Lelaki di Kursi Roda

Lelaki di Kursi Roda
Sumber Foto : pexels-marcus-aurelius-4064339

Secangkir kopi panas di depanku masih utuh. Dua potong ubi goreng kesukaanku belum tersentuh juga. Seleraku tiba-tiba lenyap terbawa angin pagi. Ingin beranjak dari kursi siap-siap ke RS untuk fisioterapi, tetapi bayangan itu seolah menggangguku. Mengingat jadual terapi telah tersusun petugas, rasanya kurang etis bila membuat jadual sendiri di hari lain.

Pertemuan tak sengaja tempo hari benar-benar menyita pikiranku. Luka lama yang sudah kering seakan dikorek kembali. Meskipun masih bisa mengantisipasi, tapi kekhawatiran bertemu lagi selalu menghantui. Mungkin aku yang baper karena dari sekian kali terapi selalu bertemu dengan orang-orang yang sama.

*

Sejak kecelakaan motor tunggal sebulan lalu, ada sedikit keluhan di punggungku bagian kanan. Dokter saraf menyarankan fisioterapi seminggu sekali. Sebelum sampai di ruang fisioterapi, aku harus melewati beberapa kursi yang berjejer rapi bagi pasien yang tak tertampung dalam ruangan.

Jam menunjukkan pukul 08.00 ketika kudengar satu per satu pasien di poli sebelah dipanggil. Makin siang pasien yang datang makin banyak dan hampir tak ada kursi di ruang tunggu yang kosong. Sejak aku duduk di ruang tunggu ada sebuah pemandangan yang sempat menarik perhatianku.

Kulihat seorang lelaki duduk di kursi roda dengan diantar seorang perempuan yang sepertinya aku kenal sebagai tetangga masa kecil. Tempat duduk kami memang tak berdekatan, sehingga aku bisa dengan seksama memperhatikan tanpa mereka tahu. Aku tak mengenal siapa yang ada di kursi roda. Rambutnya sebagian memutih, berkemeja hitam dan bermasker.

Hingga hampir satu jam di ruang tunggu, lelaki itu masih di kursi roda dengan posisi sedikit jauh di sebelah kananku. Aku penasaran. Siapa gerangan yang diantar mbak Darti, tetanggaku, sedangkan yang kuingat dia sudah lama menjanda. Mungkinkah suami barunya? Ah, aku tiba-tiba menduga-duga.

 

Di puncak lamunanku sambil menunggu nomor antrian dipanggil, tiba-tiba ada yang mendekat dan bertanya padaku.

“Dik Windi sakit apa?” Mbak Darti sekonyong duduk di sebelahku sebelum aku menyapanya.

“Eh! Mbak Darti. Aku tidak sakit kok, Mbak, emm, mau terapi punggung,” aku menjawab dengan gugup lantaran kaget sambil mataku mencari-cari ke mana ibu sebelahku tadi. Rupanya telah dipanggil ke ruang periksa saat aku asyik dalam lamunan.

Ada sesuatu yang sempat berdesir di dadaku manakala secara spontan mataku beradu dengan pasien di kursi roda itu. Ketika mataku mencari ibu yang semula duduk di sebelahku, lelaki itu menoleh ke kiri, dan pandangan kami sempat beradu beberapa detik. Jantungku seakan mau meloncat dari raga, tertahan, lalu berdetak kuat tanpa mampu aku cegah. Apakah ini mimpi?

Aku sangat mengenal sorot mata itu. Walau sekilas aku sempat melihat alis kirinya yang hanya tinggal separuh. Aku tahu siapa pemilik alis dan siapa pemilik sorot mata tersebut. Meski badannya terlihat kurus dengan mata yang cekung, aku masih mampu mengenalinya.

Ah! Mata itu yang dulu sering memaksaku menyimpan titik-titik rindu. Mata yang tampak segaris manakala tertawa riang. Sorotnya yang teduh sempat membuatku mabuk kepayang. Efek teduhnya nan menghujam dalam tak mampu aku tahan. Masihkah kutemukan di sana? Di bawah alis separuh? Di wajah tirus nan layu?

Keyakinanku semakin kuat dengan hadirnya mbah Darti yang mengantarnya. Dalam hati muncul beberapa pertanyaan; mengapa harus mbak Darti, di mana keluarganya, dia sakit apa sehingga badannya kurus kering? Dan seterusnya. Ah! Lagi-lagi hatiku penuh tanya.

Roman picisan itu sudah lama berlalu. Tak ada janji ataupun sumpah, kami sepakat menuntut ilmu di SMA yang sama. Saling memperhatikan dan saling menyemangati sudah terbentuk sejak lama. Teman bermain dari kecil yang berujung saling menyayangi hingga remaja. Cinta monyet atau apalah kata teman-temanku, aku tak peduli. Kami sangat dekat hingga suatu saat ternyata ada yang lebih dekat di hatinya selain aku.

