Dulu, saya sering membercandai loper koran yang menawarkan dagangannya saat berada di kawasan lampu merah.
“Korannya, Mbak?”
“Nggak mau,Mas. Masak sudah bayar juga harus membaca”.
Meskipun saya tetap membeli koran tersebut dan membacanya.
Becandaan saya sebenarnya realitas yang terjadi di sekitar kita saat ini. Kesadaran masyarakat untuk membaca, baik buku maupun media massa-saat itu media cetak, belumlah signifikan. Bahkan sampai saat ini. Apalagi jika membacanya itu harus mengeluarkan biaya. Seperti membaca informasi dan ilmu pengetahuan yang ada di media cetak maupun online.
Data minat baca masyarakat Indonesia belum bisa dikatakan tinggi, namun, dalam hal mengakses internet, menurut data kominfo tahun 2021 indonesia masuk 4 besar dunia, yakni mencapai 206,3 juta orang , suatu angka yang sangat fantastis.
Dan di antara kegiatan mengakses internet itu antara lain adalah membaca berbagai informasi. Baik dalam bentuk teks, visual, maupun audiovisual. Baik itu kegiatan literasi atau sekadar mencari hiburan saja.
Pada era kejayaan media cetak, dapat dikatakan pembacanya adalah benar-benar orang yang memiliki minat baca yang tinggi. Memiliki keingintahuan dan kepedulian atas sesuatu yang “Happening”, lalu meresponnya dalam bahasa verbal melalui diskusi-diskusi di warung kopi.
Selain memiliki minat baca yang tinggi, mereka juga rela membayar untuk mendapatkan yang mereka inginkan dari media tersebut. Seperti informasi, ilmu pengetahuan, berita global, dan lain sebagainya.
**
Di era serba digital ini, untuk tetap bertahan, media-media mainstream mau tidak mau harus bersahabat dengan perkembangan zaman. Mereka membuat versi platform digital agar bersentuhan dengan pembaca (konsumen). Dengan cara itulah sebuah media bisa bertahan hidup dan bernapas, meskipun bukan sebagai satu-satunya cara.
Sehingga dunia jurnalistik tidak lagi sekadar tentang memberikan dan menginformasikan kebenaran, data, dan fakta. Akan tetapi, sudah merambah sebagai dunia industri. Dan ia berperan penting dalam membentuk suatu negara. Dapat dikatakan suatu negara bisa dikenal dan diwakili oleh kualitas medianya.
Jika suatu negara memiliki media yang independen dan tidak memiliki kepentingan apapun seperti campur tangan politik dan lainnya, bisa disimpulkan media tersebut akan menghasilkan konten-konten yang terbaik.
Sebuah media yang ideal, berpihak dan berkomitmen dalam memberikan edukasi dan wadah berbagi gagasan positif, realitasnya justru “megap-megap” dalam membiayai operasionalnya, juga masih “deladapan” menggali dana, minim kreativitas dalam mengelola.
sementara media besar yang rentan dengan berbagai kepentingan telah dibiayai “orang-orang berduit” sebagai alat propagandanya.
*
There are only two things can be lightening the world. The sun light in the sky and the press in the earth
Hanya ada dua hal yang membuat terang di bumi ini, yaitu sinar matahari di langit dan pers di bumi
(International Journalist-Mark Twain)
Dari kalimat bijak milik jurnalis ternama Mark Twain sebenarnya tersirat tentang peran media sebagai sesuatu yang bisa mencerahkan masyarakat. Diibaratkan matahari. Salah satu fungsinya adalah mengedukasi masyarakat. Hanya saja, eksistensi media untuk memberikan fungsi edukatifnya pada masyarakat kadang bagaikan “gayung yang tidak bersambut”.
Kebutuhan masyarakat untuk mengakses media lebih banyak pada konten-konten hiburan dan sosial media.
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Juni 2022, berikut ini deretan konten yang paling sering diakses oleh masyarakat Indonesia, antara lain : (1) Media sosial, 89,15% (2) Chatting Online 73,86% (3) Belanja Online 21,26% (4) Game Online 14,23 % (5) Portal berita 11,98% dan (6)Transportasi Online 9,27%.
Antara idealisme memberikan pencerahan dan pertarungan untuk mempertahankan kehidupan media, memang terlihat sangat kontras. Agar bisa hidup, sebuah media harus menyediakan konten-konten yang disukai masyarakat. Dari iklan dan “traffic” itulah sebuah media saat ini bisa bertahan. Meskipun ada beberapa media besar seperti Kompas, Media Indonesia, dan Tempo memiliki bidang usaha lainnya.
Kecenderungan masyarakat Indonesia yang “enggan” berlangganan untuk mendapatkan informasi yang berkualitas, serasa “jauh panggang dari api”, yang menggambarkan antara media yang berperan mengedukasi masyarakat dan memenuhi selera pasar demi keberlangsungannya.
Ternyata tingginya minat baca di era digital, bukan tentang “membaca” dalam arti sebenarnya yang bisa menambah wawasan dan ilmu, akan tetapi jauh dari hal-hal tersebut.
Meskipun demikian, masih ada harapan besar yang muncul dari orang-orang yang peduli dalam meningkatkan kesadaran membaca di negara kita, dengan massifnya arus informasi di era digital ini, yakni para penulis produktif yang ikut serta memberikan kontribusi gagasan dan pengetahuan di berbagai media maupun orang-orang yang berkorban mengeluarkan biaya untuk mendirikan sebuah media.
Merebut ruang-ruang yang jauh dari konten nonedukatif, maka media yang kukuh bertahan tetap ideal memberikan konten-konten yang mencerahkan sekaligus menarik dan menghibur, diharapkan menggugah kesadaran masyarakat agar mau “membaca” dalam arti yang sebenarnya.*
Asrama MAN 2 Mojokerto, 24 Juni 2022 11.15
*) Penulis merupakan guru MAN 2 Mojokerto, Redaktur dan tim kreatif Elipsis, tinggal di Kota Mojokerto
Sumber gambar : https://www.popmama.com/big-kid/6-9-years-old/sysilia-tanhati/cara-untuk-meningkatkan-minat-baca-anak
Tinggalkan Balasan