Literasi Sahabat Aanak Usia Dini
Oleh : Lies Lestari
Teringat dulu waktu saya kecil, Ayah saya pulang dari kantor membawakan berbagai buku bacaan yang menarik..Meskipun saat itu saya belum dapat memahami apa isinya, tetapi cover buku-buku itu sangat menarik perhatian saya. Terlebih ketika saya buka lembaran-lembaran buku itu, banyak sekali gambar-gambar yang lucu dan warna-warna yang memiliki perpaduan yang indah.
Rasa penasaran saya untuk bisa memahami isi bacaan itu semakin besar, sehingga terkadang saya pura-pura bisa membaca, padahal belum mengenal satu persatu hurufnya. Sehingga terbit dalam hati saya untuk cepat bisa membaca buku-buku itu. Ayah saya tahu ketika saya membolak balikkan halaman buku, kemudian beliau mengambil satu buku yang menurut saya menarik untuk dibaca, lalu digendongnya tubuh saya yang mungil untuk duduk di sebuah sofa panjang. Mulailah beliau menceritakan isi buku itu, dengan intonasi yang berubah-ubah sesuai dengan isi ceritanya, membuat menarik isi dari buku itu.
Hingga saat ini, pengalaman masa kecil saya masih membekas, dan membentuk kebiasaan dalam diri saya menjadi gemar membaca. Berarti kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, lingkungan rumah adalah faktor penunjang terbentuknya karakter anak. Ketika kita mengaitkan hal ini dengan minat tidaknya membaca pada anak-anak dan orang dewasa, tidak terlepas dari latar belakang di kehidupannya.
Para orang tua yang masih memiliki anak usia dini yaitu 0-6 tahun, adalah usia keemasan, merupakan kesempatan yang sangat berharga untuk pembentukkan karakter putra putrinya. Salah satunya adalah dengan memperkaya literasi melalui buku-buku bacaan yang kerap dibacakan di saat-saat yang tepat. Tidak hanya sekedar dibacakan buku, tetapi yang diharapkan adalah adanya interaksi terkait isi dari buku yang dibacakan, sehingga menimbulkan daya imajinasi, nalar dan sikap kritis anak. Bahkan bagi seorang ibu hamil yang membiasakan membacakan buku dengan keras (Reading Aloud) akan membuat sang bayi menjadi anak yang cerdas dan memiliki banyak kosa kata kelak.
Berdasarkan data dari UNESCO, Indonesia berada pada urutan kedua dari bawah dari 61 negara, menyangkut literasi dunia (Fadila Ita Qulloh, Institut Agama Islam). Hal ini menunjukkan betapa mirisnya Negara kita, sejak dulu merupakan salah satu permasalahan yang tidak kunjung selesai. Peran orang tua sangatlah penting, sementara keragaman latar belakang mereka dapat mempengaruhi pola asuhnya. Sehingga dalam hal in diperlukan bimbingan Parenting untuk para orang tua murid yang merupakan guru pertama bagi putra putrinya.
Rendahnya literasi akan berimbas ke berbagai hal, baik emosi maupun pola pikir. Contohnya, ketika ada hal yang memicu emosi atas pemberitaan hoaks di media, maka mudah sekali terprovokasi emosinya, atau ada hal yang sedang viral maka secepat itu meniru tanpa melihat baik atau buruknya bagi kehidupan. Bahkan dengan mudah menyebarkan berita-berita hoaks tanpa pendalaman lagi.
Semua itu terjadi seperti efek domino, yaitu suatu kondisi di mana ketika melakukan pembiasaan atau perbuatan pada satu perilaku. Sehingga hal itu akan mengaktifkan reaksi berantai dan menyebabkan perubahan dalam berperilaku. Imbas dari awal sebuah perbuatan atau pembiasaan akan dirasakan sekian tahun kemudian.
Pemerintah saat ini telah menciptakan sebuah kurikulum yang mengedapankan budaya literasi di dalam pembelajaran, sebagai bentuk upaya terhadap rendahnya minat baca para pelajar saat ini. Para guru diarahkan untuk melakukan pembiasaan membaca buku dalam pembelajarannya, serta diharapkan kreatifitas dan inovasinya agar literasi dapat menjadi kegiatan yang menyenangkan. Bahkan pemerintah juga telah mencanangkan Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku (GERNAS BAKU), dan diterapkan pada jenjang PAUD dengan melibatkan para orang tua murid.
Mereka para anak-anak usia dini saat ini adalah cikal bakal yang akan berada pada masa Bonus Demografi pada tahun 2045. Masa dimana usia produktif (15-65 tahun) lebih banyak dibandingkan dengan usia non produktif (65 tahun keatas), porsinya adalah 60% dari jumlah penduduk Indonesia. Ketika usia produktif ini berkualitas secara keilmuannya maka hal ini akan menjadi hal yang menguntungkan bagi Negara, tetapi apabila sebaliknya yang terjadi, maka hal itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Negara.
Keluarga adalah guru yang pertama dalam mempersiapkan putra putrinya untuk memiliki daya saing, baik dari segi agama maupun keilmuannya.
Tinggalkan Balasan