Menumbuhkan Rasa Empati Sejak Dini

Menumbuhkan Rasa Empati Sejak Dini

Oleh : Lies Lestari

Masih teringat oleh saya berita yang sempat viral pada bulan November 2022, mengenai sebuah video yang menceritakan tentang beberapa pelajar SMK di Tapanuli Selatan yang bertindak tidak terpuji. Saat itu, mereka bersama-sama mengendarai motor, kemudian mereka berhenti menghampiri seorang nenek di pinggir jalan. Salah satu dari mereka turun dari motor sambil menendangkan kakinya kearah nenek itu hingga jatuh tersungkur, akhirnya nenek itu tergopoh-gopoh pergi meninggalkan anak-anak itu.

Ternyata sebelumnya mereka juga telah melakukan pemukulan terhadap nenek itu dengan menggunakan kayu.. Ketika mereka ditanya soal motif tindakannya, mereka jawab “hanya iseng” ringan sekali alasannya, seolah tindakan menganiaya adalah hal yang biasa. Masih banyak lagi hal-hal yang terkait dengan tingkah remaja saat ini, seperti tawuran atau bully terhadap sesama teman, lebih parahnya lagi dilakukan terhadap penderita disabilitas. Hingga akhirnya berujung dengan diamankannya oleh pihak kepolisian untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka

Kejadian-kejadian ini membuat hati jadi miris, di usia mereka yang masih remaja, masih banyak hal yang seharusnya mereka persiapkan untuk masa depan. Masa Remaja adalah masa seorang anak mencari jati dirinya, bagaimana mereka menjalani masa transisi dari seorang anak menuju kedewasaannya. Menurut Fayumi dan Agus Rachman (2014) menyebutkan bahwa pada masa transisi ini remaja mengalami ketidaktentuan dan ketidakpastian, serta banyak sekali mendapatkan godaan atau tarikan-tarikan untuk melakukan perbuatan yang tidak baik dan tidak jelas. Seorang remaja adalah seorang risk taker atau individu yang senang melakukan prilaku yang beresiko (www.kitadanbuahhati.com), apalagi kalau punya teman-teman yang mendukung.

Kepala saya mulai dipenuhi dengan banyak pertanyaan tentang perilaku anak-anak tersebut pada saat usia dini. Bagaimana polah asuh orang tua pada masa tumbuh kembangnya mereka. Bagaimana lingkungan mereka di sekolah dan di rumah. Bagaimana latar belakang orang tua mereka yang dapat mempengaruhi perilaku mereka. Tentunya  kemerosotan moral tidak terjadi  secara tiba-tiba, semua itu adalah akumulasi dari hal-hal yang terkait dengan perkembangan di masa kecil sampai mereka remaja.

Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia pendidikan Anak Usia Dini, saya  belajar banyak dari kejadian-kejadian viral ini. Saya berpikir saat ini adalah waktu yang tepat untuk menumbuhkan rasa empati pada anak-anak didik sejak dini. Pemberian pembelajaran tidak hanya teori semata, tetapi salah satunya adalah anak-anak perlu diajak ke lokasi yang bisa menggambarkan obyek dari tema pembelajaran mengenai budi pekerti.

Hingga pada akhirnya saya, para guru dan para orang tua murid sepakat mengajak murid-murid Paud yang kami bina untuk sowan ke sebuah panti jompo dibawah naungan Dinas Sosial yang dekat dengan lokasi Paud kami. Disana kami menyantuni 20 orang jompo yang terlihat kesepian atau pasrah dengan kondisi mereka. Kami dapati juga orang tua yang dititpkan oleh keluarganya di panti itu, karena sudah tidak sanggup merawatnya. Banyak yang sudah tidak punya keluarga sama sekali, bahkan ada juga yang kondisinya sedang sakit parah tanpa keluarga disampingnya.

Ketika kami datang, wajah-wajah mereka sumringah karena terhibur melihat murid-murid Paud mengunjungi mereka. Anak-anak memberikan hiburan dengan menari, suasana saat itu membuat para jompo ikut terbawa riang, ada yang bertepuk tangan bahkan ada juga yang ikut menari bersama anak-anak. Terlihat interaksi antara mereka, dan saat itulah kesempatan bagi para guru mengarahkan anak-anak cara bersikap kepada orang tua.

Mulailah timbul rasa empati murid-murid dengan sikap yang mereka tunjukkan saat itu.  Anak-anak menganggap para orang tua jompo itu seperti nenek atau kakek mereka, begitu juga sebaliknya, para jompo menganggap murid-murid Paud ini seperti cucu-cucu mereka.  sehingga terbangun perasaan yang bertaut satu sama lain.

Selain itu, penanaman rasa empati pada anak-anak usia dini untuk kaum disabilitas, saya membuat buku-buku cerita yang terkait. Guru-guru akan membacakan buku-buku cerita itu kepada para siswa. Sehingga anak-anak bisa membayangkan dan merasakan bagaimana kalau tubuh mereka lahir tidak sempurna. Beranjak dari hal itu, kami mengingatkan anak-anak untuk selalu bersyukur dengan kondisi tubuh mereka yang sempurna serta menimbulkan rasa simpati kepada orang-orang yang tidak sempurna secara fisik.

Kegiatan yang disajikan ini menjadi pembelajaran yang terintegrasi didalamnya. Anak-anak belajar tentang rasa empati, sopan santun, ketuhanan, kemudian belajar mengenal fungsi anggota tubuh serta cara merawatnya dan hal-hal yang terkait dengan pembentukkan karakter mereka. Harapan kita dengan pembelajaran ini, anak-anak bisa memahami bahwa kelemahan atau kekurangan secara fisik maupun mental bukan hal yang harus di kucilkan terlebih diintimidasi, tetapi di hormati dan diayomi, sebagai bekal pemahaman mereka kelak.