
Pada akhirnya, lagu “Genjer-Genjer” menggambarkan bagaimana ekspresi seni yang pada awalnya bukan politis. Hal ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara seni, sejarah, dan kekuasaan, di mana karya budaya sering kali menjadi medan pertempuran ideologis. Mempelajari sejarah lagu ini, akan memberikan wawasan mendalam tentang kekuasaan mempengaruhi budaya. Padahal budaya, sebenarnya mampu menjadi alat perlawanan terhadap narasi yang hegemonik.
Tinggalkan Balasan