Mengurai Kerusuhan Sepakbola di Kanjuruan

Beberapa waktu lalu, saya menghadiri pemakaman seorang anak umur lima belas tahun korban kerusuhan penonton pertandingan sepakbola di Stadion Kanjuruan Malang. Dunia persepakbolaan kita kembali ternoda oleh tragedi yang menyebabkan ratusan nyawa melayang secara sia-sia. Media internasional banyak menyayangkan hal tersebut bisa terjadi, bahkan new york time menyebutkan kondisi terburuk dapat dihindari jika aparat sigap serta trampil menghadapi potensi kerusuhan.

Usai pertandingan Arema vs Persebaya, dilaporkan jumlah korban meninggal telah menyentuh angka seratus dua puluh tujuh jiwa, dan bisa bertambah. Bahkan, beberapa sumber menyebutkan, jumlah tersebut telah melampaui jumlah korban kerusuhan pertandingan sepakbola di Ghana dan Inggris. Meski, Peru masih mendominasi dengan tiga ratus korban jiwa, tetap saja membuat miris kita semua dengan kehilangan generasi penerus tongkat estafet negeri ini.

Linimasa ramai menyoroti buruknya kinerja aparat kepolisian, panitia pelaksana, asosiasi sepakbola, pengurus klub sebagai penanggungjawab pertandingan. Suasana kebatinan kepolisian akibat kasus yang menderanya, mempercepat Pimpinan Tinggi Polri mencopot beberapa pejabat yang terkait langsung dengan kerusuhan Kanjuruan. Meski, Pengurus Arema menyatakan bertanggung jawab atas korban dan keluarga korban, tidak menyurutkan niat masyarakat melayangkan somasi kepada pemerintah.

Adanya upaya pengaburan terhadap sumber penyebab kerusuhan, masyarakat perlu melakukan teguran agar pemerintah dapat membuka dalang kerusuhan secara terang-benderang. Somasi biasa digunakan dalam peristiwa hukum yang berarti teguran dalam perkara perdata sebelum dilakukan gugatan ke pengadilan. Sangat beralasan, mengingat terlalu banyak peristiwa kriminal dikaburkan seolah-olah peristiwa tragedi diluar kemampuan manusia, hanya untuk melindungi kelompok-kelompok tertentu.

Sepakbola merupakan olahraga rakyat, maka tidak mengherankan kehadirannya paling ditunggu-tunggu hingga mampu menyedot puluhan ribu penonton berkumpul dalam satu ruangan raksasa. Mereka terdiri dari pendukung-pendukung fanatik yang ingin menjadi saksi kemenangan bagi tim kesayangannya. Mereka sangat bersedih bahkan merasa berdosa bila dukungannya menderita kekalahan, maka ketidaksiapan atas kenyataan ini membuat api emosinya mudah tersulut.

Sebagai olahraga rakyat yang mendunia, keberadaan sepakbola dilindungi organisasi nasional dan internasional. Segala aturan main ditetapkan oleh induk olahraga sepakbola untuk melindungi pemain, wasit, penonton, pemilik klub, stadion, dll dll. Terciptanya suasana aman dan nyaman tentu menjadi tanggung-jawab seluruh komponen dibawah pengendalian induk olahraga serta diawasi oleh petugas keamanan.

Ancaman keamanan pertandingan sepakbola dipicu beragam sebab berbeda-beda. Mulai faktor tempat, faktor karakter manusia, faktor budaya dan masih banyak lagi. Faktor manusia menjadi sangat dominan dalam kondisi seperti ini, pemain diharapkan bermain secara fair, wasit harus mampu memimpin secara adil, penonton tertib menerima kemenangan dan kekalahan, dan petugas keamanan harus mampu bertindak sigap menghalau setiap potensi kerusuhan massa.

Kejadian di Stadion Kanjuruan lalu mengubah potensi menjadi fakta. Menurut sumber terdapat seratus dua puluh sembilan korban meninggal dunia. Tragedi Kanjuruhan meninggalkan duka mendalam bagi dunia sepak bola di tanah air. Peristiwa yang terjadi pada Sabtu (1/10) tersebut bermula atas kekalahan Arema Malang atas Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3. Kekalahan Arema di kandangnya sendiri memicu aksi tidak terima dari Aremania yang merupakan pendukung Arema FC.

Suasana semakin mencekam dan bentrok antar suporter pun tak terhindarkan. Aparat yang kewalahan dan kekurangan pasukan, mengambil langkah untuk menembakkan gas air mata ke arah tribun. Hal ini cukup disayangkan oleh beberapa pihak lantaran aksi yang dilakukan pihak keamanan tersebut justru memicu ketegangan para penonton yang saat itu masih berada di tribun untuk berhamburan menjadi jalan keluar.

Penggunaan istilah “Tragedi” sebagaimana disitir dari Merdeka.com diatas, mengingatkan kata bijak yang pernah dilontarkan Joseph Stalin, “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian jutaan orang adalah statistik.” Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa kerusuhan yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia bukan sebuah tragedi, melainkan penting dilakukan evaluasi sebab-sebab kematian. Seluruh fakta-fakta di lapangan harus diungkap dan disampaikan secara lengkap dan benar tanpa ewuh-pakewuh oleh pihak-pihak tertentu.

Harapan masyarakat pemerintah bertindak tegas kepada aparat keamanan yang dinilai tidak mampu mengatasi situasi kegawatan. Semua pihak yang terlibat selama pertandingan sepakbola harus dimintai keterangan sebagai pertanggungjawaban moral yang merenggut nyawa manusia. Pengelola Stadion Kanjuruan turut bertanggung-jawab atas tidak berfungsinya sarana-prasarana stadion yang menyebabkan penonton tidak dapat melakukan evakuasi keluar stadion untuk mencari peluang selamat.

Danang.S.Ajie, Praktisi K3