Mengelola Stress atau Dikelola Stress?

Mengelola Stress atau Dikelola Stress

Oleh : Salsabila Rahmadina

“Stress”. Satu kata berjuta makna. Kata ini biasanya tersemat pada seseorang yang terlihat punya beban di atas rata. Stress dan hidup ibarat sepasang sepatu yang selalu berjalan beriringan. Tanpa stress, hidup terasa datar. Tak berwarna. Hambar.  Begitupun hidup tak selamanya berjalan mulus dan itu lumrah. Stress bukanlah sebuah aib atau dosa, namun salah satu nikmat hidup yang harus kita syukuri.

Sebagai seorang mahasiswa kedokteran, stress bukanlah suatu hal asing bagi kami. Bahkan sepertinya di awal menjadi mahasiswa baru pun ada kontrak tersirat mengenai gaya hidup baru yang harus diterima dengan lapang dada, yaitu stress. Tentang beban mata kuliah yang ditanggung, deadline tugas yang tak kunjung reda, belum lagi rentetan ujian yang listnya menunggu untuk diselesaikan. Maka “the power of positive thinking” dan manajemen stress pada diri agaknya butuh berkali-kali didawamkan agar tetap stabil dalam menjalani kehidupan perkuliahan.

Berbicara perihal stress, mungkin kita mengetahui bahwa stress memiliki dampak yang buruk bagi diri, mulai dari masalah kesehatan ataupun hilangnya produktivitas. Namun beberapa pakar psikologi Harvard Business Review berpendapat mengenai banyaknya stress yang kita hadapi dapat menjadi umpan balik positif selama kita memiliki respons yang tepat. Dalam rangka menumbuhkan kontrol diri terhadap stress, kiranya terdapat beberapa tips yang dapat membantu:

  1. Fokuskan pikiran terhadap apa yang dapat kita kendalikan

Sebagai manusia ada banyak hal yang tidak bisa kita kontrol sepenuhnya. Mungkin saat ini keadaan ataupun peran yang kita emban memanglah sulit. Namun, sejatinya kita hanyalah manusia, kemampuan kita pun parsial. Maka belajar membatasi kepemilikan itu jauh lebih menenangkan hidup. Pentingnya menjaga diri untuk tetap waras. Dengan begitu, sehatlah jiwa dan raga. Batasi diri dari membandingkan pencapaian kita dengan orang lain, membatasi dari memikirkan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan, lalu fokus kepada apa yang dapat kita kendalikan dan lakukanlah dengan sepenuh hati. Dengan kita menginternalisasi hal tersebut, menjadi jelas bahwa kita memiliki kekuatan untuk bahagia terlepas dari keadaan kita nantinya.

  1. Persepsimu adalah koentji

Ada pepatah Afrika yang mengatakan,

“When there is no enemy within,the enemies outside cannot hurt you.”

Hal ini bermakna ketika kita menolak membiarkan keraguan apa pun dalam pikiran kita, maka tidak ada keraguan dari orang lain yang bisa mengaburkan penilaian terhadap diri kita sendiri. Ketika kita percaya pada diri sendiri, kita tidak perlu orang lain untuk percaya pada kita. Ini hanya perkara mindset. Semua itu tergantung bagaimana kita menyikapinya, lalu bergerak, dan bertahan selama mungkin yang kita bisa. Sebab orang lain tidak memiliki hak apapun terhadap menjadi siapa kita di hari esok.

  1. Tetapkan skala prioritas

Sebagai manusia yang Tuhan titipkan waktunya 24 jam, sudah seharusnya kita bertanggung jawab terhadap pemberian-Nya yang satu ini. Waktu adalah nikmat yang sering luput disyukuri. Maka janganlah sampai kita terlena untuk sesuatu yang sifatnya sia-sia. Buatlah jadwal untuk mengukur apa yang harus didahulukan dan tunda dahulu sesuatu yang tidak terlalu penting. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari dengan berkata, “Coba kalau waktu itu aku begini..”. Menilik kata Taufik Aulia, Creator of Sabar dan Syukur Tanpa Tapi mengenai perihal waktu,

“ Yang sadis adalah waktu. Dilindasnya yang tak bergerak; dilibasnya yang tak berubah; dihabisinya yang tak berbenah.”

  1. Beda lingkungan, beda nasib

Kalau kata penulis sekaligus pebisnis muda bang Hebbie Agus kurnia dalam blog tulisannya di medium.com,

“Lingkungan yang beda, bisa bawa nasib yang beda. Bertemanlah sama siapa saja. Tapi berteman dekat, ini mesti selektif. Karena ini mempengaruhi pola pikir dan perilaku”.

Sebuah lingkungan akan membentuk kepribadian seseorang. Termasuk perihal  pertemanan. Teman merupakan bagian dari lingkungan yang menjadikan salah satu faktor cerminan diri. Pertahankanlah teman yang tidak segan mengingatkan kita ketika melakukan kesalahan. Ikhlaskan dengan lapang dada teman yang memilih pergi saat kita memutuskan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Karena sejatinya, teman yang baik itu adalah teman yang mengajak kita kepada kebaikan.

Jadi bagaimana? Ingin dikelola stress atau kita yang mengelola stress? Pilihan dikembalikan ke tangan pembaca. Perlu diingat bahwa kita perlu mengelola stabilitas pikiran agar masalah pun tidak semakin pelik. Sugesti baik harus terprogram di alam bawah sadar kita, supaya badan ini dapat terus bekerja dengan produktif. Kalaulah semua yang ada dihadapan kita anggap sebuah beban, maka nanti yang merasakan lelahnya ialah diri kita sendiri. Stress itu akan terbawa kemanapun kita pergi. Akan berbeda jika kita menganggapnya sebagai kesempatan belajar, rasanya semua lebih ringan dilalui.  Semangat dan selamat mengeksplor stressmu!