Menjelang ujian akhir dia kabur dari sekolah tanpa ada keterangan. Orang tua dan saudaranya juga tidak tahu kemana dia menghilang. Hatiku sempat patah berkeping. Merasa dikhianati dan itu terasa amat sakit. Dia menghilang dari rumah tidak sendiri, tapi bersama sahabat karibku yang diam-diam ia cintai.

“Dik Windi ke RS dengan siapa?” Mbak Darti membuyarkan lamunanku.

“Sendiri, Mbk.” Ingin bertanya balik tentang siapa yang diantar, mulutku terasa kelu.

“Ohya, aku mengantar adikku, Priyo. Stroke ringan membuatnya sulit bicara dan mulai hari ini dokter menyarankan harus diterapi di sini,” terang mbak Darti tanpa kutanya.

“Kok tidak bersama istrinya, Mbk?” Aku keceplosan bertanya karena sudah tak tahan ingin tahu tentangnya. Ingin tahu sebahagia apa hidupnya sejak meninggalkanku tanpa berita.

“Istri dan anaknya pergi meninggalkan Priyo ketika dia kena PHK beberapa tahun lalu. Dia hidup sendiri di tanah rantau dan aku yang memintanya pulang ke kampung karena dia butuh perawatan,” kulihat mata mbak Darti berkaca-kaca saat mengucapkan itu.

Seolah ada sorak sorai di dadaku mendengar kisah hidupnya walau sepucuk. Mungkin aku jahat, tapi aku yakin dia tak pernah tahu atau tak ingin tahu betapa terpuruknya aku ketika dia lari dari sisiku.

“Semalam dia sempat menangis seperti anak kecil menyesali semua perbuatannya di masa lalu,” lanjut mbak Darti.

“Dia cium kakiku sambil meminta maaf. Aku tak sampai hati, Dik Windi. Dia juga ingin meminta maaf padamu, Dik Windi mau memaafkan dia ‘kan?” mbak Darti memandangku penuh harap. Segera kubuang pandanganku ke lelaki di kursi roda itu, Priyo. Dia menunduk. Entah apa yang ada dipikirannya. Aku pasti akan merasa lega jika dia jentelmen mengakui perbuatannya. Tapi, ah, sudahlah.

“Bu Windi Saraswati!” Seorang perawat memanggilku untuk masuk ke ruang fisioterapi sebelum aku sempat menjawab pertanyaan mbak Darti.

Aku pamit padanya untuk masuk ruangan lebih dulu, dia mengangguk. Sempat kutangkap ada bulir bening di sudut matanya.

*

Semangat ingin sembuh, ingin sehat dan ingin beraktivitas tanpa keluhan seperti sebelum kecelakaan, akhirnya membawa langkahku menuju RS. Saran dokter, aku harus menjalani terapi punggung sampai tak ada keluhan yang berarti. Aku sudah siap andai ketemu Priyo dan mbak Darti lagi karena jadual terapi kadang bersamaan.

Firasatku tak meleset. Saat aku tiba di RS ternyata Priyo sudah datang lebih dulu. Masih tampak kuyu dan layu. Mbak Darti tersenyum melihat kedatanganku. Kulirik Priyo di sampingnya. Tiba-tiba ada semacam dorongan agar aku mendekat padanya. Badannya sangat kurus. Di mataku dia tak lebih bagai tulang dibungkus kulit yang bernyawa. Haruskah kubalas rasa sakit hatiku disaat dia sendiri sudah payah seperti itu? Haruskah kusimpan dendam ini?

Dengan mental yang sudah kusiapkan dari rumah, aku mendekati Priyo. Aku tak ingin tampak lemah di matanya, perempuan tangguh meski pernah terkoyak hatinya karenanya. Ku dekati dia dan kupanggil namanya lirih. Sengaja aku tatap tajam mata yang dulu sangat aku kagumi. Dia pandang aku dengan mata sayu berembun dan rona pipi pucat pasi. Sorot teduh yang aku cari kini hilang, berganti sejumlah kristal bening yang aku yakin dalam hitungan detik akan memecah berhamburan di pipinya.

Dulu, lukaku memang tak selebar dan sedalam sungai Gangga di India. Namun, aku berjuang sekuat tenaga untuk menyembuhkannya. Sendiri. Tak ingin berlarut dalam kepedihan, aku berusaha bangkit mencari cara agar memiliki pemaafan seluas samudra. Demi tak terselip dendam di relung hatiku yang dalam, aku bisikkan di telinganya pelan. “Aku sudah memaafkan kamu.”