Angkara Cinta di Tanah Adat

Mantikei sama sekali takbisa beranjak dari kursi tempatnya duduk kala itu. Jantungnya seakan berhenti berdenyut. Tubuhnya mati rasa. Apakah hantu gunung yang melontarkan mayat Harati ke rumah ini? pikirnya. Sekejap lelaki itu merasa lagi bermimpi, tetapi sadar kalau tadi pagi ia telah mandi dan mencecap pahitnya kopi tubruk.

Sejatinya Mantikei adalah seorang lelaki yang punya keberanian selayak naga, tapi demi melihat kilat amarah di mata Harati dan rajah baru di tubuhnya, ia langsung mengkerut buta. Tiga tahun lampau, saat senja kuning, dua mata sumpit beracun ia lesatkan tepat di kepala dan dada Harati, lalu tak lupa membuang jasad lelaki itu di jurang yang nganga. Musykil dipercaya kalau ia abai memastikan bahwa Harati sudahlah mati.

“Dasar bajingan kau! Di mana Danum?!” Dengan logat Dayak-nya, Harati berteriak nyaring, berdiri dengan mandau tanpa sarung yang terhunus, teracung ke depan seakan hendak mengoyak dada Mantikei. Teriakan lelaki itu sungguhlah bergema, hingga bingarnya memenuhi ruangan. Sementara, angin mengembuskan hawa yang panas menyengat.

“Danum ti-tidak bersamaku! Dia sudah kawin dengan orang lain, dengan Syarifudin!” jawab Mantikei yang tanpa sadar mundur beberapa jengkal. Tubuhnya gemetar. Mandau di tangan Harati, sanggup memotong bambu besar dengan sekali tebas dan ia terbayang andai kepalanya yang jadi sasaran.

“Pendusta!” Harati berjalan mendekat dan Mantikei seolah melihat malakulmaut tanpa jubah, lengkap dengan seringainya yang pongah.

***

Pada masa dulu, Mantikei dan Harati adalah dua pemuda yang amat disegani. Mantikei terlahir dari rahim istri seorang tetua, sedangkan Harati terkenal sebab keberaniannya yang tak memandang bulu.

Kehidupan mereka yang tenteram di rimba Meratus, keharmonisan mereka dengan alam, mulai terusik dengan hadirnya perusahaan tambang batu bara di tanah adat yang seyogianya merupakan tanah “tak bertuan”. Namun, sebelum itu, perihal cintalah yang mulanya jadi musabab kedua lelaki itu saling bertikai.

Adalah Danum, gadis serupa kejora yang kecantikannya takbisa ditepis. Gadis yang punya suara lembut dan rambut terurai mayang itu sanggup membuat malam-malam Harati dipenuhi euforia. Hati lelaki gagah itu bak disinari kunang-kunang ketika Danum dengan lapang menerima cintanya. Lalu cinta itu menguar di daun-daun basah, menyala di kebeningan air sungai dan sejuknya rimba raya.

Seiring waktu, ternyata Mantikei bermuram saat melihat kemesraan Danum dan Harati. Alih-alih mau bersatu untuk menuntut hak atas tanah adat yang hendak terenggut kala itu, cinta yang tak berterima lalu sakit hati menjadi alasan mengapa Mantikei mengundang bala di kepalanya, bala yang menginginkan kematian Harati, bala yang berniat merampas cinta Danum secara paksa.

Mantikei kemudian menyusun siasat busuk dengan begitu apik. Ia menunggu, menelisik titik lemah Harati yang diyakini mempunyai ilmu kebal senjata. Melalui tapa brata, ia pun mendapatkan mantra-mantra peluruh.

Hingga di ambang senja yang nahas itu, Harati sedang duduk di tepian sambil memperhatikan Danum yang lagi asyik berenang di anak sungai, tak mengira saat sebuah mata sumpit melesat hingga mengenai dadanya. Tak lama kemudian, lelaki Dayak Meratus itu ambruk dengan tubuh sedikit membiru. Tidak ada suara apa pun yang sanggup keluar lagi, terlebih ketika satu mata sumpit menjadi pelengkap, membuat napasnya tercekat. Gelap menyelimuti rimba raya dalam pandangan Harati.

Sementara Danum, tak jua mengetahui saat tubuh kekasihnya dipanggul, kemudian dibawa pergi.

¹Kur semangat

Meang awis meang

Raya ba upak ne

Radu at mulek pe sara hadi

Jari meang

Radu manang

Hari itu, Harati terbangun di dasar jurang dengan kepayahan. Entah hal apa yang bisa membuatnya “hidup” kembali. Yang jelas, sebelum terbangun, lelaki itu seperti melihat roh leluhur datang dan menari-nari, diiringi tetabuhan yang membuat telinganya terasa pekak.

