Pernahkah Anda bertemu seseorang yang banyak bicara, membual dan menguasai pembicaraan? Komentar-komentarnya pun terkadang negatif, sindiran, tidak penting, dan menyinggung perasaan Anda. Kalian ingat di sebuah acara Mata Nazwa, saat Arteria Dahlan memaki-maki Ekonom Senior Emil Salim beberapa waktu silam. Politikus PDIP itu hampir tidak memberi kesempatan lawan bicara, hingga Host Nazwa Shihab perlu harus memotong pembicaraan Arteria untuk memberi kesempatan lawan bicara.
Sebagai penonton, kita gemas melihat perdebatan tak berimbang seperti itu, maksud hati ingin membantu Pak Emil tapi bingung bagaimana caranya. Mungkin, Anda berpikir ingin menghardik, tapi ketika mendapat kesempatan, Anda sudah terlambat. Solusinya, pertajam kemampuan mendengarmu sehingga Anda bisa bereaksi secepat kilat.
Dalam pertemanan, saya sendiri sering menanggapi hampir setiap hal yang teman ceritakan, “Ya ampun, aku juga! Aku jadi ingat waktu aku mengalami itu.” Bisa jadi Anda seperti saya, yang secara naluriah ingin menunjukkan bukti ikatan yang sama. Bagi beberapa orang kebiasaan ini terasa alami, namun sebagian lainnya justru membuat orang lain tersinggung atau geram.
Pengungkapan diri melalui bicara merupakan upaya memamerkan sesuatu dari dirinya untuk membentuk ikatan batin dengan orang lain. Bicara, selain untuk memperdalam keintiman sebuah persahabatan sekaligus membuat kerentanan. Bicara dapat menyentuh emosi, menumbuhkan kepercayaan serta menjalin hubungan antar manusia.
Menurut riset, perempuan biasanya lebih banyak melakukan pengungkapan diri ketimbang laki-laki. Perempuan lebih terbuka secara sosial saat mengalami masalah, laki-laki cenderung lebih tertutup. Lantas, apakah keterbukaan selalu menguntungkan? Mari kita diskusikan.
***
Menguasai percakapan tidak selalu bermanfaat, sebaliknya pasif saat menghadapi teman bercerita juga tidak baik. Harus ada keberimbangan, karena pengungkapan diri yang efektif seharusnya dua arah. Mengapa kita memiliki dua telinga satu mulut? Ya agar kita lebih banyak mendengar ketimbang berbicara, sederhananya dengar, dengar, setelahnya bicara.
Memotong pembicaraan orang seperti, “Oh ya, aku juga mengalaminya” menurunkan nafsu percakapan, dan temanmu merasa Anda tidak mendengarkan ceritanya mulai awal. Kebiasaan ini membuat seseorang merasa tidak adil. Jika temanmu baru saja memberi tahu Anda tentang beberapa pengalamannya, beri dia ruang yang cukup untuk mengungkapkan.
Suatu saat saya bermaksud menaruh empati atas peristiwa kehilangan yang dialami seorang teman. Saya menghiburnya seolah-olah saya mengalami nasib sama, hasilnya justru kian memperburuk suasana penghiburan tersebut. Ternyata, pengalaman saat hampir kehilangan barang yang kamu sayangi tidak sama dengan pengalaman temanmu yang benar-benar kehilangan.
Kadang-kadang, seseorang langsung memberikan nasehat seolah merasakan pengalaman serupa, meskipun keliru tempat. Realitanya, pengalaman dan kapasitas seseorang berbeda-beda. Upaya Anda untuk “membantu” mungkin membuat temanmu merasa malu karena merasa tidak dapat menyelesaikan masalahnya semudah Anda melakukan.
***
Moody menjadi titik awal tidak lancarnya sebuah percakapan. Ketika seorang sahabat bercerita tentang kesedihan dan Anda membandingkannya dengan pengalamanmu sendiri, dari sanalah awal terjadinya konflik. Kesedihan bisa menjadi pengalaman yang sangat mengkhawatirkan.
Suatu waktu saya dan beberapa teman mendatangi seorang teman yang kehilangan istri tercintanya. Seketika kami langsung berkerumun menemani, seketika itu dia terlihat sangat sibuk dan terhibur. Tapi, dalam beberpa hari atau minggu kemudian temanmu akan terjebak kesedihan lagi, padahal semua orang telah kembali pada kehidupan normal.
Teman dekat sekalipun tidak akan pernah tahu bagaimana meredakan kesedihan yang dialami temannya. Dia akan berusaha sekuat tenaga membantu berbicara tentang pengalamannya sendiri agar segera move on. Terpenting, adalah mendengar dan menyediakan waktu pada orang yang sedang berduka untuk menumpahkan emosinya.
Pengungkapan diri yang berujung perselisihan tidak selalu tentang kesedihan. Meskipun terkesan biasa saja, menceritakan pencapaian pun bisa menimbulkan kejengkelan. Anda senang dengan pencapaian kecil, meskipun setelah menceritakannya ke orang lain, responnya justru tidak melegakan karena ternyata temanmu pernah melakukannya. Hehehe.
Maka, jika Anda adalah tipikal orang yang suka menceritakan pengalaman keberhasilanmu, bersiap-siaplah untuk tidak buru-buru melakukannya. Secara tidak sengaja, temanmu akan membaca sebagai bentuk persaingan. Meskipun kita tahu pengungkapan diri bukanlah kompetisi.
***
Sepertinya mengungkapkan diri tidak selalu berdampak buruk. Berbagi pengalaman hidup bisa menjadi awal yang baik bagi sebuah hubungan yang serius. Kita tidak ingin “mengecilkan” kegembiraan kita sendiri akibat selalu khawatir euforianya akan memengaruhi orang lain. Pada akhirnya, kita perlu membiarkan satu dengan lainnya menikmati kegembiraan, kesedihan, dan kemarahan masing-masing.
Saling memberi ruang dan waktu untuk merasakan emosi adalah kuncinya. Jangan lupa menyiapkan beberapa pertanyaan saat teman Anda menceritakan kisahnya. Beri ruang dan waktu teman kita untuk merenungkan pengalaman mengharukan sekalipun, sebelum Anda menceritakan pengalamanmu sendiri.
Manusia memiliki dua telinga dan satu mulut, hal ini bermakna mengawali pengungkapan diri dengan mendengar, lalu mendengar, barulah berbicara. Niscaya jika ini dilakukan dapat memperdalam hubungan dengan temanmu. Tapi, Anda harus bersiap, bahwa menceritakan pengalamanmu bisa jadi justru tidak akan terlalu membantu.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.
Tinggalkan Balasan