Minggu ini saya hanya menghabiskan waktu di kamar kos, seperti biasanya setelah bersih-bersih saya menikmati hari libur dengan melihat hiburan di youtube. Banyak hal yang bisa saya dapatkan dari youtube, mulai dari ilmu pendidikan, musik, cerita humor dan sebagainya, yang penting pintar-pintar kita saja dalam memilih berita yang bermanfaat.
Mata saya tertuju pada channel youtube miliki kak Rachel Goddard, salah satu youtuber yang sering saya tonton karena cara bertutur kata yang enak dan cerita-cerita yang dibawakan membuat saya berfikir, hah….ternyata di luar sana ada hal-hal seperti ini ya….?
Kali ini dia membuat judul cerita “Mengsedih! Curhatan Para Sandwich Generation #CuTime”. Melihat judul itu saya jadi penasaran dengan kata sandwich generation, memangnya apa sih sandwich generation itu? Apakah ada generasi baru lagi setelah muncul istilah generasi x,y,z dan alpha?
Istilah sandwich generation pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Miller dalam papernya yang berjudul “The Sandwich Generation: Adult Children of The Aging”. Seperti halnya sandwich yang terdiri dari daging dan sayuran yang terhimpit dengan roti lapis, sandwich generation atau generasi sandwich adalah generasi yang terhimpit oleh dua keadaan, yaitu harus mensuport anak-anaknya sebagai tanggung jawabnya sekaligus orangtua karena suatu kewajiban atau siapa lagi yang harus menolong. Hmmm…..okay, fenomena seperti ini sepertinya sudah umum terjadi di sekitar kita, bahkan sepertinya orangtua dan kakek nenek kita pernah mengalaminya. Tapi, apakah ini wajar? Dan kenapa akhir-akhir ini fenomena sandwinch generation banyak dibahas lagi dan menjadi sebuah perdebatan?
Tekanan dari segala arah
Jika membayangkan makanan sandwich pasti sangat menggiurkan bukan? Tapi bagaimana dengan sandwich generation, apakah senikmat makanan sandwich?
Sayangnya tidak demikian teman-teman, faktanya karena tekanan harus mengurusi keluarga secara terus-menerus membuat para sandwich generation sering merasakan depresi dan terisolasi. Ya siapa yang gak bakal depresi, kadang mengurusi diri kita sendiri saja kita suka depresi kok. Kalau tidak percaya lihat saja di TikTok, banyak anak muda dikit-dikit bikin video healing.
Biasanya yang menjadi generasi sandwich adalah orang-orang di usia 30-40 tahun, tapi adapula anak-anak muda di usia belia yang sudah terjebak dalam situasi sandwich generation. Banyak alasan mengapa mereka bisa berada dalam situasi tersebut, misalnya berperan sebagai anak pertama, terlahir sebagai anak tunggal, memiliki finansial yang mapan, dan sebagainya. Melihat fenomena ini saya merasa sedih, apalagi jika demi memenuhi kebutuhan yang lainnya para sandwich generation jarang sekali memikirkan kebutuhan untuk dirinya sendiri, seperti karir, cita-cita bahkan ada pula yang menunda untuk menikah.
Kebahagiaan sebagai alibi
Alih-alih memikirkan satu sama lain, ada beberapa pelaku sandwich generation yang didasari oleh rasa ingin tercukupi, padahal jelas-jelas kemampuan ekonomi tidak mendukung sama sekali. Keingingan memiliki kebahagiaan dari masing-masing pihak akhirnya menekan pihak yang terlihat bisa diandalkan. Saya tidak masalah jika memang kondisi keluarga sandwich generation ini sangat memprihatinkan, misalnya menghidupi orang tua yang sakit-sakitan, makanan, serta kebutuhan pokok sehari-hari. Bukankah itu merupakan suatu hal yang mulia? Karena secara tidak langsung kita diberikan kesempatan untuk berbakti kepada orang tua. Selain itu, saat kita memiliki seorang anak pasti kita menginginkan yang terbaik. Bahkan kalau perlu orang tua akan banting tulang demi bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang paling favorit.
Tapi bagaimana jika saudara yang sehat jasmani, rohani, dan mampu untuk mencari nafkah sendiri juga ikut-ikutan minta sumbangsih? Dengan embel-embel hubungan saudara, seolah-olah bisa dijadikan alasan agar membantu ekonomi mereka. Saya pikir mereka ini adalah salah satu orang-orang yang egois, memikirkan kebahagiaanya sendiri. Okelah jika sekali-kali membantu, tapi jika untuk berkelanjutan dan rutin saya rasa setiap individu berhak untuk menolak dan memilih mana yang harus diprioritaskan oleh mereka. Memangnya definisi bahagia itu harus terpenuhi, bersyukur itu juga penting lhoo….
Saya ingin putus
Ngomongin tentang sandwich generation, saya rasa beberapa dari teman-teman di luar sana pasti sudah ada yang terjebak dalam situasi ini. Tapi kamu jangan khawatir, apalagi untuk teman-teman yang nantinya akan beranjak dewasa dan bisa jadi akan berada pada situasi yang serupa.
Meskipun hidup ditengah-tengah generasi sandwich, tapi kamu bisa merancang amunisi agar sandwich generation tidak menjadi sebuah kewajiban atau tradisi dalam keluarga. Misalnya saja belajar mengelola uang, mempersiapkan keuangan atau dana pensiun saat tua nanti, berhenti untuk memaksakan kehendak, dan yang paling penting adalah komunikasi dalam keluarga. Hmmm…kok sepertinya susah ya, apalagi yang harus dihadapi keluarga sendiri.
Memang tidak mudah untuk melakukannya, tapi jika tidak dimulai dari sekarang kapan lagi?
Semoga teman-teman sadar pentingnya memutus rantai sandwich generation, bukan karena ingin membangkang kepada keluarga, apalagi orang tua. Tapi jangan sampai niat baik yang kita lakukan menjadi senjata bagi kita dan anak cucu kita nanti.
Ainur Rochmah,
Seorang wanita karir yang bekerja di bidang seni rupa. Dia ingin mencoba menuangkan sedikit pengalaman dan pemikirannya dalam sebuah tulisan. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected] dan instagram @ainnyun
Sumber gambar: https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/gaya-hidup/pr-072720602/ini-lima-tips-sederhana-agar-bisa-keluar-dari-sandwich-generation
Tinggalkan Balasan