Dua hal yang ia ingat ketika berhasil keluar dari jurang adalah wajah Danum dan Mantikei yang samar-samar serta rajah unik yang tiba-tiba terukir hampir memenuhi seluruh tubuhnya. Sebelum malam kian gelap, lelaki itu kemudian berjalan ke arah selatan. Ia sempat kehilangan sebagian ingatan, bingung tentang apa yang sudah berlaku.

Sementara di ujung sebelah barat, di tempat cinta Harati dan Danum bersemi, Mantikei kembali merasa patah sebab perasaannya tertolak dua kali. Danum berkata bahwa ia lebih baik mati daripada menikah tanpa cinta di sanubari.

Dalam kerinduan, selama dua tahun tujuh bulan Danum menunggu kedatangan Harati sebelum akhirnya ia bersedia menerima pinangan Syarifudin, seorang lelaki pendatang dari pulau seberang yang punya nyali sebesar Gunung Halau-halau.

***

“A-ampuni aku, Harati,” pinta Mantikei, “aku berkata benar, Danum sudah kawin dengan Syarifudin, pekerja tambang. Tolong, lepaskan aku. Bu-bukan salahku Danum meninggalkanmu.”

“Bukan salahmu? Bukan salahmu, kau kata?!” Harati meradang. “Sungguhlah kau teman yang keji, Mantikei! Kau yang menyumpit, kau buang aku demi merebut Danum. Kau kira aku tak ingat? Kau kira aku bisa mati begitu mudah? Sekarang, kau mau berlepas tangan, ck! Apa kata tetua jika aku membeberkan semuanya?!”

Mantikei jatuh berlutut, sadar kalau ia tak akan bisa membendung kemarahan Harati.

Sejenak kemudian, mandau Harati terangkat tinggi, siap menebas kepala Mantikei.

Slash!

“Mantikei, ayo lekas!” Teriakan nyaring dari luar rumah sontak menghentikan aksi Harati. Mandau pun mengambang di udara.

“Mantikei, semua sudah berkumpul di balai. Pasukan akan segera ke tambang untuk berdemo. Ayolah lekas, kau sudah ditunggu!” Satu teriakan lagi bergema hingga akhirnya Harati berjalan ke luar. Sementara Mantikei mengekor di belakangnya.

Lalu, tercenganglah dua orang yang berteriak tadi. Mereka tentu masih mengenali Harati.

“Panglima Harati?!”

“Ya, aku kembali. Aku kembali setelah gila akibat orang ini!” ujar Harati sambil menunjuk wajah Mantikei.

***

Mereka, masyarakat adat berkalung tulang itu adalah penuntut keadilan. Peluru bisa saja mengenai tubuh, tapi mereka tak gentar. Peluru hanyalah timah, tak akan mampu menembus kulit baja yang dirajah. Setidaknya, itulah yang mereka yakini.

²Pangalat! Kembalikan hutan kami!” Teriakan Harati, sang pemimpin, bergema di kerumunan. Disusul oleh beberapa teriakan lagi. Teriakan itu penuh amarah. Amarah yang lahir dari risau yang terpendam, kekecewaan serentak sebab bumi yang dirusak, kata-kata yang tak diindahkan, hingga akhirnya meledak bagai bom waktu yang habis masa.

Beberapa petugas keamanan perusahaan hanya bisa memandang dengan hati sawan. Sementara para petinggi perusahaan seolah mempunyai ilmu baru, entah ilmu menghilang macam apa, hingga tidak ada yang berani menampakkan batang hidungnya.

Lalu, keadaan menjadi semakin ricuh dan tak lama kemudian satu kepala petugas keamanan jatuh menggelinding. Darah pun membasahi bumi seiring gerimis yang turun tibatiba. Membasahi bumi ayu yang dulu pernah hijau!

Dalam aksi kericuhan itu, tampak Harati berdiri dengan mandau terhunus di samping tubuh yang tergeletak tanpa kepala. Dengan sangat perlahan, ia mengeja satu nama yang tertera di baju korbannya.

“Syari-fudin!”

Harati lalu berdecak, lalu melihat ke arah Mantikei berlari, lalu ia teringat akan Danum, kekasihnya.[]

Banjarbaru, Maret 2023

Catatan:

  1. Mantra Dayak Meratus, bersumber dari Stilistika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya No.2, Oktober 2019.

Artinya: Kering jadi habis kering. Darah di kulitnya berhentilah. Kembali. Ke asal seperti semula. Jadi kering. Berhenti sakit.

  1. Pangalat: Pencuri.

Disclaimer: Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama dan kejadian, bukanlah hal yang disengaja.

 

Karya :  Rie Arshaka

Baca juga:

 

Ikuti terus lini masa captwapri untuk informasi menarik lainnya!