Beberapa bulan ke depan tepatnya pada 14 Februari 2024 rakyat akan menentukan Nahkoda dan Wakil Nahkoda dalam perhelatan Pilpres 2024. Sejak beberapa waktu lalu hingga hari ini para kandidat beradu argumentasi dengan para panelis dari kampus-kampus ternama. Beberapa kesempatan saya menyaksikan diskusi tersebut, salah satu kandidat meminta melihat rekam jejak atas pertanyaan panelis terhadap beberapa isu.
Sementara kandidat lainnya penuh semangat menjawab setiap pertanyaan panelis, bila terpilih. Meski, kekuatan jawaban tetap terkesan “halu” karena tidak relevan dengan kebijakan saat sebagai kepala daerah. Kandidat pertama justru ingin menghindari sesuatu yang belum pasti, namun ia lebih mendasarkan pada fakta yang telah terealisasi sebelumnya.
Jaman orde baru, kita sering mendengar istilah mitos politik. Sebuah teori menyebut mitos sebagai himpunan kepercayaan yang tidak harus berdasar fakta ilmiah. Istilah mitos bermakna peyoratif, mulai dari sikap meremehkan sebuah mitos, kepercayaan, atau budaya, lalu akhirnya isapan jempol belaka.
***
Setelah anda memahami istilah “mitos atau fakta”, anda pasti akan lebih memilih fakta ketimbang mitos. Tunggu…! Jangan buru-buru memutuskan. Pernahkah anda memperhatikan seseorang mengucapkan kebohongan berkali-kali, hingga anda yakin bahwa kebohongan tersebut berubah menjadi kebenaran. Dalam keadaan seperti ini, fakta semakin sulit bersaing dengan mitos. Sesuatu yang sangat kita sayangkan dalam kondisi seperti ini.
Konteks politik, kebohongan-kebohongan sebenarnya sudah berlangsung, namun seolah kita tidak berdaya mengatakan hal itu sebagai sebuah kekeliruan. Sejak awal kita terbius oleh kesederhanaan, merakyat, meskipun akhirnya kita terbelalak oleh kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak wong cilik. Imajinasi orang baik telah berlangsung di tengah-tengah masyarakat, sayangnya kita baru menyadari tidak baik di ujung kekuasaan.
“Cawe-cawe” cukup sohor di sosmed akhir-akhir ini. Istilah tersebut muncul di permukaan pasca Pak Presiden mengeluarkan pernyataan untuk tidak berat sebelah terhadap segala urusan pencapresan. Meskipun awalnya cukup melegakan semua pihak, namun setelah putra sulungnya mencalonkan diri, nuansa berkompetisi secara adil tetiba buram. Setiap orang bisa berkompetisi, namun peluangnya tertutup bila bukan dari lingkaran penguasa.
Naiknya putra-putra penguasa seolah melegitimasi pemimpin muda yang serba instan mengabaikan proses. Ibarat buah bukan masak pohon melainkan karbitan agar cepat masak secara politik. Rasanya proses tetap menjadi syarat mutlak bagi tokoh-tokoh muda di jaman perjuangan kemerdekaan dulu. Jadi, tidaklah masuk akal kalau pemuda tanpa perlu berproses, dan langsung menduduki posisi strategis di manapun.
Masih seputaran legitimasi pemimpin muda, akhir-akhir ini kita sering menyaksikan para pemimpin menampilkan lenggak-lenggok tarian di khidmat kenegaraan. Mitos pemimpin “gemoy” dinilai mewakili keinginan serta kebutuhan milenial. Saya tidak paham apakah seperti itu yang milenial kehendaki, beberapa referensi yang sempat saya baca, lagaknya bukan itu maksud Gen-X.
Memperhatikan pertemuan inkamben dengan tiga kandidat calon penggantinya, dan berakhir dengan pernyataan salah satu kandidat tentang netralitas. Mensinyalir masih adanya kekhawatiran penguasa tidak netral dalam menyikapi perhelatan pemilu yang akan datang. Apalagi, salah satu kontestan peserta adalah anak kandung dari penguasa. Patut ini kita sebut sebagai “mitos” pemimpin netral.
***
Kembali pada perdebatan antara kandidat dengan panelis di atas, respon salah satu kandidat agar menilik rekam jejak patut kita cermati. Kita tentu sepakat bahwa rekam jejak merupakan bagian dari fakta otentik, terutama di era digital seperti saat ini. Sebagai pejabat publik, masyarakat berhak tahu tindak-tanduk, perbuatan, kegiatan yang telah berlalu oleh pejabat tersebut. Sudah barang tentu perlu koreksi jika fakta tersebut keluar dari pengetahuan, sehingga dengan sendirinya memutus pengembangbiakan mitos.
Sebuah narasi singkat Isaac Asimov menyebutkan, anda dapat menyaksikan sebuah fenomena tragedi penurunan nilai-nilai pengetahuan sejak era 80-an. Akan tetapi, meski sebagian masyarakat menganggap mitos lebih penting dari fakta, tidak lantas merendahkan ilmu pengetahuan. Dalam keadaan tertentu, menganggap pendapat lebih mendesak daripada fakta adalah sesuatu yang bijak.
Agar mitos tidak sekedar menyampaikan keburaman sebuah fakta, maka ia memerlukan pendapat untuk menilai, bahkan menyimpulkan. Untuk itu, mitos harus melalui pertimbangan yang cermat dalam menyelidiki empiris yang tidak sesuai. Sangat nyaman memang, bila dunia dapat membebaskan permasalahan fakta dan mitos, meski kenyataannya tidak selalu ideal.
Memiliki pengalaman subyektif merupakan sebuah kejadian fakta. Kita dapat mencegah potensi perdebatan dengan membatasi polemik fakta melalui verifikasi pihak lain. Preferensi saya soal rekam jejak semestinya dapat ditunjukkan sebagai eksperimen melalui pengamatan perilaku. Meskipun, orang lain tidak dapat memverifikasi preferensi seseorang secara independen, karena sang calon bisa saja berpura-pura.
Targetnya, kita mampu memahami bahwa atmosfer mengandung banyak nitrogen dan karbondioksida dengan berbagi penelitian untuk memastikan kebenaran. Kita perlu menyepakati nilai-nilai mitos tertentu secara rasional untuk menentukan suatu kebenaran. Tidak elok mempertentangkan fakta dan mitos, karena keduanya memiliki fungsi serta peran yang saling melengkapi dalam pengambilan keputusan.
Dalam kerangka politik, sesungguhnya fakta dan mitos sama-sama berguna. Tanyakan pada calon pengawal bonus demografi, sejauh apa yang akan mereka lakukan bagi masa depan. Dan, ketika mereka merespon tidak sesuai harapan, maka tinggalkan.
3 Comments