Botak Keren: Sejarah Kebotakan dari Masa ke Masa

Foto oleh pexels furkanfdemir

Orang-orang dulu lebih menghargai kebotakan daripada orang-orang sekarang. Peran iklan berkontribusi mengkarakterkan kebotakan sebagai sesuatu yang merugikan.

Botak Keren: Sejarah Kebotakan dari Masa ke Masa

 

Persidangan mantan petinggi Polri belakangan ini cukup menyita perhatian masyarakat. Mulai kasus Pak FS dengan penampilan tegas, sopan, berwibawa, hingga Pak TM yang berpenampilan rapi, kasar, serta berkepala plontos. Kepala plontos atau botak selalu trending di masyarakat sejak dulu, meski sepi peminat karena sebagian besar masyarakat masih menganggap “kebotakan” sebagai sesuatu yang aneh.

Deretan aktor laga, seperti Jason Statham, Vin Diesel, dan Bruce Willis berhasil membuat kepala botak menjadi sesuatu yang menjual. Belakangan, gaya botak mulai menjalar ke kita, seperti penampilan magician & potcast Deddy Corbuzier. Namun, peminat kebotakan tetap tidak banyak atau hanya 3% dari 1.356 karakter acara tv populer di Amerika Serikat berdasarkan penelitian tahun 2006.

Ramainya iklan obat anti botak turut mengubah cara pandang seseorang tentang kebotakan. Sebagian masyarakat menganggap botak sebagai estetik, berubah menjadi penyakit yang membutuhkan obat. Beragam penawaran obat dari yang murah hingga mahal, meskipun banyak komplain pelanggan atas khasiat obat yang tidak sesuai ekspektasi.

Hal ini penting, karena penggambaran botak oleh masyarakat modern terlanjur menganggap sebuah penyakit yang merugikan diri sendiri. Di lain sisi, berbagai karya seni bersejarah justru menggambarkan orang botak yang sekaligus mematahkan anggapan botak adalah penyakit dan kerugian. Kebotakan bisa saja simbol orang sehat, sukses, dan baik seperti pria berambut lainnya.

 

Tradisi Botak dari Timur ke Barat

Saya sendiri menyaksikan sejak umur 45 tahun, merasakan ukuran jidatku semakin melebar, dan saya pikir hal ini wajar menimpa orang lain. Meskipun, banyak diantara teman-teman mengalami hal serupa bahkan sebelum umur 40, intinya pria botak memiliki waktu hidup sama dengan pria berambut. Kontradiksi ini terlihat seperti dialami Pangeran Andrew dan Harry dari Inggris, satu botak satunya tidak meski bergaris keturunan sama, sampai-sampai dalam memoir Pangeran Harry menganggap rambut botak yang menimpa sang kakak sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan.

Menjawab kekhawatiran Harry, para peneliti sosial justru tertarik meneliti kebotakan, meski mereka tahu penelitian kebotakan tidak berlaku di jaman dulu. Dalam sejarah kesenian, para pelaku seni rata-rata berkepala botak, kebotakan merupakan hal wajar dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah penelitian mumi, pria lanjut usia mesir kuno rata-rata berkepala botak dan bercampur pria lanjut usia berambut yang mulai menguban.

Mereka mencerminkan kehidupan masyarakat mesir, mulai tukang kebun, pemancing, pengukir, hingga penulis. Mereka tidak membeda-bedakan pria botak dengan pria berambut. Apresiasi terhadap karya seninya, masyarakat mesir menandai pria botak dalam mumifikasi dengan sebutan “garis kebotakan” atau istilah unik lainnya.

Seni lukis eropa juga turut mengapresiasi seseorang yang mengalami kebotakan. Lukisan seorang Belanda botak bernama Adrianus Zuyderland karya Vincent Van Gogh berjudul “The Threshold of Eternity (1890). Keistimewaan lukisan tersebut justru terletak pada kepala botak Zuyderland.

Orang-orang botak sudah lama teridealisasi di bidang kesenian. Sebuah lukisan berjudul “The Eternal Father”oleh Paolo Veronese (Abad 16) melukiskan Tuhan berambut botak sedang membuat keajaiban. Lukisan orang botak sedang menikmati makan siang di sebuah bar dengan judul Younger’s Man with a Tankard (1793) karya Frans Van Mieris.

Selain pengakuan kebotakan berbasis budaya, bukti historis bidang kepercayaan/agama pun menunjukkan perlawanan terhadap pendapat botak yang mengkhawatirkan. Figur-figur agama seperti Sang Buddha, Santo Kristen, Dewa Fukuroju di Jepang, seluruhnya beridentik dengan kepala plontos. Tokoh-tokoh lain seperti Pendeta Kristen juga menampilkan gaya rambut sisi tebal dan botak bagian tengah, demikian juga Manchu dengan gaya rambut kuncir dan hampir seluruh kepala botak.

 

Iklan yang Berimbang

Masifnya iklan obat tertentu melahirkan sebuah pendapat bahwa kebotakan berdampak mengkhawatirkan. Para ahli menemukan iklan daring anti kebotakan mengkarakterisasi seseorang berambut sebagai yang atraktif, bahagia serta sukses dalam hidupnya. Ironinya, dalam iklan tersebut juga menyebutkan bahwa kebotakan adalah penyakit sehingga membuat para pria tertekan.

Stereotip-stereotip jahat juga melekat pada cerita-cerita film yang diperankan para pria berkepala plontos. Peran-peran tengil, orangtua, sakit-sakitan, tidak luput dari stereotip pria-pria botak. Mayoritas aktor-aktor berkepala plontos berkarakter buruk, bodoh, pemalas di setiap acara televisi.

Perlu membangun optimisme terhadap kebotakan yang justru orang-orang dulu sangat menghargainya. Bukan hanya memanipulasi kebotakan untuk kepentingan bisnis semata, melainkan perlu penyajian berimbang tentang kesulitan-kesulitan mereka. Kebotakan bukan sebuah penyakit yang harus merenggut masa depan secara berlebihan.

 

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.

Menjadi Penikmat Musik

Menggeluti Rasa

Minimalist Mindset

Gelombang Kebahagiaan dalam Adaptasi Hedonik

https://news.detik.com/kolom/d-6581026/mengawal-sumber-daya-geothermal.

 

Yuk, ikuti linimasa Instagram captwapri untuk informasi menarik lainnya!