Mengukur Jalan Berliku

Rutinitas bersepeda pagi menyusuri by pass memang sungguh mengasikkan. Sepeda meluncur deras menapaki jalan keluar kota serasa bebas hambatan. Namun ketika arah sebaliknya, antrean lampu teel menghambat laju sepedaku, laksana ingin berbelok menembus jalan pintas.

Suatu saat saya tempuh simpangan jalan daripada menit tersita oleh rambu merah. Meski awalnya ragu, tak pelak berujung pada pertemuan jalur awal. Sialnya, sekali sukses sisanya gagal dan gagal. Dalam keputusasaan kuputar arah sepeda menuju jalan utama kembali, meski akhirnya terlambat tiba di kos-kosan.

Pagi itu saya menyerap pelajaran hidup akan pentingnya sebuah proses dalam menggapai hasil. Sepanjang perjalanan berbagai tantangan menghadang untuk tiba pada satu tujuan. Layaknya berpolitikberpolitik, proses berkelak-kelok cukup mewakili para politikus dalam menghargai sebuah proses.

***

Menyitir pernyataan Eep Saifulloh Fatah dalam sebuah acara talkshow lalu, politikus muda saat ini justru melakukan politik tua. Situasi ini tentu membuat banyak kalangan prihatin. Alih-alih meritokrasi berjalan baik, para politikus muda justru memilih jalan pintas meraih sebuah posisi.

Anda tentu paham dengan maksud saya, belum lama ini sebuah partai melantik seorang anggota baru menjadi pemimpin puncak di partai tersebut. Menyusul berikutnya seorang kepala daerah lolos mendaftar cawapres di KPU. Suara sumbang berhamburan di luar, kedua figur melesat bak meteor berkat pengaruh keluarga.

Filosofi bersepeda mengajarkan, seseorang sebelum tiba tujuan, akan menghadapi berbagai rintangan, tersesat, salah arah, tanjakan, tikungan, dan lampu merah. Anda tidak bisa minta bantuan siapapun kecuali diri sendiri, semuanya harus anda lalui hingga finish. Jika anda bertemu lampu merah, berhentilah, bukan membalik arah lampu, dan anda bebas “ngeloyor”.

Adanya peta pintar, tetap “mbah google” bisa berkhianat menjerumuskan pengendara termasuk terhadap kita semua. Ingat pesan bijak, secanggih-canggih piranti tetap buatan manusia. Survey membuktikan, dalam acara debat cawapres, tiga alat bantu menempel di wajah, tetap saja terdengar desahan suara manusia, “Sudah.”

Perjalanan raya tidak bisa dilepaskan dari e-Tilang. Di beberapa kota besar sudah menerapkan tindak langgar berbasis elektronik ini, termasuk Denpasar. Tahukah man-teman, sebelum berlaku tentu melalui pengenalan dulu. Bukan seperti putusan em “usia cawapres” ka, saat pengundangan saat itu pula pemberlakuan.

Kita semua paham karena ada target utamanya, tapi biarkan saja. Poin yang hendak kita bahas adalah katabelece untuk memuluskan putra mahkota. Lagi-lagi putusan sang paman memangkas proses politik keponakan tersayang.

***

Kembali ke laptop, berproses di jalan raya penting sebagaimana mengukur jalan politik menuju kota kekuasaan. Politikus muda penting mengerti politik berproses, jauhi aji mumpung, serakah, terpenting tinggikan umum mendahului pribadi. Politik muda bukan semata-mata hasil, tapi proses jauh lebih membekas sepanjang hayat.

Bahwa kesempatan tidak datang dua kali setuju, namun mewaspadai kesiapan paripurna ketika peluang tiba sangat setuju. Penting untuk paham, kekuasaan bukan milik orang per orang melainkan rakyat. Thus, meski orangtua punya mau, sudahkah rakyat setuju.

Memahami kekuasaan sebagai tanggung jawab membuat seseorang berproses. Menerima kekuasaan sebagai mata pencaharian mendekatkan seseorang pada jalan pintas. Mendahulukan tanggung jawab mata pencaharian mengikuti juga membutuhkan sebuah proses.